Sabtu, 29 September 2012

Keterlibatan Allah dengan Kita


Anak Allah… telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. - Galatia 2:20
 

Kasih Allah kepada orang-orang berdosa melibatkan pengidentifikasian diri-Nya dengan kesejahteraan mereka. Identifikasi diri-Nya itu melibatkan segenap kasih: sesungguhnya hal itu menjadi ujian apakah kasih itu murni atau tidak. Jika seorang ayah senantiasa gembira dan acuh sementara putranya menuju kesusahan, atau jika seorang suami tetap tenang ketika istrinya tertekan perasaan, kita bertanya-tanya seberapa besar kasih dalam relasi mereka. Sebab kita tahu bahwa orang yang sungguh mengasihi hanya bahagia ketika mereka yang ia kasihi pun sungguh bahagia. Demikianlah dengan kasih Allah kepada manusia.

            Tujuan Allah dalam segala sesuatu ialah kemuliaan-Nya – yaitu agar ia dinyatakan, dikenal, dipuja, disembah. Pernyataan itu benar tetapi belum lengkap. Masih perlu diimbangi dengan pengakuan bahwa dengan mengasihi kita, Allah dengan sukarela telah mengikatkan kebahagiaan akhir diri-Nya sendiri dengan kebahagiaan kita.

            Allah bahagia tanpa adanya manusia. Ia juga akan tetap bahagia andai Ia memutuskan untuk membinasakan manusia yang berdosa. Tetapi Ia menujukan kasih-Nya kepada orang berdosa tertentu, dan karena pilihan bebas itu Ia tidak mengenal kebahagiaan lengkap sebelum Ia membawa setiap dari mereka ke surga. Itu berarti Ia berketetapan bahwa untuk selamanya seluruh kebahagiaan-Nya akan bergantung pada kebahagiaan kita. Jadi Allah menyelamatkan bukan saja untuk kebahagiaan-Nya tetapi juga untuk kegembiraan-Nya. Ini menolong kita mengerti mengapa ada kesukaan besar antara para malaikat ketika seorang berdosa bertobat (Luk. 15;10), dan mengapa ada “kesukaan” ketika Allah menetapkan kita tidak bersalah di hari terakhir dalam hadirat-Nya yang kudus (Yud. 24).

 
Anda mungkin pernah menyanyi He has made me glad tetapi pernahkah merenung kebenaran dahsyat bahwa Anda dapat membuat-Nya gembira?

Aku tak dapat menyelami mengapa Ia yang disembah oleh para malaikat harus menujukan kasih-Nya kepada anak-anak manusia – termasuk aku – tetapi aku bersyukur bahwa Engkau melakukan itu, Tuhan.

Kamis, 27 September 2012

Lebih Pribadi dari Kita


Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian. - 2 Korintus 13:14

 
Agak bebas dan bahaya mengatakan bahwa Allah adalah pribadi. Yesus mengklaim bahwa Ia adalah Anak Allah dan berdoa kepada Allah yang di surga yang Ia sebut Bapa. Ia berjanji akan mengutus penghibur kedua atau paraklete (penasihat, pembimbing, sahabat, pemberdaya, pendamping, pendukung); yaitu, Roh Kudus yang datang pada Hari Pentakosta.

            Salah jika Anda berpikir bahwa Anda tidak dapat menjadi seorang pribadi kecuali memiliki tubuh. Ada kesan bahwa tubuh saya adalah saya tetapi juga bahwa tubuh saya bukan saya. Misalnya, segala macam imajinasi bisa terjadi dalam imajinasi aktif saya tanpa ada kaitan langsung dengan tubuh. Dan jika saya dapat memiliki kehidupan pribadi tanpa tubuh, Allah pun dapat.

            Kita harus hati-hati terhadap usulan apa pun yang menganggap bahwa hakikat Allah kurang pribadi dibanding kita. C. S.  Lewis mengisahkan tentang seorang gadis yang dibesarkan untuk percaya bahwa gambaran pribadi tentang Allah terkesan kasar dan primitif, lalu diajar untuk berpikir tentang Allah sebagai semacam zat yang lebih mulia. Kemudian hari ia mulai merenungkan hal ini dan menemukan bahwa sesungguhnya ia sedang menganggap Allah segaris dengan puding beras. Celakanya, ia tidak suka puding beras! Jika kita tidak menganggap Allah sebagai sepenuhnya pribadi, kita menganggap Ia lebih rendah dari kita. Sebenarnya justru ia yang lebih pribadi daripada kita, sebab keberadaan pribadi diwujudkan dalam relasi pribadi, dan relasi kasih timbal balik antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus jauh lebih kaya daripada relasi mana pun yang Anda dan saya kenal.
 

Apa yang ada di pikiran Anda ketika berpikir tentang Allah? Kosong? Lukisan seniman tentang Yesus? Atau apa?

Tuhan, kiranya Roh-Mu memenuhi pikiranku dengan gambaran alkitabiah yang benar tentang-Mu.

Rabu, 26 September 2012

Kemurahan Allah


Tetapi seorang dari pada Serafim itu terbang mendapatkan aku; di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Ia menyentuhkannya kepada mulutku serta berkata: "Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni."
Yesaya 6:6-7
 

Kebenaran kelima tentang Allah, dan gugus sifat terakhir dalam totalitas kekudusan-Nya, adalah kemurahan-Nya – kemurah-hatian yang memurnikan, membersihkan Yesaya ketika ia mengaku dosanya. Mezbah adalah tempat pemberian kurban dan bara itu menggambarkan aplikasi kurban. Dalam Perjanjian Baru, hal itu menunjuk ke aplikasi darah Yesus Kristus yang tercurah untuk hati nurani yang bersalah. Aplikasi awal ditujukan ke tempat-tempat di mana nyeri rasa bersalah yang disadari paling terasa. Yesaya sangat merasakan dosa-dosanya dalam berbicara, karena itu bibirnya yang secara khusus disentuh. Tetapi sebagaimana kesadaran sejati akan dosa menyangkut baik keberdosaan secara umum maupun perssbuatan salah khusus, demikian juga ucapan malaikat berarti bahwa dosa Yesaya, yang ia tahu dan yang tidak, ditebus (harfiah berarti disingkirkan dari pemandangan Allah).

            Yang berinisiatif di sini ialah Allah, sebagaimana selalu demikian ketika orang menyadari anugerah-Nya. P. T. Forsyth sering menegaskan bahwa bentuk paling sederhana, pasti, agung dari sifat Allah ialah kasih kudus-Nya; kemurahan yang menyelamatkan kita dari dosa kita, bukan dengan mengabaikannya tetapi dengan menghukumnya dalam pribadi Kristus dan melaluinya membenarkan kita secara benar dan adil. Yesaya pasti menyetujui itu. Kemurahan bertindak melalui pengaturan, penerimaan, dan penerapan kurban penyelamatan. Hal menakjubkan itu hampir-hampir tak mungkin dapat dipercaya. Terdengar terlalu baik untuk dapat sungguh terjadi. Tetapi itu sungguh suatu kebenaran terdalam.

 
Pernahkah Anda mengalami kemurahan Allah yang memurnikan dan membersihkan itu? Dapatkah Anda menjelaskan itu dengan bahasa sehari-hari ke orang lain?

Berdoalah untuk kesempatan berbicara / bertindak kepada seorang yang memerlukan kemurahan Allah.

Selasa, 25 September 2012

Kemurnian Allah


Kataku: "Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam." - Yesaya 6:5

 
Aspek keempat tentang kekudusan Allah, yaitu kemurnian-Nya sering kita pikirkan secara terpisah. Yesaya mencerap kemurnian ini, dan kepekaan bahwa dirinya tercela dan tidak layak bersekutu dengan Allah meluapi dirinya. Dosa adalah ketidakmurnian dalam kaitan dengan kemurnian Allah dan seperti Yesaya merasa najis di hadapan Allah ketika teringat akan dosa-dosanya, demikian juga orang yang berpikiran benar.

            “Aku seorang yang najis bibir,” ujar Yesaya. Ia terpikir tentang dosa khususnya dalam berbicara. Alkitab banyak bicara tentang dosa itu, sebab dosa tersebut memperlihatkan apa yang ada dalam hati seseorang (Luk. 6:45). Kita memakai karunia bicara dari Allah itu untuk mengungkapkan kebencian dan menjatuhkan orang lain; kita bergosip (“seni” mengakui dosa orang lain); kita menipu dan memanfaatkan orang lain, membodohi dan mengkhianati dengan berbohong kepada mereka; kita memurahkan hidup dan menghancurkan relasi dengan pembicaraan yang memalukan, dan menghina. Barangkali dalam menyampaikan pesan Allah, nabi Yesaya telah lebih mementingkan reputasi menjadi pembicara terkenal daripada menjadi pengkhotbah yang memuliakan Allah. Jika demikian, bibirnya najis sebab hatinya telah bersalah.

            “Aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,” lanjut Yesaya. Dengan perkataan itu, barangkali, ia mengakui bahwa ia telah ikut-ikutan orang banyak, dalam cara bicara mereka, berbicara seenaknya dan mengucapkan hal-hal yang tidak pantas, sampai menyimpang karena teladan buruk di sekitarnya. Barangkali untuk pertama kalinya ia melihat dirinya sebagai seorang yang munafik dan kompromi dengan jalan dunia. Dalam pengakuan ini ia mengutarakan rasa malunya dengan kesadaran penuh.

 
Apakah tiap hari Anda meminta Allah menjadi Tuhan atas cara bicara Anda? Haruskah? Ada baiknya mempelajari ajaran Alkitab tentang kata, bicara, dan lidah.

Tuhan, apakah aku menolerir hal-hal yang kemurnian-Mu tidak dapat mentolerirnya? Tunjukkan aku Tuhan.

Senin, 24 September 2012

Kedekatan Allah

Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!- Yesaya 6:3
 
Apalagi yang kita pelajari tentang kekudusan Allah dari visi Yesaya. Hal ketiga yang kita lihat di sini ialah manifestasi kemahahadiran Allah.
            “Seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” Kemuliaan berarti hadirat Allah diperlihatkan. Para malaikat dan juga manusia yang kerohaniannya peka melihat Allah bercahaya di semua tempat dan semua proses. Di mana pun tak ada orang dapat menghindar dari hadirat-Nya. Untuk mereka yang suka ada dalam hadirat Allah dan tidak ingin menghindar dari-Nya, itu adalah kabar baik; ini menjadi kabar buruk bagi orang yang lebih ingin agar Allah tidak melihat atau memperhatikan hal yang mereka buat.
            Mazmur 139 mulai dengan merayakan kedekatan Allah dan pengetahuan-Nya yang tidak terbatas tentang keberadaan dan keadaan tiap orang percaya dan berakhir dengan permohonan agar Allah, sang penyelidik hati, akan memperlihatkan dosa yang ada dalam pemazmur agar boleh ia buang. “Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi… Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:2-3, 23-24).
            Untuk orang yang ingin mendoakan bagian doa tersebut, aspek kekudusan Allah ini merupakan kebenaran yang tidak mengenakkan.
 
Renungkan Mazmur 139.
Ubah mazmur itu menjadi doa – puji Allah atas pengetahuan rinci-Nya tentang Anda dan ceritakan dengan jujur perasaan Anda mengenai kebenaran dahsyat, berharga, dan merendahkan hati ini.

Sabtu, 22 September 2012

Kebesaran Allah


Aku melihat Tuhan… tinggi dan menjulang,… Para Serafim berdiri di sebelah atas-Nya, masing-masing mempunyai enam sayap; dua sayap dipakai untuk menutupi muka mereka, dua sayap dipakai untuk menutupi kaki mereka dan dua sayap dipakai untuk melayang-layang. - Yesaya 6:1-2

 
Kebenaran kedua tentang Allah, dan aspek kedua dari kekudusan-Nya, ialah kebesaran-Nya. Visi ini melihat Allah “tinggi dan menjulang,” dengan serafim bersayap enam melayang-layang menyembah di hadapan-Nya. Setiap deskripsi itu mengandung pelajaran untuk kita.

            Kita mulai dengan dua sayap yang dipakai untuk menutup wajah para malaikat, sebagai gestur yang mengungkapkan pembatasan diri yang penuh hormat dalam hadirat Allah: yaitu sikap untuk berpada diri dan tidak mengintai ke hal yang tidak Allah bukakan tetapi hidup hanya dengan apa yang telah ia katakan. Ketakjuban termasuk ketidaksediaan untuk tidak mengambil satu langkah pun melampaui apa yang Alkitab katakan. Ketika kita mencapai batas luar dari apa yang Alkitab katakan, tiba saatnya untuk kita berhenti berargumen dan mulai menyembah.

            Sepasang sayap dipakai menutupi kaki para malaikat mengungkapkan sikap pengosongan diri di hadirat Allah. Sikap itu juga satu aspek penyembahan sejati. Para penyembah sejati ingin menghapus diri mereka dari pemandangan, tidak menarik perhatian ke diri mereka, supaya segenap pikiran dan hati, mulai dari mereka, dapat berkonsentrasi tanpa gangguan pada Allah saja.

            Unsur ketiga dalam postur malaikat ialah masing-masing terbang atas dua sayap mereka bagaikan burung, siap untuk pergi untuk Allah, untuk menjalani kehendak-Nya – begitu perintah-Nya diberikan. Kesiagaan itu pun termasuk unsur penyembahan sejati: kita mengakui kebesaran Allah dengan menempatkan diri kita melayani Dia.

Tidak hormat, penonjolan diri, dan tidak bertindak sering kali merusak penyembahan. Apakah penyembahanku bercela karena hal-hal itu?

Tuhan, aku ingin melupakan diri sendiri, berkonsentrasi pada-Mu, dan menyembah Dikau.

Jumat, 21 September 2012

Allah, Tuhan


Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta. - Yesaya 6:1
 

Bacalah Yesaya 6 seluruhnya. Hari ini dan empat hari berikut kita akan mempelajari kebenaran yang Yesaya bukakan bagi kita tentang Allah. Kekudusan yang       menjadi perbedaan khas antara Allah dan manusia, adalah simpulan tepat tentang semua kebenaran ini.

            Pertama, Allah adalah Tuhan, Yesaya melihat simbol visual ketuhanan-Nya: Allah duduk di takhta. Pasti suatu takhta yang besar sebab menurut Yesaya, ujung jubah-Nya memenuhi Bait,” ruang kudus Bait itu berukuran sekitar 18 kali 12 meter dengan tinggi 13.5 meter.

            Visi Allah sebagai Raja, entah dilihat secara visual atau hanya dengan mata pikiran, sering berulang dalam Alkitab. Mazmur-mazmur mencanangkan bahwa Allah memerintah. Yohanes melihat “sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang” (Why. 4:2). Mikha melihat “Tuhan sedang duduk di atas takhta-Nya” (1Rj. 22:19) dan karenanya tidak takut ketika ia melihat raja Ahab dan Yosafat duduk di takhta mereka di gerbang Samaria (1Rj. 22:10). Visi Allah di takhta menjadi jelas bagi Mikha yang sedang dalam tugas.

            Visi penyelenggaraan Allah yang berdaulat akan luar biasa memberikan kekuatan. Mengetahui bahwa tak ada hal dalam dunia Allah yang terjadi lepas dari kehendak Allah akan menggentarkan orang fasik, tetapi hal itu justru memantapkan orang kudus, karena memberikan keyakinan bahwa Allah membuat segala sesuatu berlangsung dan segala peristiwa yang terjadi dengan makna, entah kita mengertinya atau tidak ketika hal itu terjadi. Petrus berbicara tentang salib menyatakan bahwa para pendengarnya telah bersalah membunuh Kristus dan harus bertobat, tetapi ia tegas menyatakan bahwa hal itu tidak terjadi di luar kehendak Allah (Kis. 2:23). Mengetahui bahwa Allah bertakhta menopang kita yang mengalami tekanan dan menghadapi kebingungan, kepedihan, permusuhan, dan kejadian-kejadian yang terkesan tidak bermakna.

 
Sebelum Anda berdoa, entah sendiri atau bersama orang lain, fokuslah pada beberapa ayat yang menegaskan Allah sebagai Tuhan dan Raja.

Berdoalah dengan mengingat bahwa Anda datang kepada raja dan boleh membawa “permohonan besar.”

Kamis, 20 September 2012

Lemah Lembut

Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. - Matius 5:5
 

Yang lemah lembut ialah orang yang tahu bahwa mereka miskin rohani, telah belajar dengan jujur dan dari hati,menyesali semua hal yang bersifat lebih rendah daripada manusia yang di dalamnya mereka pernah terlibat sebagai orang yang tersesat dalam dunia ini, dan kini dalam kerendahan hati hanya menginginkan kehendak Allah semata. Musa adalah orang paling lembut hati (Bil. 12:3). Kelembutan hatinya terungkap dalam penerimaannya atas apa yang Allah tetapkan, termasuk pertengkaran tanpa akhir dengan umat keras kepala dan mengecewakan yang ia coba pimpin dari Mesir ke Kanaan, termasuk juga, barangkali kekecewaan dirinya tidak diizinkan masuk Kanaan.

            Musa seorang yang bertemperamen berapi-api – ini yang membuat ia gagal dalam satu peristiwa di padang gurun – namun meski Allah berkata “Musa, untuk mengajar seisi dunia betapa berat konsekuensi dosa, Aku tidak akan mengizinkan engkau masuk ke tanah itu; umat akan masuk, tetapi engkau tidak; Musa tidak memrotes Allah dengan mengutuk; tetapi dengan diam, sedih, tanpa mengeluh ia menerima apa yang diputuskan  Itulah kelemah-lembutan. Itu berarti menerima, apa saja yang datang, karena tahu bahwa semua datang dari tangan Allah yang mengatur segala sesuatu. Apa yang Ia kirim, kita terima dengan iman, meski hal itu menyakiti, karena tahu bahwa keputusan-Nya adalah demi kebaikan kita dan orang lain.

            Mereka yang lembut – sedia melepas hak mereka di dunia ini, jika Allah memintanya – akan mewarisi bumi; mereka akan dibuat luar biasa kaya di masa depan. Yesus bicara tentang kekayaan surga lebih dari kekayaan dunia, menggemakan Mazmur 37:11; tentang mewarisi bumi. Kemurahan di bumi yang dicanangkan dalam Perjanjian Lama kerap diubah menjadi surgawi dalam Perjanjian Baru.

 
Kelemahlembutan bukan kelemahan; sikap itu terdiri dari kesediaan menerima apa yang Allah kirim – dan sikap ini menuntut orang memohon Allah memberi kekuatan untuk menerimanya.tanpa keluhan.

Adakah hal yang saya perlu terima dan berhenti menolak?

Rabu, 19 September 2012

Miskin dalam roh


Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah. - Matius 5:3

 
Kata yang diterjemahkan “miskin,” dalam bahasa Yunaninya jauh lebih kuat: “pengemis.” Seorang pengemis adalah orang yang bangkrut, merana, dan di luar pertolongan; ia tidak punya sumber, tanpa prospek, dan tiada harapan di dalam dan di luar dirinya. Yang Yesus katakan ialah: “Keberkatanlah (bahagia, beruntung, patut dicemburui, dan dianggap istimewa) para pengemis rohani; mereka yang sedemikian sadar akan dan direndahkan oleh kepapaan rohani mereka sampai mereka siap mengakui kebutuhan mereka secara terbuka.” Di sini Yesus menantang ide yang lazim diterima dalam Yudaisme bahwa seorang Yahudi, sebagai bagian dari umat perjanjian Allah, ada dalam posisi untuk menerima perkenan Allah. Kebenarannya ialah bahwa tak seorang pun kita memiliki hak, kelayakan, sesuatu yang dapat membuat kita dipuji, untuk mendapat perkenan Allah. Kita semua “salah, jahat, dan tak berdaya.”

            Kerajaan surga adalah suatu kehidupan baru, suatu tatanan realitas baru, suatu gaya hidup baru. Kita datang ke kerajaan dengan menerima Yesus sebagai Juruselamat dan raja atas hidup kita. Hidup dalam kerajaan adalah hidup pertobatan yang terus menerus, juga sebagai hidup iman dan kesukaan terus menerus dalam relasi baru kita dengan Allah. Terkadang Yesus bicara tentang kerajaan sebagai suatu realitas masa kini (Mat. 5:3, 10); terkadang sebagai realitas masa depan (Mat. 5:30). Tetapi relasi yang kita ikut di dalamnya, tetap adanya, meski di surga kelak pasti akan jauh lebih meriah. Relasi ini tidak untuk siapa pun kecuali para pengemis rohani, yang merespons Yesus sebagai Juruselamat ilahi dan Tuhan serta yang diterima oleh Allah Bapa demi Yesus.

 
Renungkan: Para pengemis bisa memilih, akan tetap duduk di pinggir jalan meminta-minta, atau menyambut undangan Yesus.

Tuhan, apakah Engkau ingin aku makin menyadari kehampaan hidupku tanpa Engkau dalam semua wilayah hidupku?

Selasa, 18 September 2012

Tidak Takut Berpikir

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan… segenap akal budimu. - Matius 22:37

 
Ketika Kristus memanggil kita, sebagai bagian dari hukum pertama, untuk mengasihi Allah dengan segenap akal budi kita, Ia meminta kita benar-benar menggunakan pikiran kita. Maksudnya bukan saja kita perlu belajar doktrin dalam kevakuman, tetapi menerapkan doktrin ke fakta-fakta dunia Allah sebagaimana yang kita kenal supaya kita boleh menafsirkannya dengan tepat dan dalam segala mampu membedakan apa pikiran dan kehendak A-
            Orang Kristen dilarang tidak tertarik pada dunia. Iman alkitabiah diberikan kepada kita bukan sekadar untuk mendapatkan jaminan masuk surga tetapi juga untuk menyediakan kita prinsip untuk hidup kreatif dan imajinatif di sini dan kini. Kita harus memakai pikiran yang Ia karuniakan kepada kita dengan menerapkan kebenaran yang Ia nyatakan ke seluruh hidup, dalam rangka agar semuanya boleh dikuduskan.

            Memang kita harus menjaga jarak dari dunia dalam arti kita tidak boleh menganggap dunia ini rumah kita atau menganggapnya sebagai ganjaran kita sejati. Sikap memandang dunia ini sebagai pilihan kedua disebabkan orang Kristen berkata “bagiku hidup adalah Kristus” (Fil. 1:21). Tetapi setara dengan itu, kita tidak boleh membelakangi dunia dan hilang interes kepadanya. Allah memerhatikan dunia, kita pun harus.

            Ini akan berarti kita sedia untuk memikirkan tentang masalah-masalah mendesak masa kini – relasi antar ras, relasi kerja, relasi dengan penganut agama lain, kemiskinan, pencemaran, human-trafficking, berbagai wabah penyakit. Juga ketika kita berusaha memenangkan orang lain kepada Kristus kita harus menghadapi kesulitan hidup yang mereka alami. Kesaksian Kristen bukan sekadar melemparkan ayat-ayat Alkitab, tetapi duduk berdampingan dengan orang lain yang ingin kita bantu dan memikirkan bersamanya bagaimana memecahkan masalah mereka.

 
Siapkah aku memakai akal budiku secara demikian?

Tuhan, jadikanku tidak takut berpikir, peduli, dan terlibat.

Senin, 17 September 2012

Tak Khawatir Apa Pun


Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? - Matius 6:25
 

Bacalah kembali ucapan Yesus tentang kekhawatiran ini (Matius 6:24-35) dan catat alasan yang ia berikan agar kita tidak khawatir dan mengapa tidak perlu khawatir.

            Kekhawatiran menghancurkan kepekaan tentang proporsi. Ketika kita khawatir tentang makanan dan pakaian, kita tidak dapat menghargainya sebagai pemberian agung Allah yaitu hidup ini.

            Kekhawatiran menghancurkan persepsi rohani. Ketika kita diserap olehnya, kita tidak bisa peka akan nilai yang Allah berikan kepada kita. Jika Ia memerhatikan burung, tidak dapatkah kita menaruh percaya pada Bapa surgawi kita untuk menyediakan kebutuhan kita?

            Berikutnya pertimbangan akal sehat. Anda tak dapat mengubah situasi (Siapa dapat memperpanjang usia sejengkal saja dengan berkhawatir?) (27); jadi apa gunanya khawatir?

            Akhirnya – dan ini jepitannya – selain tak mencapai apa pun, khawatir pun tidak perlu. Allah yang sama yang memakaikan bunga dan rumput dengan keindahan pasti akan juga memberi pakaian, makanan dan minuman yang diperlukan oleh anak-anak-Nya.

            Yesus menyebut para murid “orang yang beriman kecil,” ini menunjukkan bahwa khawatir keluar dari kurang / tidak percaya. Jika kita sungguh percaya janji Allah dan relasi-Nya kepada kita sebagai Bapa yang mengasihi, murah hati, perhatian, kita tidak mungkin penuh dengan kekhawatiran. Sebaliknya kita akan mencari dulu Kerajaan-Nya (hidup keselamatan, ketaatan, dan persekutuan) dan kebenaran-Nya (kehendak-Nya dalam keseharian kita). Dengan begitu kita akan menjalani realitas hidup dalam kesukaan iman akan pemeliharaan-Nya yang sempurna dan mencakup seisi dunia ini.

 
Apa yang Anda khawatirkan kini?

Serahkan tiap kekhawatiran kepada Allah dengan menyebutnya atau dengan tindakan simbolik lainnya.

Sabtu, 15 September 2012

Spiritualitas Mendunia


Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. - Kejadian 1:28
 

Suatu aliran filsafat tertentu beranggapan bahwa dunia materi ini jahat dan tak bernilai. Karena itu kita harus mengurangi berurusan dengannya. Spiritualitas sejati berarti hidup menjauh dari dunia sebisa mungkin; kekudusan dipahami sebagai menahan diri dari lalu lintas tidak perlu dengan hal-hal ciptaan. Tidak ada yang penting untuk dipelajari dari realitas di bawah ini (dunia), dan semakin kita tidak tertarik kepadanya, semakin sehat jiwa kita.

            Spiritualitas seperti itu bukan spiritualitas Kristen, namun masih saja hal itu menyelinap ke dalam gereja Kristen. Sebagian orang memupuk ide bahwa pemikiran konstruktif tentang isi dan masalah dunia bukan urusan Kristen; atau mereka menjaga agar iman Kristen mereka terpisah dari studi sekular di ruang berbeda dalam akal mereka, sebab mereka tidak melihat kemungkinan keduanya saling memperkaya. Memang harus diakui orang Kristen semacam itu memiliki semangat berkobar, tetapi jangan kaget bila mereka menyerang orang Kristen lain sebagai setengah hidup dan tidak bertumbuh.

            Ide filsafat Manichean itu jelas salah total. Allah tidak ingin orang Kristen sampai kehilangan ketertarikan kepada dunia. Ia menciptakan manusia untuk memerintah tatanan ciptaan; kita harus memerintah dunia dan menggunakannya untuk kemuliaan Allah; dengan demikian kita boleh dan harus mempelajari isi dan masalah dunia ini. Ini termasuk panggilan kita baik sebagai manusia maupun sebagai orang Kristen.

 

Tidakkah penting (khususnya untuk generasi muda) mempelajari bagaimana pendekatan Alkitab tentang sejarah, ilmu alam, filsafat, psikologi, dan studi “sekular” lainnya?

Doakan anak muda yang Anda kenal yang merasa terbagi dua tentang isu tadi, agar mereka berhasil mengembangkan pola pandang kehidupan yang Kristiani.

Jumat, 14 September 2012

Rindu Allah Dimuliakan


Aku menghormati Bapa-Ku… Aku tidak mencari hormat bagi-Ku. - Yohanes 8:49-50
 

Kesalehan (keilahian) adalah kualitas hidup yang ada dalam mereka yang memuliakan Allah. Orang yang saleh tidak keberatan dikatakan bahwa panggilan tertinggi hidup mereka ialah menjadi alat kemuliaan Allah. Mereka justru menganggap itu sebagai sumber kepuasan dan kepenuhan hidup. Ambisi mereka ialah mengikuti rumusan hidup agung yang Paulus simpulkan tentang Kekristenan: “Muliakanlah Allah dalam tubuhmu,” “entah kamu makan atau minum, atau apa pun yang kamu lakukan, lakukanlah semuanya untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 6:20; 10:31). Pengharapannya yang terbesar adalah meninggikan Allah dengan segenap keberadaan dan dalam semua tindakan mereka.

            Seperti Allah sendiri, orang yang saleh sangat cemburuan dan ingin hanya Allah, Allah saja yang dihormati. Kecemburuan semacam itu adalah bagian dari kenyataan bahwa gambar Allah dalam mereka telah mengalami pembaruan. Kini ada doksologi tertulis dalam hati mereka, dan diri mereka tidak pernah sepenuh seperti ketika mereka memuji Allah tentang hal-hal mulia yang Ia telah lakukan dan memohon agar dapat lebih memuliakan Allah seterusnya.

            Kita boleh berkata bahwa melalui doa mereka, mereka dikenal – oleh Allah, jika bukan juga oleh manusia. Doa di tempat tersembunyi adalah sumber kehidupan orang saleh. Dan bila kita bicara tentang doa, kita bukan merujuk ke formalitas santun, hati-hati, terpola, penuh pertimbangan diri yang terkadang dianggap sebagai doa yang sejati. Orang saleh tidak berdoa sambil bersandiwara, sebab hatinya ada di dalam doa. Doa baginya adalah pekerjaan utamanya. Dan beban doanya selalu sama, pengungkapan hasrat terkuat dan terpastinya: bahwa Allah dipermuliakan.

 
Lihat mazmur 21:13(14); 57:5(6); Yoh. 12:28; Matius 6:9.

Jadikan ayat-ayat itu dasar doa dan penyembahan Anda.

Kamis, 13 September 2012

Menyukakan Roh


Janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah. - Efesus 4:30
Hendaklah kamu penuh dengan Roh, - Efesus 5:18
 

Firman ini menegaskan bahwa Roh Kudus adalah pribadi dan bahwa sifat-Nya adalah kudus. Seperti halnya dengan pribadi Allah Bapa dan Putra, perilaku tertentu menyukakan Dia, perilaku lain mendukakan-Nya. Yang termasuk hal kedua itu ialah kepahitan, kemarahan, kejengkelan, pertengkaran, fitnah, kebencian, dan mencuri (Efs. 4:28-31), bahkan semua pelanggaran hukum moral lainnya. Kristen yang jatuh ke dalam dosa-dosa ini mengacaukan rencana-Nya dan merusakkan karya-Nya yang membuat kita menjadi serupa Kristus. Pengetahuan bahwa kita adalah rumah Roh Allah dan bahwa “tamu yang penuh anugerah dan selalu sedia ini” bekerja keras dalam hati kita untuk menguduskan kita, harusnya menimbulkan rasa hormat yang takjub dan cepat membuat kita malu dan meninggalkan segala kekurangan moral kita (1Kor. 6:19; Fil. 2:12).

            Untuk menjauhkan kita dari mendukakan Roh, Alkitab mendorong kita ke sisi lawannya yang positif – yaitu, dipenuhi dengan Roh. Kata yang dipakai menyiratkan suatu kewajiban terus menerus. “Dipenuhi” mengandung arti sepenuhnya memikirkan dan dikendalikan oleh realitas yang diberitahukan oleh Roh, dan hal ideal dalam hidup yang Ia tunjukkan kepada kita. Dari sumber mana kita boleh mencari kepuasan hidup? Tidak dari pemuasan nafsu serupa orang mabuk oleh alkohol (cara pemuasan yang duniawi), tetapi dari memusatkan perhatian sepenuhnya dengan perhatian Roh sendiri. Maka kita akan memiliki sesuatu yang akan membuat kita bernyanyi, sebab Roh yang disukakan akan menopang kita dengan sukacita yang tak pernah dikenal oleh orang duniawi (Efs. 5:18-20).


Apakah orang Kristen gereja Anda dicirikan oleh kesukaan? Bisa saja mengklaim kesukaan batin, namun tak seorang pun memercayai itu jika wajah kita tegang, keras, dan tidak puas.

Tuhan, dagingku lemah tetapi rohku ingin Roh-Mu memenuhi setiap bagian keberadaanku.

Rabu, 12 September 2012

Kesukaan melalui Melayani


Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.
Yohanes 4:34

 
Yesus adalah teladan dalam semua segi kehidupan; juga menyangkut motivasi dan sikap Ia merupakan pengukur tentang apa arti menjadi manusia sejati. Jika manusia gagal mengasihi Allah dan sesama sebagaimana yang Allah maksudkan bagi kita, kita menjadi kurang manusiawi. Hanya jika kita menetapkan hati untuk meniru teladan Kristus, barulah kita memenuhi dan mengembangkan – sebagai lawan dari melanggar dan merusak – sifat manusiawi kita, yang memang telah banyak dirusak oleh hadirnya dosa. Dan hanya dengan cara ini kita dapat menemukan kesukaan sejati, yang secara integral selalu terikat dengan perasaan bahwa hidup kita berarti serta terpenuhi. Ketika Yesus berkata bahwa makanan-Nya adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus-Nya dan menggenapi pekerjaan-Nya, ia sedang menyaksikan tentang kesukaan yang Ia dapatkan di dalam pelayanan Bapa-Nya – yaitu pelayanan yang memenuhi sifat-Nya sebagai Anak, dan juga setara dengan itu memenuhi sifat-Nya sebagai manusia.

            Untuk kita, sebagaimana untuk Yesus, realisasi penuh dari semua potensi khas manusiawi kita (suatu realisasi yang sekaligus merupakan inti kebebasan dan puncak kesukaan) ditemui bukan dalam kehendak diri, tetapi dalam pelayanan kepada Allah (yang untuk kita berarti melayani Anak dan Bapa, dan orang lain demi Tuhan). Jalan lain mungkin sesaat memberikan pemenuhan diri tetapi tidak memberikan kebebasan  atau kesukaan; dan pemekaran pengalaman kita yang dihasilkan oleh jalan lain itu tak bernilai dibandingkan dengan pengerdilan kemanusiaan sejati kita.

 
Dapatkah saya menggemakan ucapan Yesus ini?

Tuhan, luaskan pengalamanku akan Engkau supaya aku boleh bertumbuh dalam kemanusiaan sejati.

Senin, 10 September 2012

Yang Utama, Pertama

Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.
- Matius 6:33

 
Yesus mengajar para murid-Nya untuk tidak khawatir atau berpikir berlebihan tentang harta benda (Mat. 6:25-34). Bukan berarti kita boleh malas; sebab dalam firman yang lain kita diminta untuk bekerja keras, jujur dan mencukupi keluarga kita (2Tes. 3:10; Efs. 4:28; 1Tim. 5:8). Tetapi memang hal-hal itu tidak boleh menempati prioritas melebihi relasi kita dengan Allah.

            Marta tidak melihat prioritas ini. Ketika Yesus dan para murid datang berkunjung, ia ingin memberi kesan baik, memasakkan mereka makanan enak. Itu tidak salah, tetapi ia terpaksa menunda prioritas utamanya. Ketika ia kesal karena Yesus tidak menyuruh Maria untuk membantu, Yesus menjawab bahwa meski Marta sudah bersusah payah tentang penyambutan itu, Maria memilih hal yang harus dipertamakan.

            Mudah sekali terjebak ke dalam kesibukan keseharian dan berkata kepada diri sendiri bahwa semua itu lebih penting daripada persekutuan dengan Allah. Sebenarnya, tak satu pun lebih penting. William Temple berkata bahwa kita cenderung menganggap kelakuan lebih penting dan doa adalah penunjang untuk kita bertindak benar, padahal yang benar ialah doa adalah yang paling penting dan kelakuan kita adalah petunjuk tentang kualitas doa kita. Kita harus menomorsatukan yang nomor satu, sambil percaya bahwa Allah memperhatikan kebutuhan kita, dan menolak kekhawatiran untuk mengemuka dalam hidup kita, sambil usaha untuk mengenal dan menyukakan Allah menjadi perhatian pertama kita.

 
Hal yang sungguh sangat ku inginkan dalam diriku dan mereka yang kukasihi ialah… (selesaikan kalimat ini),

Minta Allah menolong Anda memilih/menjalani prioritas hidup yang benar.

Jumat, 07 September 2012

Kesukaan karena Mengasihi Diri Sendiri

Terang itu menyenangkan dan melihat matahari itu baik bagi mata. - Pengkhotbah 11:7
 

Rahasia ketiga untuk sukacita ialah mengasihi diri sendiri, dalam arti mengizinkan Anda menikmati hal-hal yang dapat dinikmati dalam hidup ini (11:7-10). Dalam ayat-ayat ini penulis memberi petunjuk tentang bagaimana kita dapat bahagia dengan bagian hidup kita tiap hari, meski terjadi ketegangan dan kepedihan. Kita perlu mempraktikkan penikmatan dan entusias tentang kegembiraan dalam keseharian. Lebih baik bersemangat daripada tidak. Di bagian awal Pengkhotbah, penulisnya memodelkan seseorang yang telah melakukan dan mencoba segala sesuatu, lalu berkata bahwa ia membenci hidupnya sebab tidak satu pencapaian pun telah memberinya kepuasan dan ia merasa tertipu. Tetapi orang yang berpikiran benar, demikian kini Pengkhotbah melanjutkan, tidak membenci hidup. Ia ingat bahwa “terang itu menyenangkan, dan melihat matahari itu baik bagi mata” (7-8).

            Ketika penulis berkata, “Segala sesuatu sia-sia,” maksudnya ialah bahwa hidup mungkin tidak akan seperti yang Anda harapkan atau memberi yang Anda inginkan. Namun demikian kita dapat dan harus bersukacita sementara kita menghidupi kehidupan pemberian Allah ini. Sebab hidup baik adanya. Ada warna, terang, kehangatan, dan keindahan dalam dunia Allah dan orang-orang yang melakukan hal-hal baik; hidup membawa banyak saat kegembiraan jika kita cermat.

            Hidup Kristen yang berhikmat akan entusias, menanti dengan realistis bahwa akan ada banyak hal yang salah dan terasa menyimpang, namun pada saat sama dengan sepenuh hati menikmati semua kegembiraan yang Allah berikan tiap-tiap hari. Nasihat yang baik untuk kita semua, tetapi penulis khusus menerapkan itu kepada orang muda (9-10).

 
Setujukah Anda, Anda harus mengasihi diri sendiri? Mengapa? Dan bagaimana?

Tuhan, bukakan dan bangkitkan segenap kepekaan, hati, akal budiku untuk mencerap dan merespons segala sesuatu dan semua orang yang mencerminkan secara unik kasih, kebenaran, atau kreatifitas-Mu.

Kamis, 06 September 2012

Kesukaan melalui Mengasihi Sesama


Lemparkanlah rotimu ke air… Berikanlah bahagian kepada tujuh, bahkan kepada delapan orang.
Pengkhotbah 11:1-2
 

Rahasia kedua untuk bersukacita ialah mengasihi sesama (11:1-6). Ayat kunci di atas menggambarkan tangan terbuka yang murah hati yang melihat kebutuhan di sekitar dan menerima risiko untuk berusaha memenuhinya. Anda melempar roti ke air. Anda memberikan kepada orang yang dengan perhitungan manusia tidak mungkin mengembalikan. Ingat perumpamaan talenta tentang orang yang begitu takutnya kehilangan apa yang ia punya, hanya mengubur talentanya? Ketika tuannya pulang, ia tidak dipuji seperti yang ia harapkan, tetapi dikecam keras dan dinilai telah tidak setia. Dengan tidak berbuat apa-apa supaya tidak menanggung risiko apa pun, orang itu tidak mencapai apa-apa; dan Tuhan tidak memberi perhatian apa pun kepada murid yang tak berbuat apa-apa.

            Harus ada luapan gairah yang riil, kesediaan nyata untuk mengambil risiko, sampai kita bekerja dan menolong serta melayani orang lain. Orang Kristen sejati akan kedapatan selalu melakukan hal-hal yang terkesan tidak bijak demi melayani orang lain. Orang yang bijak-duniawi akan berkata: “Anda buat itu, Anda pasti bangkrut. Anda buat itu, lalu apa jadinya keluarga Anda? Atau reputasi Anda” Tetapi komentar begitu bukan semangat hati-lapang, tangan-terbuka, kemurah-hatian yang berani memikul risiko yang Tuhan inginkan dari kita (Luk. 6:30). Kita tidak boleh bertanya apakah ada cukup cadangan makanan di lemari es kita untuk menjamin tindakan kita menolong orang lapar. Kita harus melakukan itu karena ada orang yang membutuhkan, bahkan jika untuk itu kita sendiri harus jadi lapar, sebab itulah sikap yang harus ada dalam kita: semangat untuk bersedia memperluas jangkauan diri kita bahkan sampai berlebihan untuk memenuhi kebutuhan sesama kita. Orang Kristen perdana memiliki semangat itu (Kis. 2:44-45; 4:34-35). Kita harus memilikinya juga.

 
Bakarlah jembatan di belakang Anda agar tidak ada kemungkinan lain selain maju. Lakukan itu agar Anda dapat memiliki semangat kasih yang berisiko, nekat, dan aktif.

Tuhan, tolongku untuk bebas, terbuka tangan, murah hati, dan bebas mengasihi sesamaku.

Rabu, 05 September 2012

Kesukaan melalui Mengasihi Allah

Ingatlah… Penciptamu pada masa mudamu, - Pengkhotbah 12:1
 

Anda seperti juga semua orang lain pasti ingin memiliki sukacita dalam hidup, bukan? Pengkhotbah 12 memberikan petunjuk. Ia memberi tiga rahasia sukacita yang kelak lebih penuh dinyatakan lagi dalam Perjanjian Baru. Untuk bersukacita, Anda harus mengasihi diri sendiri, sesama, dan Allah. Kita tidak dapat mengasihi sesama sebagaimana mestinya kecuali Anda telah belajar mengasihi diri sendiri; mengasihi diri dengan tepat hanya bisa terjadi jika Anda telah belajar mengasihi Allah; dan tidak mungkin mengasihi Allah kecuali Allah lebih dulu mengasihi dan menaruh penilaian-Nya atas Anda sebagai orang yang telah Ia ciptakan dan tebus dan jadikan anggota keluarga-Nya.

            Jadi rahasia pertama sukacita ialah mengasihi Allah. Hal itulah yang ditegaskan Pengkhotbah ketika mengatakan, “Ingatlah Penciptamu pada masa mudamu.” Dengan kata lain: Sekarang ini, semasa Anda memiliki tenaga dan kekuatan, bersungguhlah melayani Allah yang telah melakukan dan memberi begitu banyak untuk memberkati Anda. Ada perubahan hidup yang terjadi sesudah orang lanjut usia, tetapi alangkah sedih bila seseorang harus menjalani masa tua dalam penyesalan bahwa ia tidak mengasihi Tuhan lebih awal supaya dapat melayani Dia dengan energi kemudaannya. Dalam Perjanjian Lama dan Baru, melayani Allah adalah bagian dari kasih kepada-Nya – takut kepada-Nya: “Takutlah kepada Allah dan peganglah perintah-perintah-Nya” (13). Takut yang dimaksud tidak ada hubungan dengan ketakutan. Takut adalah ungkapan kasih yang memuja, menyembah, dan takjub, karena mengingat kebesaran Allah dan kekecilan diri kita.

            Umat Israel Perjanjian Lama mengasihi Tuhan sebab Ia mengasihi mereka dan melepaskan mereka dari tawanan di Mesir. Orang Kristen mengasihi Tuhan sebab Ia mengasihi mereka dan membebaskan mereka dari tawanan dosa dan dari keabadian tanpa Allah yang tanpa Dia semua kita menuju ke akhir celaka itu.

 
Apakah hidupku kurang sukacita? Seberapa besar kasihku kepada Allah?

Tuhan, tunjukkanku hari lepas hari apa arti mengasihi-Mu dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan (Mrk. 12:30).

Selasa, 04 September 2012

Ketidakjelasan Hidup


Segala jerih payah manusia adalah untuk mulutnya, namun keinginannya tidak terpuaskan.
Pengkhotbah 6:7
 

Dalam pasal 6  penulis Pengkhotbah pertama berkata bahwa orang yang usianya panjang tetapi tidak menikmati hal-hal baik dalam kehidupan lebih buruk daripada anak yang keguguran. Baik orang itu maupun bayi yang tidak hidup itu pergi ke tempat sama, tetapi orang itu pergi dalam keadaan kurang bahagia (3-4).

Lalu ia membuat generalisasi bahwa orang yang bekerja keras untuk mencari nafkah tetap masih memiliki keinginan tak terpuaskan (7). Jadi apa kelebihan orang berhikmat daripada orang bodoh? (8). Ia lalu mengomentari bahwa realisme lebih baik daripada fantasi; hidup dalam fantasi adalah contoh lain tentang kesia-siaan (9).

Kini tiba semacam kesimpulan. “Apapun yang ada, sudah lama disebut namanya. Dan sudah diketahui siapa manusia, yaitu bahwa ia tidak dapat mengadakan perkara dengan yang lebih kuat dari padanya. Karena makin banyak kata-kata, makin banyak kesia-siaan. Apakah faedahnya untuk manusia? Karena siapakah yang mengetahui apa yang baik bagi manusia sepanjang waktu yang pendek dari hidupnya yang sia-sia, yang ditempuhnya seperti bayangan? Siapakah yang dapat mengatakan kepada manusia apa yang akan terjadi di bawah matahari sesudah dia? (10-12). Dengan kata lain: Apa gunanya hikmat jika hidup seperti itu? Kita tidak dapat menemukan arti darinya. Ayat-ayat ini adalah bagian paling pahit dalam Pengkhotbah, menggabungkan semua perasaan kesia-siaan yang telah dipaparkan dalam separuh pertama buku ini.

Tetapi dalam bagian kedua, pengkhotbah memberitahu pembaca: Carilah hikmat, hargai hikmat, dan Anda akan berada di jalan menuju kesukaan, betapa pun pahit dan pesimis perasaan Anda ketika memulai perjalanan hidup, dan betapa pun kesusahan bertambah. Ia menuntun kita ke kesukaan, bukan ke kesuraman.

 
Awasi suasana hati murung ini, baik dalam diri Anda maupun orang lain. Cari tahu tentangnya dari buku atau media lain.

Berdoalah untuk orang yang sedang mengalami kesuraman agar Allah memimpin mereka ke jalan hikmat dan kesukaan.

Senin, 03 September 2012

Masalah Kehidupan

Aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari. - Pengkhotbah 4:1
 

Pengkhotbah melihat ke sekeliling dan mencatat beberapa hal ini. Pertama, ia melihat penindasan – tangis dan kepedihan, tanpa seorang pun yang menghibur mereka; di pihak lain para penindas berkuasa dan sanggup memperlakukan orang lain seenaknya – sedemikian parah sampai yang tak berdaya dan terhimpit merasa lebih baik tidak pernah hidup.

            Kedua, kesia-siaan kesibukan hidup. Segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seseorang terhadap yang lain” (4-8). Salah satu motivasi kuat dalam hidup ialah iri hati, cemburu, sombong, dan keinginan melebihi orang lain. Tetapi hidup yang digerakkan oleh kecemburuan tidak pernah memberi kepuasan.

            Kemudian, ia melihat kesepian dalam dunia Allah (9-12). Pemikiran penting dalam alinea ini ialah kesedihan orang yang sendirian: ketika ia gagal, tidak ada yang menolong (10). Ketika ia dalam masalah, tak seorang pun di sampingnya. Ada banyak orang seperti itu di dunia, dan dalam keluarga Allah: gereja Kristen.

            Akhirnya, ia melihat kesusahan dalam naik turun kehidupan (13-16). Pengkhotbah mungkin melihat kenyataan ketika ia merujuk ke raja tua dan bodoh, yang tak lagi sedia menerima nasihat, meski ia telah keluar dari penjara untuk menjadi raja atau dalam kerajaannya sendiri ia miskin. Ketika ia naik kuasa ia menjadi sombong dan bebal. Apa yang akan terjadi? Kelak ia akan diganti oleh seorang muda yang miskin yang kelak pun akan diganti dan dilupakan juga. Hidup untuk tiap orang ada gelombang naik dan turunnya, dan semakin tinggi ia naik, semakin hebat jatuhnya.

 
Apa pikiran dan perasaan Anda melihat masalah-masalah hidup?

Tuhan, tidak banyak yang berubah sejak zaman Pentkhotbah. Kini masih ada penindasan, kesepian, kerja keras sia-sia, turun dan naik… Bagaimana supaya aku ada tanpa menjadi bagian di dalamnya?

Sabtu, 01 September 2012

Kenikmatan Hidup


Aku berkata dalam hati: "Mari, aku hendak menguji kegirangan! Nikmatilah kesenangan! Tetapi lihat, juga itupun sia-sia."  - Pengkhotbah 2:1
 

Penulis Pengkhotbah menguji kenikmatan hidup dengan mencicipinya (2:1-11).

            Ia mencoba kesenangan, permainan dan minuman keras (1-3); kemudian ia masuki dunia bangunan, membangun rumah, dam menata perumahan (4-6). Sesudah itu ia menumpuk harta – para budak lelaki dan perempuan, kawanan ternak, perak, emas, dan harta berharga lainnya (7-8); apa saja yang ia ingin ia ambil. Tetapi akhirnya ia masih juga tidak puas, meski masih menikmati bekerja selama ia masih bisa bekerja (9-11).

            Banyak orang juga seperti itu. Kita menikmati melakukan hal-hal sehingga kita merespons tantangan dan kerja keras dan mungkin menghasilkan uang, mendirikan perusahaan, dan mampu membeli rumah mewah. Semua itu menyenangkan tetapi ketika semuanya berlalu kita menemukan bahwa semuanya bagaikan mengejar angin. Tidak satu pun memberikan kesukaan. Mungkin kita merasakan kenyamanan, kepastian, tetapi sukacita lebih dari sekadar tidak mengalami ketidaknyamanan. Untuk bersukacita harus ada semacam kepekaan bahwa hidup berharga, dan kita berarti.

            Jika kita mencari arti dan makna dalam kesenangan hidup, kita akan kecewa sebab kita mencari di tempat salah. Kesenangan yang dijanjikan oleh pencapaian adalah tipu: kita pikir kita akan mendapatkan kepuasan abadi sekali kita telah mencapainya – ternyata tidak! Sebaliknya kita menemukan apa yang Marie Antoinette katakan, ketika Anda memiliki semua tak satu pun terasa. Semakin Anda memiliki kesenangan dunia, semakin kurang gembira Anda akan mereka.

 
Apa yang memberi hidupku arti dan makna?

Arahkan pikiran Anda untuk memuji dan meminta Allah menolong Anda lebih yakin menjalani keseharian Anda karena mengingat Anda berarti di mata Allah.