“Dari debu, kembali kepada debu.” Ucapan itu biasanya kita dengar diucapkan oleh pendeta pada saat penguburan. Namun ucapan yang sama juga diucapkan oleh pendeta di kalangan gereja-gereja yang menghayati masa lenten, pada kebaktian petang Rabu Abu. Rabu Abu dalam tradisi kalender gereja mengawali penghayatan masa lenten yang di antara gereja-gereja di Indonesia biasa disebut juga minggu-minggu sengsara Yesus.
Ibadah Rabu Abu itu menyiratkan apa yang sepatutnya dihayati oleh umat Kristen sepanjang masa lenten. Pada kebaktian Rabu Abu di pagi hari, biasanya pendeta melakukan tindakan perlambangan dari ucapan “dari debu, kembali kepada debu” itu dengan menggoreskan tanda salib hitam di dahi tiap jemaat dengan air bercampur arang. Sepanjang hari itu, ketika jemaat berada dalam konteks kesehariannya – di pekerjaan, di pergaulan, di keluarga – ia membawa tanda salib itu sebagai pengakuan pedih kefanaan dirinya, kesedihan bahwa segala yang baik yang kini kita alami akan harus kita tinggalkan, sambil memproklamasikan kematian Yesus menggantikan kita dan dengan demikian sekaligus menyatakan pengharapan akan kebangkitan. Pada kebaktian petangnya, sesudah menerima ucapan “dari debu, kembali kepada debu” jemaat bergiliran menuju ke sisi ruang gereja di mana telah menanti para pelayan gereja yang memegang nampan berisi roti dan cawan anggur, untuk mengingatkan bahwa kematian tidak merupakan kata akhir untuk orang beriman.
Yesus Kristus yang menderita telah berbagian dalam seluruh penderitaan manusia, di dalam kematian-Nya ia telah menyerap seluruh ketidakmurnian kita sampai hilang tak berbekas, dan pada saat yang sama kemurnian-Nya memancar ke dalam kita. Penderitaan dan salib Yesus adalah kekuatan dalam kelemahan, kemenangan melalui kekalahan, kemuliaan dalam kehinaan terburuknya, dan kepenuhan dari paradoks yang di luar kemampuan kita mengertinya secara penuh itu, menerima manifestasi penuhnya di Paskah, kebangkitan Yesus.
Pada masa lenten kebangkitan belum lagi dirayakan. Lenten dari bahasa Inggris kuno berarti memanjang, seperti hari yang memanjang di musim semi di mana masa ini berlangsung. Namun untuk orang Kristen ‘semi’ kebangkitan belum terjadi di masa lenten, sebaliknya kita masih sedang menjalani terowongan gelap panjang yang ujungnya nanti adalah Paskah Kebangkitan Yesus. Maka masa lenten adalah ruang di antara debu dan roti dan anggur, masa untuk kita menyadari kefanaan dan ketakberdayaan diri dosa kita serta penyataan tentang karya Yesus menghasilkan keselamatan melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Masa lenten adalah saat orang Kristen memperhitungkan realitas gelap dan maut, dan ini kita lakukan dalam pengharapan sebab masa gelap lenten ini akan berujung di Paskah, di kebangkitan, dalam hidup baru. Kita dapat mengalami kepenuhan hidup baru hanya jika lebih dulu kita mati dari hidup yang lama.
Dalam sejarah gereja, awalnya lenten dirayakan selama 40 jam, yaitu mulai Jumat Agung sampai pagi Paskah, yaitu mencerminkan masa-masa gelap Yesus dalam kubur. Masa itu dipakai untuk kesempatan untuk ‘mati,’ untuk melepas sesuatu, membersihkan, mengosongkan diri, biasanya dengan berpuasa. Kemudian hari 40 jam itu berkembang menjadi 40 hari dari Rabu Abu sampai Paskah tanpa memperhitungkan hari-hari Minggu di antaranya sebab Minggu selalu diperlakukan sebagai hari kemenangan Yesus Kristus dari kematian. Dan puasa yang dilakukan biasanya pada hari Rabu dan Jumat menjadi ungkapan kesedihan tentang penyebab penderitaan dan kematian Yesus, yaitu dosa-dosa kita. Empat puluh hari itu dilihat sebagai sesuatu yang sejajar dengan 40 hari air bah ketika Allah memurnikan bumi di zaman Nuh, empat puluh tahun pengembaraan ketika Allah memurnikan Israel, dan 40 hari Yesus di padang gurun dicobai sebagai persiapan Ia memasuki pelayanan-Nya. Maka dalam melaksanakan puasa itu, pemaknaan yang dihayati ialah pertobatan dan tindakan amal yang dimungkinkan dengan memberikan uang yang tidak terpakai untuk belanja makanan karena kita berpuasa.
If my people who are called by my name will humble themselves and pray, I will hear them and heal their land
Sebagian besar gereja Protestan tidak mengenal puasa yang dianjurkan apalagi dijadikan tradisi. Ini berbeda dengan saudara kita dari gereja Katolik. Kalau pun berpuasa, pada sementara orang Kristen kebiasaan itu mungkin dihayati sebagai sesuatu yang ditujukan untuk mendapatkan perkenan Tuhan. Sesungguhnya penghayatan iman yang alkitabiah tidak mengenal segala bentuk tindakan ibadah yang bersifat membujuk atau mendesak Allah, sebab segalanya yang Ia tahu baik dan yang datang dari kasih kudus-Nya sudah diberikan-Nya sebagai anugerah di dalam Yesus Kristus, dan masih Ia lanjutkan dalam rangkaian anugerah demi anugerah, bukan karena dipaksa atau dibujuk.
Puasa seharusnya dihayati sebagai tindakan kita memberi ruang khusus dalam hidup kita agar Allah boleh mengisi hidup kita lebih banyak dengan diri-Nya. Karena itu kita bisa melakukan berbagai bentuk puasa, tidak hanya puasa makan atau puasa dari makanan tertentu (misalnya dari nasi atau dari daging), tetapi juga puasa menonton televisi, puasa belanja, puasa mengunjungi mall, dlsb. Dengan pemberian ruang bagi Allah itu makin terbentuk, kita bisa mengambil pengisian diri Allah itu ke dalam hidup kita dalam bentuk doa yang lebih terkonsentrasi dan berarti, membaca dan merenungkan Alkitab yang sungguh mengendapkan firman, dlsb. Puasa yang membuat kita lapar jasmani, mendorong bangkitnya lapar rohani yang membimbing kita ke pesta rohani. Indah sekali!
Masa lenten pun menjadi suatu kesempatan indah bagi bekerjanya Roh mengangkat ke permukaan dosa-dosa kebiasaan atau dosa-dosa yang telah menjadi terbiasa sehingga tidak lagi disadari sebagai dosa, atau dosa-dosa yang sedemikian melekat dan halus yang lebih menyangkut pikiran, perasaan, fantasi, sikap hati ketimbang perbuatan nyata. Maka di balik kesedihan dan penyesalan, pertobatan ini justru membawa dan melahirkan kemerdekaan sejati dan kesukaan besar bahwa kita boleh mengalami akibat nyata karya salib Yesus dalam sifat dan sikap hidup kita.
Ketika hal-hal tadi kita hayati semakin riil – bahwa kita hanya debu yang akan kembali kepada debu, dan kita menyadari bahwa hidup bukan karena roti tetapi karena tiap-tiap firman yang keluar dari mulut Allah, dan mengalami lebih kental arti topangan darah dan tubuh Yesus bagi hidup kita, maka kita akan merasakan dorongan syukur untuk berbagi hidup Yesus di dalam hidup kita ini kepada sesama kita. Hal inilah yang menyebabkan kebiasaan beramal menjadi suatu manifestasi wajar dalam puasa Kristen (lihat juga Yesaya 58:6-8).
Tiga hari terakhir masa lenten sebelum hari Minggu Paskah disebut Triduum, yaitu Kamis Kelabu, Jumat Agung, dan Sabtu Teduh. Pada gereja-gereja tertentu kebaktian hari Minggu mulai Rabu Abu dilakukan dengan menyalakan tujuh lilin, lalu satu per satu setiap hari Minggu lilin itu dipadamkan. Di Kamis Kelabu dan Sabtu Teduh diadakan ibadah yang kurang lebih sama, yaitu memperingati bagaimana Terang dimatikan oleh dunia yang menolak. Di ibadah Kamis Kelabu, ibadah sederhana dengan membacakan ayat-ayat nubuat tentang kesengsaraan Mesias dibacakan dan kerap dengan menyanyikan lagu-lagu setara dengan itu. Tiap kali pembacaan dan nyanyian itu selesai, satu lilin dipadamkan, sampai akhirnya seluruh lilin padam. Di ibadah Sabtu Teduh yang disebut juga Tenebrae (Gelap), hal yang sama dilakukan hanya ayat-ayat yang dibacakan adalah tujuh ucapan Yesus dari salib. Setiap kali satu bacaan Alkitab dan nyanyian setara selesai, satu lilin dipadamkan, sampai puncaknya seluruh tujuh lilin itu padam dan ruang ibadah menjadi gelap gulita (dalam ibadah ini tidak dinyalakan lampu). Hal ini melambangkan puncak penderitaan Yesus di salib yang diiringi dengan peristiwa penguburan. Lalu mengantisipasi minggu pagi Kebangkitan, sebuah lilin besar dinyalakan untuk kembali menerangi ruang ibadah.
Semua tindakan spiritualitas pribadi dan liturgis gerejani itu dimaksudkan agar kita menghayati makna penderitaan Yesus lebih dalam. Pengungkapan penghayatan itu secara simbolis, semisal pembubuhan tanda salib di dahi atau menyemat kain hitam berbentuk salib kecil di baju (mirip pada masa perkabungan di kalangan orang Tionghoa tradisional), bisa menjadi cara-cara kreatif bukan saja untuk mengingatkan kita tentang harga mahal darah Kristus untuk hidup kita yang fana dan hina ini, tetapi juga mungkin bisa membuka kesempatan percakapan menyaksikan tindakan penyelamatan Yesus kepada orang yang melihat dan bertanya.