Barangkali masalah terbesar yang orang Kristen Protestan hadapi tentang perjamuan ini ialah anggapan bahwa ini adalah semacam “perbuatan baik,” yang manusia “lakukan” dalam rangka mendapatkan perkenan Allah. Sebagian orang Protestan masih merasa seperti itu tentang apa saja yang “dilakukan” dalam gereja, meski kecuali kita mutlak diam dan tidak berkata apa pun, kita pasti kedapatan “melakukan” sesuatu dalam ibadah kita bersama. Bahkan memilih untuk senyap seperti dalam pertemuan Quaker, adalah suatu pilihan untuk melakukan sesuatu – yaitu untuk berkumpul bersama dan berdiam diri. Memang ada bahaya bahwa upacara yang bertele-tele akan melupakan apa maksud sesungguhnya dan berubah menjadi tujuan akhirnya sendiri. Pikirkan ulang tentang cangkir gelas dan cangkir plastik: ada sebagian gereja yang hanya memikirkan cangkir gelas terbaik yang dapat dibeli dengan uang, tetapi tidak lagi ada orang yang memedulikan tentang mutu anggur di dalamnya. Setara dengan itu, ada lagi sebagian yang sangat bangga telah bebas dari mementingkan soal cangkir gelas anggur dan memilih cangkir plastik, tetapi mereka pun memusatkan perhatian pada hal luar ketimbang arti sejatinya.
Anda lihat bahwa bahaya itu tidak terbatas hanya pada gereja-gereja yang cenderung disebut high-church (Catatan penerjemah: ungkapan high-church mengacu ke gereja-gereja dalam kalangan Gereja Anglikan yang menekankan kesinambungan historis dengan Kekristenan Katolik dan memelihara tradisi tentang otoritas, keuskupan, dan hakikat sakramen.) Bahaya itu juga tidak saja terjadi ketika orang menekankan pentingnya membuat tanda salib di saat sama dan dengan cara yang sama; itu juga terjadi ketika orang suka mengangkat tangan dalam penyembahan, atau melakukan sesuatu yang lain. Terkadang saya merasa heran bercampur geli ketika suatu gereja telah meniadakan paduan suara berjubah dan organis karena itu terkesan terlalu ‘profesional,’ dan kemudian membayar setengah lusin orang untuk mengatur sound system, cahaya, dan overhead projector. Apa pun yang harus dilakukan selama penyembahan dapat menjadi suatu ritual yang dijalani untuk kepentingannya sendiri. Demikian juga, apa pun yang perlu dilakukan semasa ibadah dapat dilakukan sebagai tindakan syukur yang murni, suatu respons gembira kepada anugerah yang bebas.
Sesudah mengatakan itu, kini kita mengerti apa yang dimaksud ketika seperti yang dilakukan dalam sementara tradisi Kristen, perjamuan itu disebut sebagai suatu “kurban.” Hal ini telah membangkitkan pertentangan cukup lama, dan ada dua kesalahan yang terjadi dalam perdebatan itu. Pertama, orang sering kali mengandaikan bahwa maksud dari kurban dalam Perjanjian Lama, adalah para penyembah “melakukan” sesuatu untuk memperoleh perkenan Allah. Bukan begitu. Itu bertumpu pada kesalahmengertian tentang Hukum Yahudi sendiri, di mana kurban dituntut oleh Allah dan dipersembahkan dengan ucapan syukur, bukan sebagai usaha untuk menyogok atau membujuk Allah tetapi sebagai suatu cara merespons kasih-Nya. Tentu saja kita tidak dapat mengetahui apa yang terdapat dalam hati orang Yahudi purba sementara mereka beribadah. Pasti sistem itu tidak dirancang sebagai cara untuk membelokkan tangan Allah tetapi untuk merespons kasih-Nya.
Kedua, kebingungan terus menerus terjadi tentang hubungan antara pelayanan pemecahan roti dan kurban yang dipersembahkan oleh Yesus di salib. Orang Katolik biasanya berkata keduanya satu dan sama, dan itu dijawab oleh Protestan bahwa tafsiran Katolik terlihat sebagai usaha mengulang sesuatu yang telah terjadi sekali untuk selamanya, dan tidak dapat diulang lagi. Protestan biasanya berkata bahwa pelayanan pemecahan roti adalah suatu kurban yang berbeda dari kurban yang dipersembahkan oleh Yesus – mereka melihatnya sebagai “kurban syukur” yang dipersembahkan oleh orang yang beribadah – dan itu direspons oleh Katolik bahwa tafsiran Protestan adalah semacam usaha untuk menambahkan sesuatu kepada kurban sempurna yang telah Yesus berikan, yang (menurut mereka) hadir secara “sakramental” dalam roti dan anggur.
Saya percaya kita dapat meninggalkan pertikaian steril tadi dengan menempatkan diskusi kita tentang ibadah di dalam gambaran lebih besar tentang surga dan bumi, tentang masa depan Allah dan masa kini kita, dan tentang cara di mana kedua hal itu bertemu dalam Yesus dan Roh. Dalam wawasan dunia alkitabiah (yang lebih sering diabaikan ketimbang disalahkan oleh pemikiran modern), surga dan bumi tumpang tindih, dan itu terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Yesus dan Roh merupakan penanda utamanya. Dalam cara yang sama, pada tempat dan saat tertentu masa depan Allah dan masa lalu Allah (yaitu peristiwa-peristiwa seperti kematian dan kebangkitan Yesus) tiba di masa kini – bagaikan ketika Anda harus duduk dalam sebuah perjamuan dan mendapati kakek-nenek buyut Anda dan cucu-buyut Anda, datang untuk turut serta bersama Anda. Begitulah cara waktu Allah bekerja. Itulah sebab penyembahan Kristen seperti itu.
Saya percaya hal ini menentukan kerangka yang tepat bagi semua pemikiran kita tentang ibadah, dan semua diskusi tentang kehidupan sakramental gereja. Yang lainnya adalah catatan kaki, temperamen, tradisi, dan – mari kita hadapi – soal suka-tidak-suka perseorangan (begitulah saya menyebut hal yang merupakan pendapat pribadi saya) dan prasangka irasional (begitulah saya menyebutnya jika menyangkut pendapat Anda). Dan di titik itu dua perintah utama dalam Hukum Allah (kasihi Allah, kasihi sesama) harus mengingatkan kita apa yang harus kita lakukan. Sebagai orang Kristen kita harus berharap agar kita dituntut untuk mengasihi dan bersabar. Mari kita tidak merampasi diri dan gereja kita dari kenikmatan penuh yang ada dalam tindakan inti ibadah Kristen dengan membuat perjamuan itu menjadi kesempatan untuk bertikai.
Dikutip dari buku
Hati & Wajah Kristen: Terwujudnya Kerinduan Manusia & Dunia oleh N. T. Wright - 0812-270-24-870 /
waskitapublishing@gmail.com