Abraham mengambil kayu untuk korban bakaran itu dan memikulkannya ke atas bahu Ishak, anaknya, sedang di tangannya dibawanya api dan pisau. Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: "Bapa." Sahut Abraham: "Ya, anakku." Bertanyalah ia: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?" Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. Sampailah mereka ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api. Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan." Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." -- Kejadian 22:6-12
Drama mendebarkan ini menyingkap sambil menutupi berbagai kualitas indah tokoh-tokoh di dalamnya: Abraham, Allah dan juga Ishak. Namun mengenai Ishak sepertinya lebih banyak yang tidak disingkap ketimbang dibiarkan untuk kita renungi dengan imajinasi dan pertimbangan yang hati-hati. Bahwa Abraham sangat mengasihi anak yang ia terima sebagai mukjizat di saat keadaan jasmani ia dan istrinya sudah layu tidak dapat kita bantah. Bahkan nas ini menegaskan hubungan kasih yang kuat itu dalam komentar Allah sendiri: "anakmu yang tunggal itu, yang kau kasihi." Dalam pasal sebelum ini kita melihat bagaimana Sarah dan kemudian juga Abraham melalui konfirmasi Allah membela, melindungi, mengukuhkan Ishak dari penghinaan yang dilakukan Ismael. Tentu pengalaman ini membekas dalam pada Ishak tetang arti dirinya bagi Abraham dan tentang pengamanan dari TUHAN Perjanjian atas kelangsungan perjanjian tersebut melalui dirinya. Namun nas ini hanya menampilkan satu kali pertanyaan Ishak tentang dimana anak domba yang akan dikorbankan Abraham, selebihnya Ishak hanya diam sambil memikul beban kayu bakar untuk korban, sampai diikat di atas tumpukan kayu itu bahkan sampai Abraham mengacungkan pisau siap menyembelihnya. Apakah yang dipikir dan dirasa Ishak sepanjang momen-momen mendebarkan itu -- tentang ayahnya? Tentang Allah yang perintah-Nya dituruti sang ayah? Tentang kesungguhan dirinya sebagai anak penerus perjanjian? Seperti halnya yang terjadi dengan Abraham, demikian juga tentang Ishak -- nas ini mengizinkan kita membayangkan berbagai kontradiksi pikiran, perasaan dan kemauan yang berkecamuk dalam diri Ishak. Hebatnya, kendati ia sesungguhnya memiliki hak dan tenaga melebihi Abraham untuk menyelamatkan dirinya, ia hanya diam -- percaya-tidak percaya, pasrah-berharap, menyangkali hak dan tenaganya sambil bertanya-tanya akankah sungguh ia menjadi korban itu atau domba korban jawaban ayahnya itu sungguh disediakah YHWH jirreh. Berbarengan dengan matanya melihat lengan Abaham dengan pisau yang terhunus, telinganya mendengar suara Malaikat TUHAN mencegah Abraham -- saat itu keduanya mengalami secara baru kasih satu sama lain, dan lebih dari itu keduanya mengalami dalam dampak makna lebih dahsyat tentang pengenalan mereka akan TUHAN Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar