Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada
nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi
Aku berkata kepadamu… - Matius 5:21-22
Orang
Farisi menganggap bahwa hukum keenam hanya tentang pembunuhan sebagai tindakan.
Yesus memberitahu para murid-Nya (Mat. 5:21-36) bahwa hukum itu lebih luas
maknanya, termasuk melarang kejahatan, niat buruk, dendam, permusuhan.
Prinsipnya ialah bahwa hukum Allah tidak saja mencakup tindakan (membunuh
sungguhan), tetapi sikap (menginginkan orang agar mati).
Yesus memberikan ilustrasi dari
relasi intern para murid. Jika Anda marah kepada saudara Kristen, atau melukai
dia, atau menyebutnya bodoh, demikian ujar Yesus, Anda dalam bahaya kebinasaan
rohani, sebab hati Anda salah. Jadi jika Anda beribadah lalu teringat bahwa
saudara Anda menyimpan sesuatu terhadap Anda karena Anda telah memperlihatkan
niat buruk atau dendam, tunjukkan pertobatan kepada Allah dan kasih kepadanya
dengan segera membereskan masalah itu sebelum Anda menyembah Allah, atau Anda
akan mengulang dosa Kain. Sama dengan itu, jika seseorang menuduh Anda,
berdamailah segera; jangan biarkan permusuhan berlanjut. Nasihat Paulus
relevan: boleh marah tetapi jangan sampai matahari tenggelam; jangan beri si
iblis kesempatan (Efs. 4:26-27). Kemarahan adalah unsur yang tertanam dalam
sifat manusia, jadi pertanyaannya bukanlah apakah kita akan marah (kita pasti
ada kemarahan!), tetapi apa yang harus kita lakukan ketika kita marah. Jawab
Paulus: jangan pupuk kemarahan Anda: berdamai segera; minta Allah dan teman
Anda mengampuni sebab Anda telah membiarkan kemarahan tersimpan. Jika tidak,
Anda memberi si iblis tempat pijak dalam kehidupan Anda.
Yesus ingin kita sadar bahwa
hukum-hukum Allah meliputi perbuatan maupun sikap hati. Kita harus
mengendalikan hasrat dan perbuatan kita.
Haruskah
kita menunggu sampai motif kita beres, baru kita bertindak?
Tuhan, buat aku sadar akan sikap-sikapku.