Selasa, 31 Juli 2012

Berpikir Besar tentang Allah


Terpujilah nama Allah dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, sebab dari pada Dialah hikmat dan kekuatan! Dia mengubah saat dan waktu, Dia memecat raja dan mengangkat raja, Dia memberi hikmat kepada orang bijaksana dan pengetahuan kepada orang yang berpengertian. - Daniel 2:20-21
 

Kebenaran inti yang Daniel ajarkan kepada Nebukadnezar (Dan. 2:4) dan ingatkan kepada Belsyazar (5:18-23); yang Nebukadnezar akui (4:34-37); yang menjadi dasar doa-doa Daniel dan keyakinannya dalam menantang otoritas; yang membentuk substansi pokok dari semua penyingkapan yang Allah berikan kepada Daniel, ialah kebenaran bahwa “Yang Mahatinggi memerintah kerajaan manusia” (4:25). Ia tahu dan melihat lebih dulu segala sesuatu, dan kemahatahuan-Nya sekaligus juga adalah kemaha-kekuasaan-Nya. Jadi, Ia yang memiliki kata akhir, baik dalam sejarah dunia maupun dalam destini setiap pribadi. Kerajaan dan kebenaran-Nya akhirnya akan menang, sebab tidak ada manusia atau malaikat dapat menggagalkan-Nya.

            Demikianlah pemikiran tentang Allah yang memenuhi pikiran Daniel, seperti yang ia saksikan dalam doanya – doa yang selalu merupakan bukti paling nyata tentang pandangan orang mengenai Allah (2:20-23; 9:4-19). Apakah demikian kita berpikir tentang Allah? Apakah anggapan tentang Allah tadi terlihat dalam doa kita? Apakah kepekaan dahsyat akan kekudusan-Nya, kemuliaan-Nya, kesempurnaan moral-Nya, dan kesetiaan-Nya yang penuh anugerah yang membuat kita senantiasa merendahkan hati dan bergantung, takjub dan taat, sebagaimana Daniel? Dalam segala ketulusan, seberapa banyak atau sedikit Anda mengenal Allah?


Apakah aku telah kehilangan pandangan tentang kebesaran Allah? Bagaimana aku menyisihkan waktu untuk mempelajari tema Alkitab tersebut untuk mengoreksi pikiranku?

Sembah Allah kuat-kuat dengan memakai perkataan Daniel dalam 2:20-23, atau versi Anda sendiri yang menyanyikan kebesaran Allah.

Senin, 30 Juli 2012

Kesukaan dalam Allah


Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa. - Mazmur 16:11


Orang Kristen masa kini cenderung menjadikan kepuasan mereka agama mereka. Kita memberikan lebih banyak perhatian pada pemenuhan diri daripada menyukakan Allah. Karena pengaruh Barat (Amerika utara), ciri khas orang Kristen masa kini adalah gairah besar pada buku-buku yang membahas tentang teknik sukses dalam relasi, lebih menikmati seks, menjadi pribadi lebih baik, menyadari potensi diri, mendapatkan kenikmatan lebih penuh tiap hari, mengurangi berat badan, memperbaiki diet, mengatur uang, memiliki keluarga yang lebih bahagia, dan sebagainya.

            Untuk orang yang gairah utamanya adalah memuliakan Allah, memang hal-hal tadi merupakan perhatian yang sah, tetapi buku-buku yang menekankan teknik dan cara tersebut menelusur semua itu dalam sikap penyerapan diri sendiri dan memperlakukan kenikmatan hidup dan bukan kemuliaan Allah, sebagai pusat perhatian. Katakanlah buku-buku itu memaparkan lapisan tipis ajaran Alkitab dicampur dengan psikologi modern serta akal sehat, tetapi pendekatan keseluruhannya mencerminkan sikap narsisme – (egosentrisme atau akuisme) – itulah jalan dunia dalam masyarakat modern.

            Penyerapan diri, betapa pun religius pemikirannya, adalah lawan dari kekudusan. Kekudusan berarti kehidupan yang menyerupai Allah (godliness) dan itu adalah pementingan Allah. Mereka yang berpikir bahwa Allah ada untuk keuntungan mereka daripada mereka ada untuk kepujian-Nya tidak memenuhi syarat sebagai orang kudus. Hal itu merupakan kesalehan yang tidak saleh yang menjadikan diri sendiri pusatnya. Tidak heran, kesalehan yang demikian kurang kesukaan yang Allah ingin berikan kepada mereka yang mencari-Nya.



Apakah aku terlalu memerhatikan diri atau kurang? Dapatkah aku melihat mengapa kedua sikap itu tidak menolong?

Tuhan, aku ingin Engkau makin menjadi pusat hidupku.

Jumat, 20 Juli 2012

Wawasan Kristen tentang Ambisi & Sukses


SUKSES DAN AMBISI DALAM WAWASAN DUNIA KRISTEN

Pada kilas pertama Alkitab terkesan mengecilkan ambisi. Paulus memerintahkan gereja agar ambisi mereka ialah menjalani hidup yang tenang (1Tes. 4:11). Satu-satunya tempat ambisi dipuji ialah ketika Paulus memuji orang yang berhasrat untuk menjadi penilik gereja (1Tim. 3:1). Dalam konteks dunia purba ini tidak heran sebab hanya ada sedikit saluran sah bagi seseorang mengejar ambisi ekonomi. Tetapi ini tidak berarti Alkitab tidak memiliki nasihat bagi orang masa kini yang bekerja keras untuk sukses. Hanya karena tersedia sedikit kategori untuk mobilitas sosio-ekonomi dalam abad pertama tidak berarti bahwa Alkitab memandang rendah mereka yang ingin mengejar keberhasilan dalam bisnis mereka. Pada akhirnya, tersedia beberapa contoh sukses “duniawi” terpuji dalam Alkitab. Abraham dan Ayub adalah orang-orang kaya; Yusuf naik ke posisi perdana menteri Mesir; Nehemia adalah pejabat tinggi dalam pascapembuangan di Persia; Daniel tumbuh dalam kebudayaan Babilonia dan pada kenyataannya ia yang menjalankan kerajaan untuk para raja selama lebih dari enam puluh tahun masa pengabdiannya; dan ada sekelompok kecil para kader dari orang sukses dan kaya yang mendukung Yesus serta para rasul sepanjang era Perjanjian Baru. Agaknya tidak ada apa pun yang secara intrinsik bermasalah tentang orang yang setia kepada Allah yang juga sukses atau berambisi pada saat yang sama, sambil mengandaikan motif mereka konsisten dengan ajaran Alkitab.

            Tetapi kita harus jelas tentang apa yang dimaksud sukses dari wawasan dunia Kristen. Yang jelas, hal itu tidak harus terkait dengan neraca keuangan seseorang. Tidak harus juga berkaitan dengan memiliki posisi berpengaruh. Juga menjadi tersohor atau termashur tidak harus berkait dengan keberhasilan. Pada akhirnya, seseorang dapat dikenal karena banyak hal, sebagian sebabnya dapat menjebloskan orang ke dalam penjara! Semua ini adalah ukuran yang palsu, meski sering diandaikan oleh kebudayaan pada umumnya. Jika pekerjaan Anda adalah sebuah mezbah, suatu pelayanan transformasional bagi Allah, maka bagaimana Anda mengukur keberhasilan Anda tidak akan disesuaikan dengan standar dunia.
(BERSAMBUNG)

Sabtu, 14 Juli 2012

Model Doa Ignatian


Embusan Udara Gunung:
Sebuah Meditasi-Doa di Hari Kenaikan

Mulailah dengan membaca kisah tentang kenaikan dalam Matius 28:16-20 dan  Kisah Para Rasul 1:6-9.

            Bayangkan diri Anda di Gunung Kenaikan, bersama para murid. Jika Anda belum pernah ke Palestina, pilih salah satu bukit yang Anda tahu dan suka, mungkin dari daerah Anda sendiri atau dari suatu pengalaman liburan. Bukit itu bisa berfungsi untuk maksud doa juga.

            Sambil Anda menanti bersama para murid, pikiran Anda menerawang ke kejadian-kejadian menjelang kenaikan.

            Anda kilas balik ke kepedihan dan misteri penyaliban. Kasih tergantung di salib karena dosa-dosa, kita telah menyalibkan-Nya dan Ia berkata, “Aku tidak akan menyerah–dan Aku tak akan membalas.” Ingatlah kata-kata Alkitab:


Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yes. 53:3-5)

            Lalu Anda mulai berpikir tentang misteri kebangkitan. Kasih bisa dimatikan tetapi tidak dapat ditahan oleh maut dalam kematian. Kebencian, meski membunuh, memiliki kematian di hatinya dan akan hancur sendiri, sementara kasih, meski mati memiliki hidup di hatinya dan akan bangkit kembali. Jadi Yesus hidup, dan laporan tentang kebangkitan-Nya berdatangan dari banyak sumber: dari perorangan, dari kelompok-kelompok kecil, dari kelompok lebih besar dan sekali dari kumpulan berjumlah lima ratus orang (1Kor. 15:3-8).

            Para murid bingung. Sebagian ragu (Mat. 28:17), tetapi kemuridan terbukti lebih kuat daripada keraguan. Kristus telah memanggil Anda juga ke Gunung Kenaikan, dan kini Anda di sini.

            Kemudian tiba-tiba Yesus tampak bersama Anda. Ia terlihat mulia. Anda tergerak untuk menyembah, seperti Tomas ketika ia mengucapkan perkataan terkenal itu “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:28).

            Bayangkan kejadian itu. Ambil waktu Anda. Sebagaimana dikatakan oleh St. Teresa, “Tergesa-gesa adalah kematian doa.” Jadi diamlah, lihat, dan dengar.

            Yesus bicara tentang hal Ia menjadi raja. “"Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Mat. 28:18). Terimalah Ia sebagai raja–dalam tubuh Anda, akal budi Anda, roh Anda, sikap Anda, relasi Anda, dan gaya hidup Anda. Terima otoritas-Nya sebagai raja dalam waktu dan dalam kekekalan.

            Ia bicara tentang pengutusan-Nya dan pengutusan Anda juga. Anda harus masuk ke dalam dunia bagi Dia. Anda tidak saja harus menjadi seorang murid tetapi memuridkan orang lain (Mat. 28:19). Anda harus menjadi saluran kasih-Nya, kuasa-Nya, maksud-Nya. Terimalah pengutusan ini.

            Ia bicara  tentang kemahahadiran-Nya. Hari Kenaikan adalah perayaan tentang kemahahadiran Yesus. Semasa pelayanan-Nya di bumi dan bahkan semasa empat puluh hari sesudah Paskah, Yesus hanya hadir di satu tempat pada satu saat, tetapi kini semua pembatasan waktu dan ruang telah disingkirkan. Kita memiliki janji-Nya, jaminan-Nya: “Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Terimalah dan rayakan firman-Nya.

            Kemudian, di puncak Gunung Kenaikan awan mulai mengitari Yesus. Awan makin lama makin tebal sampai Ia tidak lagi terlihat. Dalam pengistilahan tradisional terjemahan Alkitab, “awan menutup-Nya dari pandangan mereka” (Kis. 1:9). Ketika awan kembali cerah, Ia telah pergi–pergi ke takhta-Nya.

            Di manakah takhta-Nya? Di surga. Dalam kata-kata Pengakuan Iman Nicea, “Ia naik ke dalam Surga dan duduk di sebelah kanan Bapa”–melampaui ruang dan waktu. Usahakan yang mustahil. Bayangkan sang Kristus kosmis.

            Takhta-Nya juga di dalam hati tiap orang percaya. Sekali lagi tegaskan ulang pentakhtaan-Nya dalam kehidupan Anda. Sebagaimana ditulis oleh Caroline Maria Noel dalam himne “Di Hadapan Nama Yesus”:

Dalam hatimu takhtakan Dia;
Di sana biarkan Ia menaklukkan
Semua yang tidak kudus,
Semua yang tidak benar;

Mahkotakan Dia sebagai Komandanmu
Dalam saat pencobaan,
Biarkan kehendak-Nya merangkulmu
Dalam terang dan kuasa-Nya.


  • Ingat Anda tunduk di bawah sang Raja (Flp. 2:10).
  • Ingat Anda adalah prajurit sang Raja (1Tim. 6:12).
  • Ingat Anda adalah anggota Keluarga Kerajaan dan berbagi dalam otoritas dan kuasa sang Raja (Why. 1:6).
Resapi kesan tentang status dan peran Anda sementara Anda mengklaim dan mempraktikkan kemahahadiran-Nya. Ini adalah suatu pengalaman yang menyembuhkan. Berada bersama Yesus selalu berakibat demikian. Ini juga pengalaman yang memberdayakan. Jadi bawa kepada Yesus siapa saja yang Anda ingin doakan. Pegangi mereka di hadapan sang Kristus kosmis. Pegang mereka di hadapan Kristus yang bertakhta di hati Anda. Ingat bahwa Ia bersama Anda dan Ia bersama mereka yang Anda doakan. Tegaskan kehendak Kristus yang kudus dan menyembuhkan, sang Raja yang telah naik dan maha hadir.

            Tetaplah dalam tempat kudus ini, hiruplah udara di Gunung Kenaikan ini selama yang Anda inginkan. Dengarkan pengutusan spesifik apa yang sang Raja mungkin ingin berikan bagi Anda.

            Lalu ketika waktunya tepat, sambil Anda turun dari puncak gunung, berdoalah:

Allah Mahakuasa, melalui Kristus Raja kami, aku persembahkan kepada-Mu jiwa dan tubuhku. Utuslah aku pergi dalam kuasa Roh-Mu ke dalam hidup dan kerja demi kepujian dan kemuliaan-Mu. Amin.

            Anda mungkin perlu melatih metode doa ini beberapa kali sebelum doa ini menjadi hidup bagi Anda. Saya harap cepat atau lambat doa ini akan bercahaya bagi Anda dengan sinar Yesus dan menjadi suatu cara doa yang mengasyikkan, membebaskan, menterapi Anda. Saya harap Anda dan mereka yang Anda doakan akan mendapat manfaat sementara Anda mempersembahkan doa ini dan diri Anda kepada Allah. Namun demikian jika metode doa ini tidak cocok bagi Anda, tidak perlu khawatir; doa Ignatian memang tidak tepat bagi semua orang. Jika Anda bukan tipe Ignatian, coba bentuk doa penyembuhan yang lain. Allah tidak terbatas, dan jalan-jalan doa kepada-Nya pun tidak terbatas. Mungkin akan menolong mencoba metode alternatif doa-Alkitab ..

Jumat, 13 Juli 2012

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (5)


5. Sumber hakiki kepercayaan orang akan keamanan dan jati diri adalah Allah dan persediaan-Nya, bukan uang.
Meski Alkitab mengokohkan kekayaan sebagai karunia baik Allah, ini tidak berarti bahwa mencari atau memilikinya bebas dari pencobaan. Salah satu dari bahaya kekayaan yang sering Alkitab sebut ialah kaitannya dengan berhala. Meski tidak merupakan kaitan keharusan, karena memang ada orang kaya yang setia mengikut Yesus dan para rasul, umumnya kekayaan merupakan hal yang patut diawasi. Menyerah kepada berhala dalam berbagai bentuknya adalah suatu masalah serius, dan tidak sukar untuk orang jatuh ke dalam pencobaan yang menjadikan kekayaan sebagai pengganti Allah. Terus menerus Alkitab memperingati tentang memercayai kekayaan untuk keamanan ekonomi kita. Pemazmur meratapi orang yang memercayai kekayaan, mengusulkan bahwa melakukan itu adalah kesia-siaan sebab uang tidak dapat menyelamatkan kita di hadapan Allah (Mzm. 49:6-7). Lebih jauh, para nabi mendorong umat untuk memercayai Allah, bukan kekayaan, hikmat atau kuasa untuk kesadaran hakiki keamanan mereka dalam dunia ini (Yer. 9:23). Perjanjian Baru memperingati bahaya memercayai kekayaan ketimbang Allah, sebab kekayaan sangat tidak dapat diandalkan dan Allah sepenuhnya setia memerhatikan kebutuhan kita (1Tim. 6:17). Yesus menjelaskan bahwa kekayaan dapat menjadi rintangan untuk masuk Kerajaan Allah (Mrk. 10:24), tidak saja karena ia sering melibatkan kegiatan immoral tetapi juga karena bahaya spiritual memakai kekayaan sebagai pengganti kepercayaan kepada Allah.

            Juga tidak seharusnya kondisi pembukuan seseorang menjadi sumber jati diri atau keamanan.[1] Bahayanya, usul Craig Gay, ialah uang “menjadi tujuan dalam dirinya dan memang telah menjadi tujuan akhir bagi sebagian besar orang.”[2] Jadi tentang harta bersih seseorang sangat bermasalah, sebab hal itu cenderung mengukur kelayakan diri orang dalam pernyataan finansial. Gay mengusulkan bahwa bagian dari bahaya pengaruh uang atas wawasan dunia ialah “hidup itu sendiri jadi dialami sebagai sebentuk gabungan arti, nilai dan kepentingan,” yang segala sesuatunya dinilai dalam ukuran-ukuran kuantitatif uang.[3] Sosiolog Robert Wuthnow menggemakan ini ketika menyimpulkan bahwa “uang terkait secara subjektif dengan jati diri kita” dan karenanya menjadi penentu penting tentang bagaimana orang memandang dirinya.[4]

            Manusia juga tidak dikenali dengan apa yang mereka beli, ukuran atau lokasi rumah mereka, jenis mobil yang dikendarai atau milik lainnya yang oleh kebudayaan dilihat membuat orang berarti.[5] Barangkali ini lebih halus dari pada yang disadari mulanya, sebab kebudayaan konsumtif telah menjadi sedemikian identik dengan yang dikenal sebagai “merek” (lihat pasal 8). Para konsumer telah demikian mengaitkan diri dengan merek-merek tertentu, entah pakaian, mobil, elektronik atau benda konsumer lain yang diharga oleh kebudayaan. Teolog Katolik Tom Boudoin menunjukkan bahwa merek dapat memengaruhi cara konsumen mengidentifikasi diri mereka, menentukan kecocokan mereka dalam kelompok atau subbudaya tertentu, bahkan membentuk definisi mereka tentang sukses. Ia mengusulkan bahwa berbagai merek dapat mengkomunikasikan arti dan jati diri, khususnya untuk dewasa muda dan remaja dalam tahap-tahap pembentukan pengembangan jati diri mereka. Dalam hal yang orang lain sebut “merek untuk hidup,” Boudoin menunjukkan bahwa “jika orang muda merasa mantap tentang merek tertentu yang melaluinya mereka menyatakan jati diri mereka, merek-merek tersebut boleh jadi akan menjadi bagian dari keseluruhan jati diri orang itu sementara mereka memasuki kedewasaan dan usia pertengahan.”[6] Ini merupakan salah satu tujuan jangka panjang periklanan, yaitu membuat konsumen melekatkan arti pribadi ke merek produk tertentu – pemasang iklan tahu  bahwa mereka telah sukses bila mereka membawa para konsumer mengidentikkan diri dengan produk-produk mereka.[7]

            Sebagian solusi bagi endemi materialisme dalam kebudayaan kita ialah menilai uang dengan apa yang Gay sebut “ringan hati” yang pada hakikatnya datang dari kepercayaan kita akan Allah untuk persediaan kita. Almarhum teolog Katolik Richard John Neuhaus mengusulkan kita bersikap tidak menentu tentang kekayaan:



Maksudnya ialah kekayaan – baik memiliki atau menghasilkannya – sesungguhnya tidak begitu penting. Pokok ini luput baik dari yang tamak, yang tertawan oleh milik mereka, dan oleh para ideolog religius yang menganjurkan suatu tatanan ekonomi yang adil. Keduanya menerima kekayaan terlalu serius. Penghargaan akan kehidupan ekonomi dan produksi kekayaan yang diterangi secara teologis harus ditandai oleh kesan tidak menentu dan heran di hadapan realitas-realitas kehidupan ekonomi yang bersifat tidak pasti, nyata, acak dan tidak teramalkan.[8]



            Tentunya, ini menjadi lebih menantang di masa-masa kesukaran ekonomi, tetapi tidak kurang penting, dan tidak mengikis pentingnya kerajinan dan tanggung jawab dalam memerhatikan diri Anda sendiri dan tanggungan Anda.



[1] Untuk bacaan lebih lanjut tentang dasar penting bagi keamanan dan jati diri orang ini, lihat buku berwawasan oleh Craig M. Gay, Cash Value: Money and the Erosion of Meaning in Today’s Society (Grand Rapids: Eerdmans, 2004).
[2] Ibid., hlm. 90. Untuk diskusi lanjut tentang kritik terhadap materialisme, lihat Robert Wuthnow, ed., Rethinking Materialism: Perspectives on the Spiritual Dimension of Economic Life (Grand Rapids: Eerdmans, 1995); dan Robert Wuthnow, God and Mammon in America (New York: Free Press, 1994).
[3] Gay, Cash Value, hlm. 68.
[4] Robert Wuthnow, Poor Richard’s Principle: Recovering the American Dream Through the Moral Dimensions of Work, Business and Money (Princeton, N. J.: Princeton University Press, 1996), hlm. 153.
[5] Untuk diskusi lebih lanjut tentang pokok ini, lihat Tom Boudoin, Consuming Faith: Integrating Who We Are with What We Buy (Lanham, Md.: Sheed & Ward, 2003); dan Rodney Clapp, ed., The Consuming Passion: Christianity and the Cousumer Culture (Downers Grove: Ill.: InterVarsity Press, 1998).
[6] Boudoin, Consuming Faith, hlm. 7-8 (cetak miring ditambahkan). Lebih jauh ia mengusulkan bahwa “merek memengaruhi jati diri yang konsisten, koheren, di mana Anda menceritakan diri sejati Anda; hal itu menawarkan keanggotaan dalam suatu komunitas, mengeluarkan suatu undangan ke kepercayaan tak bersyarat, menawarkan janji perubahan hidup dan suatu hidup baru” (Ibid., hlm. 44).
[7] Untuk bacaan lanjut tentang tujuan jangka panjang iklan, lihat Howard J. Bluementhal, Branded for Life: How American Are Brainwashed by the Brand We Love (Cincinnati: Emmis Books, 2005).
[8] Richard John Neuhaus, “Wealth and Whimsy: On Economic Creativity,” First Things,  August-September (1990), hlm. 29.

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (4)


4. Alkitab menyetujui bahwa menikmati hidup dan sumbernya merupakan karunia Allah. Kemakmuran kita pada akhirnya adalah akibat berkat Allah dalam kehidupan kita. Alkitab juga jelas bahwa kerajinan kita pun memainkan peran (Ams. 10:4), tetapi pada puncaknya, semua yang seseorang kumpulkan datang dari Allah. Tidak ada kesalahan dalam hal memiliki kekayaan dan menikmati karunia baik Allah, selama itu didapat secara benar dan kita bermurah hati dengannya (kuis nomor 2, 12). Pengkhotbah meneguhkan bahwa “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah” (Pkh. 5:19, penekanan ditambahkan).[1] Allah menjanjikan bangsa Israel suatu “tanah yang berlimpah dengan susu dan madu,” bahasa figuratif untuk kelimpahan berkat-Nya.[2] Jelas Allah menghendaki umat-Nya menikmati kelimpahan berkat-Nya di tanah itu. Sebagai tambahan, paparan alkitabiah tentang Taman Firdaus dalam Kitab Kejadian dan Yerusalem Baru dalam Kitab Wahyu menggemakan visi yang sama ini tentang kelimpahan persediaan dari Allah. Meskipun masa kini berkat-Nya tidak terikat pada kemakmuran nasional, sebagaimana dalam hukum Musa, cukup jelas prinsip bahwa Allah menghendaki kelimpahan bagi umat-Nya. Tentu saja, ini diseimbangi dengan mandat untuk bermurah hati dan berbelas kasihan kepada mereka yang ada dalam kebutuhan. Tekanan pada menikmati hidup sebagai pemberian baik Allah ini tidak mengusulkan sesuatu yang mirip dengan teologi kemakmuran, yang mengajarkan bahwa Allah harus mengganjar kebenaran dan kesetiaan dengan kemakmuran materiil. Allah memang mengganjar kesetiaan dengan berkat-Nya, tetapi itu tidak harus atau bahkan wajar berbentuk berkat finansial. Masa kini tidak harus ada kaitan antara kekayaan orang dengan kesetiaannya kepada Allah.

            Demikian pun kemiskinan dalam Alkitab kemiskinan bukan suatu kebajikan. Orang miskin dan yang miskin di hadapan Allah tidak diberkati karena mereka miskin tetapi karena Kerajaan Allah adalah milik mereka (Mat. 5:3; Luk. 6:20), kuis nomor 5).[3] Dalam kitab-kitab sastra hikmat kemiskinan sering dikaitkan dengan kurang rajin, hikmat dan karakter moral (Pkh. 6:6-11; 10:4; 24:30-34), meski masa kini ada juga penyebab sistemik dari kemiskinan yang sama sekali tidak berhubungan dengan karakter orang. Baik kekayaan atau kemiskinan dalam dirinya tidak harus merupakan petunjuk tentang spiritualitas seseorang. Sepanjang isi Alkitab yang jahat makmur dan yang benar kerap menderita kemiskinan karena alasan-alasan yang sedikit berkait dengan kedewasaan atau kekurangan spiritual mereka. Sebagai contoh, pemazmur meratapi kenyamanan dan kekayaan orang fasik:



Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual,

kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik...

Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik:

mereka menambah harta benda dan senang selamanya! (Mzm. 73:3, 12)



            Perjanjian Baru juga meneguhkan menikmati hidup sebagai persediaan dari Allah untuk umat-Nya. Sebagai contoh, Paulus memerintahkan Timotius untuk meneruskan ajaran bahwa “orang-orang kaya di dunia ini… jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1Tim. 6:17; kuis nomor 2, 12). Allah memerintahkan merasa cukup (yang diartikan sebagai “menginginkan apa yang Anda miliki”), memercayai Dia, bukan uang, untuk keamanan; dan kemurahhatian dengan kekayaan yang dipunyai untuk menyeimbangi mandat agar menikmati hidup sebagai pemberian baik Allah.



[1] Perlu diperhatikan bahwa Salomo juga menegaskan kesia-siaan kekayaan – bahwa harta tidak dapat menyediakan kepuasan hakiki, bukan pengganti Allah (Pkh. 5:8-20; 6:1-12). Pernyataan-pernyataan ini tidak saling bertolak belakang, sebab kekayaan dapat menjadi karunia baik Allah tanpa membuatnya sama dengan berhala. Salomo mengusulkan bahwa kekayaan dapat menjadi karunia tanpa harus menghargainya berlebihan sampai ia dilihat sebagai kunci yang menyatukan keseluruhan kepingan-kepingan puzzle kehidupan menjadi utuh.
[2] Schneider, God of Affluence, hlm. 7-74. Tentu saja, dengan kelimpahan berkat datang tanggung jawab kemurahan hati, khususnya kepada orang miskin, yang juga ditegaskan oleh Schneider. Lihat Sider, Rich Christians, untuk pembahasan lebih lanjut tentang tanggung jawab kepada orang miskin ini. Lihat juga Ron Sider, Just Creativity: A New Vision for Overcoming Poverty in America (Grand Rapids: Baker, 1999).
[3] Untuk bahasan lebih lanjut tentang Ucapan Berkat ini, lihat Dallas Willard, The Divine Conspiracy (New York: HarperCollins, 1998).

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (3A)


Alkitab memberikan tekanan khusus pada kemurahan hati pada orang miskin dan mereka yang rentan secara ekonomi. Sepanjang isi Alkitab sikap orang terhadap orang miskin dianggap ukuran penting tentang spiritualitas (kuis nomor 7). Para nabi menghubungkan kepedulian secara perorangan kepada orang miskin dan perhatian Israel sebagai bangsa untuk orang miskin dengan komitmen spiritual. Sebagai contoh, Yesaya menjelaskan bahwa kehidupan religius yang benar tidak terdiri dalam ritual dan seremoni tetapi dalam perhatian nyata bagi orang miskin dan pengusahaan keadilan ekonomi. Ia berkata,

Berpuasa yang Kukehendaki, ialah
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman,
dan melepaskan tali-tali kuk,
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya
dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah,
dan apabila engkau melihat orang telanjang,
supaya engkau memberi dia pakaian dan
tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yes. 58:6-7)


            Dalam bagian terdahulu pasal ini kami menunjukkan bahwa Yeremia mengaitkan kepedulian seseorang kepada orang miskin dengan arti mengenal Allah (“’ia melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku?’ demikianlah firman TUHAN” [Yer. 22:16, cetak miring ditambahkan]), dan Amsal mengajarkan kita bahwa hal itu menghormati Allah (“siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia” [Ams. 14:31]).

            Yesus meneruskan prioritas memerhatikan kaum miskin ini dengan menjadikannya salah satu tanda penting pelayanan-Nya di bumi. Sesungguhnya, Yesus mengidentikkan perhatian-Nya untuk orang miskin sebagai suatu petunjuk utama bahwa ia telah meresmikan Kerajaan Allah. Dalam catatan Lukas tentang pelayanan publik-Nya yang pertama, Yesus bicara tentang misi-Nya “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Luk. 4:18). Pelayanan Yesus di antara kaum marginal pada zaman-Nya dianggap sebagai penggenapan nubuat tentang kedatangan Mesias. Demikian pun, ketika para pengikut Yohanes Pembaptis bertanya langsung kepada Yesus apakah benar atau bukan Ia adalah sang Mesias, Ia menjawab, “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat. 11:4-5). Alkitab jelas bahwa kita harus menumbuhkan kemurahhatian secara umum. Tetapi secara spesifik dan berulang kali Alkitab mengajarkan yang miskin harus menjadi objek utama kemurahhatian kita. Yakobus mengulang prioritas Perjanjian Lama tentang hal ini ketika berkata:

Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia. (Yak. 1:27)



[1] Perlu diperhatikan bahwa Salomo juga menegaskan kesia-siaan kekayaan – bahwa harta tidak dapat menyediakan kepuasan hakiki, bukan pengganti Allah (Pkh. 5:8-20; 6:1-12). Pernyataan-pernyataan ini tidak saling bertolak belakang, sebab kekayaan dapat menjadi karunia baik Allah tanpa membuatnya sama dengan berhala. Salomo mengusulkan bahwa kekayaan dapat menjadi karunia tanpa harus menghargainya berlebihan sampai ia dilihat sebagai kunci yang menyatukan keseluruhan kepingan-kepingan puzzle kehidupan menjadi utuh.
[2] Schneider, God of Affluence, hlm. 7-74. Tentu saja, dengan kelimpahan berkat datang tanggung jawab kemurahan hati, khususnya kepada orang miskin, yang juga ditegaskan oleh Schneider. Lihat Sider, Rich Christians, untuk pembahasan lebih lanjut tentang tanggung jawab kepada orang miskin ini. Lihat juga Ron Sider, Just Creativity: A New Vision for Overcoming Poverty in America (Grand Rapids: Baker, 1999).
[3] Untuk bahasan lebih lanjut tentang Ucapan Berkat ini, lihat Dallas Willard, The Divine Conspiracy (New York: HarperCollins, 1998).

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (3)


3. Pegang kekayaan dan harta milik Anda secara longgar dan beri dengan tangan terbuka dalam kemurahan hati.
Jika segala sesuatu yang seseorang punya adalah milik Allah, dan hidup bukan sekadar apa yang kita miliki, maka memegangi milik kita secara longgar adalah hal logis berikutnya. Alkitab jelas bahwa kemurahhatian harus mencirikan umat Allah (1Tim. 6:18). Memberi harus dilakukan dengan niat dan gembira, tidak dengan terpaksa (2Kor. 9:7). Ada tekanan khusus tentang memberi kepada orang miskin dan memerhatikan keperluan mereka (Efs. 4:28). Cara orang menangani uang mereka, khususnya seberapa murah hati mereka dengan uang, dijadikan barometer tentang kehidupan spiritual mereka. Yesus jelas bahwa hati kita mengikuti uang kita, artinya, kita dapat menceritakan banyak hal tentang di mana hati kita dari di mana kita menginvestasi uang kita (Mat. 6:19-21). Inilah alasan Yesus mengatakan kepada pemimpin muda yang kaya untuk memberi semua uangnya. Tetapi itu tidak harus menjadi norma bagi masa kini – ada banyak macam orang kaya yang mengikut Yesus dan menjadi bagian dari gereja awal, yang mengusulkan bahwa akumulasi kekayaan tidak sendirinya dilarang dalam Alkitab (kuis nomor 9). Namun demikian, dalam contoh si pemimpin muda yang kaya itu, kekayaannya adalah indikasi dari kondisi hatinya, dan satu-satunya cara mengurus isu itu dengan tepat adalah dengan melepaskan diri dari kekayaannya.

            Gereja di bagian awal Kisah Para Rasul terkesan membagi bersama kepunyaan mereka (Kis. 2:44) dan sebagian orang mengusulkan bahwa gereja adalah bentuk awal dari kehidupan komunal. Walaupun penolakan akan harta bumiah bukan norma, jelas bahwa gereja memegangi harta mereka dengan sangat longgar agar bisa memenuhi kebutuhan finansial para anggota mereka secara berarti. Kisah Para Rasul 2:42 menjelaskan bahwa anggota gereja mula-mula menjual harta mereka bukan untuk prinsip penolakan melainkan demi mereka yang memiliki kebutuhan mendesak.[1] Gereja mula-mula tidak mempraktikkan divestasi dari semua barang bumiah, meski mereka luar biasa bermurah hati dalam memenuhi banyak sekali kebutuhan ekonomi yang mendesak. Gereja awal senantiasa bermurah hati, terkadang memanjangkan kemurahhatian mereka ke kebutuhan di bagian dunia lainnya (Kis. 11:27-30; 2Kor. 8:1-12). Namun demikian, para rasul juga menekankan bahwa tiap orang wajib bekerja untuk mendukung dirinya sendiri, keluarga dan orang miskin (Kis. 4:28; 2Tes. 3:6-10). Jika seseorang tidak bersedia bekerja, ia tidak diizinkan berbagi dalam sumber-sumber yang ada dalam komunitasnya.



[1] Gonzales, Faith and Wealth, hlm. 82.

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (2)


2. Hidup bukan hanya tentang apa yang orang kumpulkan. Yesus membuat ini jelas ketika Ia berkata, “walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Luk. 12:15). Ia menasihati orang yang mengejar kekayaan untuk ingat bahwa kita harus “cari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33).

            Saya (Scott) mendapat suatu pelajaran serius mengenai hal ini dalam proses mengurus harta sepasang kerabat yang meninggal. Sesudah mereka meninggal, istri saya dan saya mendapat tugas untuk membuang semua kepunyaan mereka. Dengan kerabat yang satu, yang tidak banyak memiliki, kami menyimpan satu koper penuh berisi foto-foto dan memanggil pengangkut barang untuk mengambil semua hartanya itu dan membuangnya. Dengan kerabat yang kedua, praktis semua yang ia miliki entah diberi ke orang lain, atau dijual dengan diskon besar atau dibuang. Kami hanya menyimpan barang yang memiliki nilai sentimental. Hal yang luar biasa tentang proses itu ialah betapa dengan tenangnya kami membuang barang-barang yang kedua orang ini telah berusaha kumpulkan sepanjang hidup mereka. Pernyataan Paulus bahwa kita masuk ke dalam dunia dengan tidak membawa apa-apa dan pergi dengan cara yang sama (1Tim. 6:7) dengan gamblang tergambar bagi kami.

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (1)


1. Allah adalah pemilik akhir dan utama dari semua milik materiil kita.
Pemazmur berkata: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1). Kekayaan dan milik kita adalah karunia-karunia-Nya yang baik bagi kita (Mzm. 115:16). Dalam Perjanjian Lama, satu cara prinsip ini diwujudkan adalah dalam transaksi kepemilikan tanah Israel, aset ekonomi utama dalam dunia purba. Tanah tidak bisa dijual-belikan secara permanen – hanya dapat digadaikan, dan di Tahun Yobel harus dikembalikan ke pemilik asalnya. Alasannya dijabarkan dengan jelas: “Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku” (Im. 25:23, cetak miring ditambahkan).[1] Apa pun kekayaan yang kita miliki adalah karunia baik Allah untuk kita (Pkh. 5:19-20; 1Tim. 6:17), yang perlu kita nikmati, dan yang atasnya kita menjadi pengelola yang bertangungjawab.

            Ide bahwa kita adalah penatalayan, bukan pemilik dari milik kita, adalah suatu pokok dahsyat dalam Alkitab. Penatalayanan atas sumber daya kita adalah pokok konstan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dengan perumpamaan Yesus tentang talenta menjadi salah satu ilustrasi prinsipnya (Mat. 25:14-30). Dalam perumpamaan ini sang tuan mempercayakan sumber-sumber yang ia miliki ke masing-masing hambanya, dan pada saat kepulangannya ia meminta pertanggungjawaban mereka tentang penggunaan produktif sumber-sumber itu. Inti perumpamaan itu ialah sang tuan mengharapkan kita mengelola sumber-sumbernya untuk penggunaan yang produktif sementara ia pergi, dan tidak ada salahnya bahwa sang tuan mendapatkan keuntungan dari penggunaan sumber-sumber tersebut. Meski sumber-sumber yang dimasalahkan lebih luas dari pada sekadar uang, tidak ragu perumpamaan ini menyatakan bahwa talenta-talenta itu bukan milik para hamba tersebut – mereka adalah penatalayan dari sumber-sumber yang dipercayakan kepada mereka dan bertanggungjawab tentang penggunaannya secara tepat mewakili sang tuan.



[1] Wright, God’s People in God’s Land, hlm. 58-65, 119-28. Imamat 25:23 meneguhkan tidak saja kepemilikan Allah atas tanah tetapi juga atas status orang sebagai pendatang dan penyewa – bukan sebagai penghuni permanen.

Kamis, 12 Juli 2012

Belajar Jalan Allah dalam Relasi Doa


Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN… Siapakah orang yang takut akan TUHAN? Kepadanya TUHAN menunjukkan jalan yang harus dipilihnya. - Mazmur 25:4, 12
 

Allah ingin kita mengerti prinsip-prinsip-Nya berurusan dengan kita supaya kita mengerti apa yang Ia lakukan. Maka kita memiliki pemazmur yang bicara tentang bagaimana Allah “mengajar orang berdosa dalam jalan-Nya” (8) dan “mengajar orang yang rendah hati tentang jalan-Nya” (9). Ia juga ingin mengajar kita jalan yang harus kita lalui.

            Bagaimanakah kita belajar tentang cara Allah mengurus kita dan jalan-Nya untuk kita lalui itu? Kita belajar dari Alkitab melalui Roh Kudus. Dari Alkitab kita belajar jalan Allah dengan umat-Nya dan jalan yang harus kita tempuh dalam ketaatan kepada-Nya.

            Allah mengajar hal-hal ini kepada umat-Nya dalam relasi doa. Kita menantikan Allah, kita merenung dalam hadirat-Nya, dan kita mengisi baik doa maupun renungan itu dengan Alkitab dalam hadirat Allah.           

            Kepada siapa Allah mengajarkan jalan-Nya? Kepada orang yang takut akan TUHAN (12 – kata “takut bukan berarti panik tetapi sikap bakti yang menghormat). Orang seperti itu akan menemukan dari Firman Allah bahwa ia adalah seorang berdosa, dan bahwa Allah “mengajar orang berdosa dalam jalan-Nya” (8). Ia akan mendengar Allah menyatakan kebesaran-Nya dan kekecilan manusia, karena itu ia akan merendahkan hati dan menenangkan rohnya di hadapan Allah, dan Allah “mengajar orang yang rendah hati, jalan-Nya” (9). Juga, ia belajar dari Allah tentang perjanjian anugerah dan bagaimana memeliharanya, serta “semua jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran, untuk mereka yang memelihara perjanjian-Nya” (10).

Apakah Allah mengajarku demikian? Jika tidak, apakah aku terlalu santai, sombong, mementingkan kehendak sendiri, atau bercabang hati dalam doa tentang ajaran Allah kepadaku?

Tuhan, aku ingin mengungkapkan perasaanku kepada-Mu… Tunjukkan jika ini sikap yang menghormati-Mu yang Kau minta dari mereka yang ingin Kau ajari jalan karya-Mu.

Rabu, 11 Juli 2012

Doa dalam Roh

Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku. - 1 Korintus 14:15
 

Kita harus mencari dari Allah permintaan yang harus dibuat dalam setiap situasi dan menyadari bahwa itu adalah tugas Roh Kudus, yang membimbing kita sementara kita memaparkan fakta di hadapan Tuhan. Seringkali kita tidak mengalami bimbingan khusus, tetapi terkadang Roh menganjurkan permintaan sangat spesifik dan memimpin kita untuk meminta dengan keyakinan yang tidak lazim.

            Suatu kali institusi teologia yang saya pimpin akan ditutup atas perintah pemimpin gereja. Komunitas menetapkan hari doa tentang hal itu. Dua jam sebelum hari itu, saya menemukan saya tahu pasti apa yang harus saya minta kepada Allah: yaitu peleburan dengan institusi lain dalam syarat-syarat spesifik yang sangat kontroversial sehingga bisa terkesan tidak realistis. Saat itu saya tidak dapat menceritakan kepada siapa pun, tetapi saya berpegang pada visi yang saya dapat sekuat mungkin, dan dalam waktu setahun semua yang saya minta dalam doa, terjadi. Kemuliaan bagi Allah!

            Seorang teman menjalani operasi penyelidikan penyakit di rumah sakit karena; ada gejala kanker. Banyak orang mendoakan. Sambil memaparkan masalah itu di hadapan Allah, saya merasa diri saya ditarik (sejauh ini hanya sekali itu saya mengalaminya) untuk berdoa spesifik dan yakin untuk mukjizat kesembuhan. Ketika saya pulang dari gereja di Minggu pagi dan berdoa demikian, saya merasa diberitahu bahwa doa saya telah dijawab dan saya tidak perlu berdoa lagi. Seninnya operasi menyatakan tidak ada bekas kanker. Sekali lagi, kemuliaan bagi Allah!

            Kita selalu harus dengan sadar membuka diri untuk dipimpin oleh Allah dalam hal yang kita doakan.


Jika doa-doa ku terkesan tidak maju dalam situasi tertentu, perlukah aku berhenti dan menantikan Allah untuk menemukan apa harus ku doakan?

Tuhan, tunjukkan ku apa yang harus kudoakan untuk situasi ini…

Senin, 09 Juli 2012

Kuasa Doa


Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. - Yakobus 5:16
 

Yakobus menganjurkan agar kita berdoa untuk diri kita dan orang lain (5:13-18). Dalam doa, kita menengadah dari keputusasaan kita untuk menatap Allah, pengatur yang penuh belas kasih yang pada saat tepat akan melepaskan para hamba-Nya yang menderita. Doa membawa kestabilan dan kekuatan; mampu melihat masalah sementara dalam perspektif kekal dan memenggalnya ke ukuran kecil.

            Orang yang sakit boleh meminta pendeta mereka mendoakan; para penatua harus bersedia melakukan itu ketika diminta. Ini bukan suatu formula magis untuk kesembuhan, sementara mukjizat Yesus memperlihatkan bahwa memang penyelamatan mengandung penyembuhan jasmani, sikap-Nya pada duri dalam daging Paulus menunjukkan bahwa Ia berdaulat menentukan apa yang baik untuk kesehatan tubuh kita. Tentu, waktu kita mendapat tubuh baru, semua akan berubah! Kita harus membedakan manfaat penyelamatan dari waktu dan cara Allah memberikan manfaat itu. Doa yang sungguh untuk penyembuhan orang sakit harus dilakukan atas prinsip bahwa sakit adalah panggilan Allah untuk kita memikirkan hidup kita di hadapan-Nya.

            Doa semacam itu boleh jadi mengakibatkan penyembuhan, dan saling mendoakan bagi kesejahteraan rohani tidak boleh dibatasi hanya pada soal kesembuhan jasmani. Khasiat doa bergantung pada kebenaran hidup dan motifnya, kesungguhan hati dan keseriusan doa, serta seberapa jauh ia sesuai dengan kehendak Allah yang dinyatakan dalam Firman-Nya. Kisah Elia memberikan gambaran tentang tiga prinsip tersebut.


Pelajari dan praktikkan, khususnya dalam kelompok kecil, ajaran Alkitab tentang berpikir benar dan doa efektif. (Cobalah Ul. 11:13-17; 2Rj. 17; Mzm. 73; Mrk. 2:3-12; Rm. 8:18; 2Kor. 4:7-18; Yak. 1:6-8; 2:14-26; 4:3).

Tuhan, tolong kami sebagai gereja berdoa dengan, dan untuk orang sebanyak dan seefektif mungkin.

Jumat, 06 Juli 2012

Alkitab - Suatu Orkestra-Simfoni

Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. - Lukas 24:27  

Karena Alkitab adalah buku manusia dan Allah memilih menyatakan ajaran-Nya kepada kita dalam bentuk petunjuk yang diilhamkan dari para penulis manusia, jalan masuk ke pikiran-Nya haruslah melalui pemikiran mereka. Jadi disiplin dasar dalam menafsirkan Alkitab ialah selalu harus berusaha menentukan setepat mungkin apa yang penulis maksudkan dengan kata-kata yang ia tulis.

            Karena Alkitab adalah buku ilahi, enampuluh enam kitab di dalamnya adalah dokumen terpisah yang merupakan produk dari satu pikiran ilahi yang mewartakan satu pesan utama, kita harus berusaha mengintegrasikan hasil studi terhadap tiap kitab dan penulisnya ke dalam satu pemahaman utuh. Kita tahu bahwa pemikiran sang pengarang manusia adalah pemikiran Allah juga. Sementara ketika berusaha menyelaraskan semua pemikiran berbeda itu, kita mulai menyadari bahwa dari satu ke lain pokok pemikiran Allah maju dan merangkul lebih banyak dari yang para penulis manusia itu dapat lakukan. Kepenuhan makna tiap bagian Alkitab hanya akan tampak ketika ia ditempatkan dalam konteks bagian Alkitab lainnya – yang tentunya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan oleh penulis manusia atas bagian itu.

            Alkitab seolah suatu orkestra simfoni dengan Roh Kudus sebagai Toscanini-nya; masing-masing instrumen telah diikutkan dengan kesediaan, spontan, dan kreatif, untuk memainkan nadanya hanya seperti yang diinginkan oleh sang konduktor, dalam harmoni penuh dengan bagian lainnya, meski tak seorang pun pernah mendengar musik keseluruhannya. Kini kita mendapat hak istimewa untuk mendengar keseluruhan musik itu.


Apakah cara ku membaca dan mempelajari Alkitab adalah dengan mendalami bagian-bagiannya dan mengaitkannya dengan keseluruhannya?

Tuhan, kiranya hidupku makin seperti suatu simfoni yang diorkestrasi oleh Roh Kudus.

Kamis, 05 Juli 2012

Jangan Membalas


Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu
Matius 5:38, 39
 

Dalam zaman Yesus pembalasan diterima luas. Namun Yesus mengajar para murid-Nya bahwa itu bukan prinsip hidup mereka. Bahkan secara mengherankan, Ia berkata: “Jangan melawan orang yang berbuat jahat” (Mat. 5:39). Lalu Ia memberikan empat contoh aplikasi prinsip revolusioner ini.

            Pertama, jika seseorang menampar pipi kananmu, berikan pipi kirimu. Kedua, jika seorang meminta bajumu, berikan juga jaketmu. Ketiga, jika seorang serdadu Roma memaksamu membawakan ranselnya, atau perisainya, atau apa saja sejauh satu mil, bawakan untuk mil kedua. Keempat, beri dan pinjamkan cuma-cuma. Jangan surut oleh pemikiran bahwa orang itu tidak akan mengembalikan kepadamu. Belajarlah kemurahan hati tanpa bertanya, “Apa yang harus kubuat agar memperoleh hal itu balik?” tetapi pikirkan saja kebaikan orang lain.

            Yesus maju lebih jauh. Para murid-Nya harus lebih dari hanya tidak melawan kejahatan. Mereka harus mengasihi musuh mereka dan berdoa bagi para penganiaya mereka jika mereka ingin menjadi anak-anak Bapa mereka yang bermurah hati dalam memberikan semua yang baik kepada semua yang mengasihi dan menghormati Dia, juga mereka yang melawan Dia (Mat. 5:44-48).

            Pikirkan bagaimana Yesus mencontohkan prinsip ini. Ketika mereka menyalibkan Dia Ia berdoa. “Bapa, ampuni mereka; sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan” (Luk. 23:34). Di dalam tindakan-Nya itulah terletak pengharapan kita, sebab dalam kekuatan kita sendiri kita tidak mungkin menghidupi prinsip kasih yang menyangkal diri ini dalam merespons dan memperlakukan orang lain. Tetapi Yesus yang telah melakukan itu, dapat memampukan kita melakukannya.
 

“Jangan melawan orang yang berbuat jahat” (Mat. :39). “Lawanlah iblis” (Yak. 4:7). adakah pertentangan di sini atau tidak?

Tuhan, dalam repons ku kepada orang lain, apakah aku menghidupi tingkatan Kristen lebih rendah, yaitu dengan mengikuti hukum pembalasan?

Rabu, 04 Juli 2012

Hawa Nafsu

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu… - Matius 5:27-28

Orang Farisi menganggap bahwa perintah ketujuh hanya melawan seks bebas. Tetapi Yesus menambahkan bahwa semua orang yang terlibat dalam fantasi nafsu tentang orang lain telah melakukan perzinahan di dalam hatinya (Mat. 5:28).

            Ini adalah contoh yang Yesus berikan untuk melukiskan prinsip sangat penting untuk menafsirkan Hukum, yaitu bahwa Hukum meliputi keinginan dan impian selain juga perbuatan. Kita tidak boleh beranggapan bahwa karena kita tidak melakukan sesuatu, Allah tidak peduli bahwa kita ingin melakukan itu. “TUHAN melihat ke dalam hati” (1Sam.16:7) dan melihat pikiran penuh nafsu serta fantasi tidak senonoh sebagaimana Ia memerhatikan tindakan penuh nafsu serta perilaku tidak senonoh.

            Demikian Yesus berkata lebih lanjut (Mat. 5:29-30), tegaslah terhadap diri Anda sendiri: “Jika mata kananmu membuatmu berdosa, cungkillah dan buanglah.” Ia mengatakan hal sama tentang tangan kanan. “Tetapi saya tidak melakukan dengan mata kanan atau tangan kanan,” orang mungkin berkata. Jika mereka menyebabkan Anda tersandung, lepaskan diri Anda darinya dengan segenap tenaga, jawab Yesus. Lebih baik begitu daripada dikirim ke neraka!

            Sesuatu harus kita kerat dari kehidupan kita (tidak saja yang berhubungan dengan soal seksual) jika kita ingin hati yang jernih. Standar Allah dalam wilayah ini dan wilayah lainnya juga sangat tinggi dan petunjuk-Nya jelas: hawa nafsu seperti juga perzinahan dilarang, dan kita perlu kejam dengan diri sendiri jika kita tidak ingin menghancurkan jiwa kita.
 

Adakah sesuatu dalam hidupku yang selalu menyebabkanku berdosa? Apa yang harus kubuat?

Terima kasih Tuhan, bahwa kematian-Mu di salib menutup semua dosa – dosa terbuka dan dosa tersembunyi juga. Aku mengakui dosa tersembunyi ini kepada-Mu…

Selasa, 03 Juli 2012

Inti Alkitab

Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.
Markus 9:7

Apakah artinya mendengarkan Firman Allah yang tertulis? Arti jelasnya, menurut kitab Ibrani, ialah menerima dan merespons firman Allah yang bersifat proposisi (yaitu pesan-Nya) yang telah ia katakan kepada kita dari surga melalui bibir Firman pribadi-Nya (yaitu, Anak-Nya sendiri), dan juga melalui tutur kata para nabi serta rasul, mengenai keselamatan besar yang telah dimenangkan oleh Anak Allah untuk kita dengan mencurahkan darah-Nya untuk dosa-dosa kita. Firman Allah yang pribadi tampak sebagai pokok sentral dari firman yang bersifat proposisi baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Apa yang Yesus katakan tentang Alkitab Perjanjian Lama – “Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku” (Yoh. 5:39) – dapat dikatakan secara setara untuk kedua Perjanjian.
            Pada akhirnya, mendengar Firman Allah yang tertulis, berarti melakukan yang Allah perintahkan pada saat pemuliaan ketika Ia berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, dengarkanlah Dia”; yang pada gilir berikutnya berarti tidak saja menerima ajaran moral Yesus tetapi menerima Dia sebagai Juruselamat kita yang hidup, dengan mengandalkan darah-Nya yang tercurah untuk pengampunan dosa-dosa kita, dan berikutnya hidup sebagai hamba tebusan-Nya – yaitu orang-orang yang “mengikuti Anak Domba itu kemana saja Ia pergi” (Why. 14:4).

Apakah aku dalam artian alkitabiah mendengarkan Firman Allah (tertulis, lisan, pribadi), mendatangi, menyetujui, dan mengaplikasikannya? Adakah semacam tindak lanjut khotbah dalam gereja kita? Apakah kita berusaha untuk mengerjakan implikasinya dan memeriksa apakah kita menaati apa yang telah diajarkan kepada kita dan diubah olehnya?
Bapa, bersihkan segala gangguan dalam kehidupan kami supaya kami boleh sungguh datang dengan hati dan telinga terbuka kepada Firman-Mu.