Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan." Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." -- Kejadian 22:10-12
Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? -- Roma 8:32
Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. -- Roma 12:1-2
Apabila kita merenungkan nas ini bukan dari keterpakuan doktriner tetapi dari pendekatan naratif-dramatis sambil melibatkan emosi dan imajinasi di samping pertimbangan rasional kita, kita akan mengalami ketakjuban baru tentang para tokoh di dalamnya juga tentang arti peristiwa ini bagi masing-masing mereka dan maknanya bagi kita masa kini. Sudah kita lihat bagaimana Abraham tumbuh dalam iman dan pengenalannya akan Tuhan. Abraham juga tumbuh dalam hubungannya dengan Ishak dan dalam bagaimana ia harusnya menempatkan Ishak dalam hatinya. Ketika ia bersedia menyerahkan Ishak secara total untuk diambil oleh Tuhan, saat itu gentar-taat-kasihnya kepada Tuhan menjadi utuh-bulat dalam dirinya dan menjadi konkret-nyata untuk TUHAN juga. Justru di saat itu ia mengalami bahwa TUHAN adalah kudus dan setia dan rahimi, juga saat itulah ia menerima kembali anak yang dikorbankannya itu dalam penilaian dan arti dan hubungan yang baru.
Lebih indah dari semua ini adalah -- tanpa Abraham menyadarinya sendiri waktu itu -- ia telah melakukan bayang-bayang samar dari yang terjadi sungguhan dan tanpa ada penggantian seperti yang ia dan Ishak alami, yaitu ketika Bapa menyerahkan Anak tunggal-Nya yang kekasih demi menggantikan kita dari kutuk dosa. Bahkan sesudah Bapa dan Anak itu rela melakukan pengorbanan sedemikian besar, itu menjadi dasar bagi kita mengalami terus limpah karunia-karunia-Nya yang kudus, indah, ajaib membangun dan membentuk dan "mengilahi"-kan kita. Masakan kita yang sudah melihat drama lanjutan di Kalvari ini tidak harusnya melebihi Abraham yang belum melihat pengorbanan Bapa-Anak itu?
Hanya ketika semua yang berharga bagi kita tidak kita biarkan melekat membelit hati tetapi kita serahkan penuh ke dalam pengendalian Tuhan, barulah kita dapat menerima balik arti dan nilai dari hal berharga yang kita lepaskan itu dan kita sungguh terbuka untuk menerima pusaka ilahi yang Ia karuniakan bagi kita dari surga. Maka jangan berat melepas untuk Tuhan semua yang melekat di hati -- manusia, harta, karier, posisi, cita-cita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar