Matius 6:4
Kita tidak perlu menganggap bahwa ajaran Yesus tentang pahala membuat Kekristenan mengajarkan sikap mata duitan. Sebaliknya ajaran tentang pahala ini memberi motif kuat bila diterapkan dalam konteks relasi orang Kristen dengan Bapa surgawi mereka.
Orangtua senang memberi pahala kepada anak-anak bukan? Pahala itu tetap merupakan pemberian dan bukan perolehan jasa. Pahala yang orangtua berikan seringkali tidak layak diterima oleh anak-anak tetapi tetap diberikan untuk mendorong anak terus mengerjakan sesuatu atau mulai melakukan yang harus ia lakukan. Pahala Allah untuk kita pun sebenarnya tak layak kita terima, tetapi dengan senang hati Allah memberinya untuk mendorong kita maju.
C. S. Lewis membedakan antara pahala yang mendorong terjadinya kegiatan dari pahala yang merupakan akibat sempurna dari suatu tindakan. Jika seorang pria menikahi seorang perempuan karena uang, ia mencari pahala jenis pertama dan kita menyebut ia mata duitan. Tetapi dalam suatu pernikahan yang baik, pahala yang dicari dan ditemukan oleh orang ialah boleh memiliki sisa hidup bersama perempuan yang ia kasihi.
Kegiatan yang dimaksud dalam Matius 6 ialah melayani Allah, melihat kepada-Nya, menjangkau Dia, memuji, berdoa, menyembah, memuja, mengasihi, dan menaati Dia, dengan kata lain menikmati Dia. Pahalanya adalah relasi makin dekat dengan Allah sendiri. Gambaran tentang orang yang menerima gelang penuh mutiara, adalah pelukisan ke sesuatu yang lain. Maksudnya, pahala kita ialah sambutan Allah, dengan ucapan “hai hamba yang setia” dan komunikasi-Nya dengan kita tentang kasih-Nya secara langsung.
Yesus bicara tentang pahala dalam arti berkat akhir dan juga kebaikan serta dorongan yang Bapa kita beri kepada anak-anak-Nya yang mencari ia tiap hari (Ibr. 11:6).
Apakah sikapku terhadap pahala? Pahala apakah yang secara terbuka atau diam-diam kini saya cari?
Bersyukurlah kepada Yesus “yang karena kesukaan yang menantikan-Nya telah menanggung salib” (Ibr. 12:2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar