Orang-orang kudus yang ada di tanah ini, merekalah orang mulia yang selalu menjadi kesukaanku. - Mazmur 16:3
Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami ... Matius 6:9
Biasakan berdoa lebih banyak dengan kata ganti orang jamak dan inklusif: kami, bukan dengan "aku" atau "kita" yang cenderung individualistis-egois dan eksklusif.
Anggapan bahwa iman adalah urusan perorangan tidak sepenuhnya benar. Memang kita mengambil keputusan untuk menerima Yesus, untuk ikut Dia, untuk hidup dalam jalan-jalan Allah. Namun, bukankah di balik keputusan-keputusan pribadi itu selalu ada keterlibatan pihak lain: orangtua yang mendidik dan membimbing dalam iman, kelompok doa syafaat dalam gereja yang memberi perhatian dan doa, teman yang dipakai Tuhan untuk mengajak kita ikut KKR, komsel, dlsb? Seperti orang lumpuh yang menerima pengampunan dan penyembuhan dari Yesus karena iman teman-temannya yang mengereknya turun dari sotoh rumah ke depan Yesus, demikian juga kita harus selalu ingat dan bersyukur bahwa iman saya bersentuhan dengan banyak iman orang lain, maka selayaknyalah bahwa dalam doa kita hisabkan diri sebagai kami.
Ungkapan paling tepat untuk mempraktikkan ke-kami-an hidup spiritualitas itu ialah dalam doa. Allah yang kita sembah, Tuhan yang menyelamatkan dan menopang kita dengan setia, Allah Bapa yang dari-Nya memancar rencana penyelamatan dalam Yesus Kristus itu adalah Bapa kita semua orang yang beriman, maka Yesus mengajar kita untuk menyapa-Nya dengan "Bapa kami." Karena itu, ketika kita berdoa "Bapa kami" kita bukan sekadar membuat ungkapan kata ganti orang majemuk, tetapi kita menempatkan diri kita dalam persekutuan dengan banyak saudara-saudari seiman, bahkan dengan seluruh orang kudus dari segala zaman. Dengan belajar berdoa sebagai kami, kita akan didorong untuk hidup dengan selalu mempertimbangkan sesama saudara seiman kita.
Biasakan berdoa lebih banyak dengan kata ganti orang jamak dan inklusif: kami, bukan dengan "aku" atau "kita" yang cenderung individualistis-egois dan eksklusif.
Anggapan bahwa iman adalah urusan perorangan tidak sepenuhnya benar. Memang kita mengambil keputusan untuk menerima Yesus, untuk ikut Dia, untuk hidup dalam jalan-jalan Allah. Namun, bukankah di balik keputusan-keputusan pribadi itu selalu ada keterlibatan pihak lain: orangtua yang mendidik dan membimbing dalam iman, kelompok doa syafaat dalam gereja yang memberi perhatian dan doa, teman yang dipakai Tuhan untuk mengajak kita ikut KKR, komsel, dlsb? Seperti orang lumpuh yang menerima pengampunan dan penyembuhan dari Yesus karena iman teman-temannya yang mengereknya turun dari sotoh rumah ke depan Yesus, demikian juga kita harus selalu ingat dan bersyukur bahwa iman saya bersentuhan dengan banyak iman orang lain, maka selayaknyalah bahwa dalam doa kita hisabkan diri sebagai kami.
Ungkapan paling tepat untuk mempraktikkan ke-kami-an hidup spiritualitas itu ialah dalam doa. Allah yang kita sembah, Tuhan yang menyelamatkan dan menopang kita dengan setia, Allah Bapa yang dari-Nya memancar rencana penyelamatan dalam Yesus Kristus itu adalah Bapa kita semua orang yang beriman, maka Yesus mengajar kita untuk menyapa-Nya dengan "Bapa kami." Karena itu, ketika kita berdoa "Bapa kami" kita bukan sekadar membuat ungkapan kata ganti orang majemuk, tetapi kita menempatkan diri kita dalam persekutuan dengan banyak saudara-saudari seiman, bahkan dengan seluruh orang kudus dari segala zaman. Dengan belajar berdoa sebagai kami, kita akan didorong untuk hidup dengan selalu mempertimbangkan sesama saudara seiman kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar