Supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu... Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
TUHAN menggenapi semua dan setiap panggilan serta janji-janji-Nya kepada Abraham -- sebagaimana yang Ia katakan-janjikan-firmankan dan pada waktu yang Ia tetapkan. Kini giliran Abraham melakukan tanggungjawabnya untuk melakukan apa yang TUHAN perintahkan yaitu menyunat anak lelaki pada usia delapan hari. Kendati tindakan mengerat daging kulup itu melibatkan penumpahan darah, dan sebagai bapa harus dilakukannya kepada bayi baru berusia delapan hari, tetap perintah TUHAN harus ia taati. Sebab itu menjadi tanda lahiriah dari realitas relasional yang ada antara Ishak dan TUHAN seterusnya sebagai penerus perjanjian. Maka untuk umat TUHAN PL sunat berlanjut dengan pendidikan rohani yang dilakukan oleh para orangtua kepada anak-anak mereka sampai mereka mencapai usia akil balik -- mendidik mereka tentang mengasihi TUHAN Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan, dengan cara-cara edukasi yang kreatif yang kasat mata sekaligus terukir dalam hati.
Dalam kenyataan dulu sampai kini mudah sekali menceraikan sisi tampak/lahiriah dari sisi tidak tampak/batiniah. Jika perangkap untuk umat Israel adalah lahiriah tanpa realitas rohani, perangkap untuk kebanyakan kita adalah "yang penting hati" lalu mengabaikan yang jasmani/tampak/lahiriah. Sebagaimana tubuh dan roh tidak dapat dipisah tanpa mengakibatkan kematian, demikian juga harus kita ingat bahwa hubungan kita dengan TUHAN harus merupakan realitas tampak/tak tampak, jasmani/rohani -- mulai sejak kelahiran baru dikerjakan TUHAN di dalam kita seterusnya secara berkelanjutan.
Tidak saja sakramen penting bagi kerohanian kita, hendaknya seluruh keseharian tampak kita dihayati sebagai bersifat sakramental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar