Kepada siapa TUHAN meminta nasihat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar TUHAN untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian? -- Yesaya 40:14 O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?...segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! -- Roma 11:33-36
Pengenalan diri manusia dan pengenalan akan Tuhan adalah dwi-tunggal pengenalan esensial bagi hidup manusia. Sayang, kebanyakannya kesadaran akan kesengsaraan manusia menyebabkan pendakwaan terhadap Allah, dan kesadaran akan keberhasilan manusia menyebabkan pengabaian terhadap Allah. Sepanjang sejarah peradaban kita saksikan bahwa bila tidak terjadi kemajuan sejati dalam kedua pengenalan itu, atau tegasnya jika pengenalan akan Tuhan diabaikan, maka pasti yang terjadi adalah kemunduran. Baik moral-spiritual, juga kemunduran intelektual. Di mana dalam ekspresi budaya mana pun di seluruh dunia yang luput dari penodaan religiositas yang menyimpang dan moralitas yang cemar? Bukankah kendati peradaban sudah berkembang dari era primitif ke modern ke pasca-modern, ternyata manusia tetap saja primitif? Pertanyaan Yesaya ini sesungguhnya bersisi ganda. Tuhan tidak membutuhkan nasihat kita untuk hikmat, keadilan, dan ketrampilan dalam bertindak, sebaliknya Ia yang sesungguhnya sumber untuk semua kebutuhan kita akan hal-hal itu, dan tujuan dari semua yang kita cari dan agungkan dalam hidup. Jadi persoalan kita ialah bagaimana boleh mendapatkan hikmat, keadilan, nasihat, ketrampilan Tuhan untuk beragam situasi dan keadaan? Sejauh mana kita praktikkan hikmat, keadilan, ketrampilan Allah dalam hidup pribadi, keluarga, kerja, bermasyarakat, bergereja, ekonomi, politik....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar