Dosa-dosa ciri diri kita sedemikian terbiasa untuk kita sampai kita sering kali memercayai mereka lebih dari kebenaran. Mereka menjadi begitu berharga bagi kita sampai kita bahkan lupa bahwa mereka adalah dosa.
C. S. Lewis menulis suatu alegori tentang gumulan antara surga dan neraka dalam The Great Divorce (Perceraian Besar). Dalam fantasi Lewis sang narator menumpang bus yang bertamasya ke surga. Di sana ia melihat para penghuni neraka, yaitu manusia yang mirip hantu yang keadaannya tidak sepenuhnya nyata, terlibat dalam percakapan dengan para penghuni surga yang sejati. Perjumpaan semacam itu terjadi ketika suatu keberadaan malaikat dari surga bertemu dengan seorang manusia-hantu dan kawannya, seekor kadal merah yang hidup di bahunya dan selalu mengganggu serta menghiburnya dengan hal-hal jahat yang ia bisikkan di telinganya.
Si manusia-hantu tahu ia tidak dapat memasuki surga dengan makhluk di bahunya itu. Malaikat menawarkan untuk membunuh kadal itu. Mulanya orang itu menolak. Ia takut bahwa jika kadal itu dibunuh ia akan ikut mati juga. Itulah hakikat dari dosa ciri diri, dosa yang sedemikian melekat ke diri kita. Kita terdorong untuk menganggapnya sebagai bagian dari diri kita sendiri. Kita tidak pasti siapakah kita sesungguhnya tanpa hal itu. Kita selalu percaya bahwa hal itu telah melindungi kita. Bahkan meski kita membenci hal itu, ia pun selalu kita sayangi.
Saya kenal para pasien yang harus berdukacita tentang kehilangan wilayah-wilayah dosa tertentu dalam hidup mereka. Barangkali alkohol yang adalah sahabat lama mereka telah menolong mereka menghayati kehidupan pesta. Barangkali perselingkuhan telah membangkitkan kenikmatan yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Saya pernah menolong seorang pasien yang bergumul dengan kecanduan pornografi. Sementara kami menyelidiki sejarah kecanduannya itu, ia ingat bahwa ia menemukan pornografi sewaktu masa pemuda ketika ia hidup dalam suatu keluarga asuh yang kasar dan melecehkan secara seksual. Keluarga itu mempermalukan dia sedemikian rupa tentang seksualitas sampai penemuannya akan pornografi memberinya pelarian ke dalam suatu dunia yang memberinya kebebasan lebih besar. Bertahun-tahun kemudian ia takut bahwa jika ia menjanjikan istrinya bahwa ia akan lepas total dari pornografi, ia akan terhisap balik ke dunia legalisme dan aib.
Manusia-hantu dalam kisah Lewis takut kehilangan kadal yang telah menjadi teman setianya. Ia membuat berbagai macam alasan untuk menghalangi sang malaikat dari membunuh kadal itu. Akhirnya ia mengakui bahwa bahkan jika malaikat membunuh dirinya agar dosanya tersingkir, itu masih lebih baik daripada hidup dengan seekor parasit di bahunya.
Malaikat itu lalu membunuh kadal itu dan membantingnya ke tanah. Sang narator terkejut ketika manusia-hantu itu tiba-tiba berubah menjadi seorang manusia, riil dan penuh. Ia tambah terkejut ketika kadal itu berubah menjadi seekor kuda jantan. Orang itu dan kuda tadi lalu mencongklang dengan sukacita masuk surga. Pemandu sang narator berkata, “Apalah artinya kadal dibanding kuda jantan? Hawa nafsu bagaikan bisikan yang miskin, lemah, merintih dibanding dengan kekayaan dan energi hasrat yang akan bangkit ketika hawa nafsu telah dibunuh.”
Dikutip dari Pasal 2 Buku Dosa Ciri Diri Karangan Michael Mangis. Info Pemesanan: Email ke waskitapublishing@gmail.com atau sms / call ke 0812-270-24-870
Tidak ada komentar:
Posting Komentar