Worshippers on the Mountain of God
Gwen Meharg
Gwen Meharg
Baru-baru ini saya agak berdebat dengan taylor langganan saya. Saya minta ia menjahitkan beberapa potong kemeja lengan panjang untuk dipakai gaya santai (tidak dimasukkan ke dalam celana). Ia protes, “wah itu tidak pantas. Kain corak seperti ini harus dipakai ke dalam celana. Baru necis. Baru pas. Kalau tidak you nanti dianggap orang aneh, diketawain.” Saya bilang padanya, ini zaman orang sudah lebih santai. Sudah tidak mikir kemeja corak apa pantasnya dipakai bagaimana. Ia tetap bersikukuh, kain untuk lengan panjang dengan corak tertentu harus dipakai secara necis yaitu dimasukkan. Kalau ingin dipakai di luar celana, ada corak lain.
Mungkin Anda bertanya apa hubungan kepantasan cara berpakaian dengan ibadah, dengan penyembahan, dengan keterlibatan orang dalam liturgi kebaktian? Hubungannya adalah di sekitar kata “pantas” atau “layak” yang sempat menjadi ‘perdebatan’ kecil seperti yang saya paparkan di atas.
Orang melakukan ibadah atau penyembahan (worship) adalah karena pihak yang disembah layak atau pantas (worthy) untuk disembah. Pasti ada syarat yang dinilai pantas untuk orang layak menyembah yang layak disembah, yaitu Allah. Jika Ia Maha Layak, bagaimana kita boleh memberikan penyembahan yang layak untuk-Nya, jika kondisi diri dan cara kita menyembah-Nya itu tidak layak? Kalau cara memakai kemeja saja ada aturan kepantasan (kelayakan), apalagi tentang bagaimana kita beribadah kepada-Nya!
Saya duga sebagian besar Anda sama saja dengan saya. Kebanyakan kita dibesarkan dalam tradisi Kristen. Soal pergi ke gereja, berbakti, menaikkan beberapa nyanyian, melakukan doa pengakuan dosa, mendengarkan berbagai cuplikan bagian Alkitab entah itu panggilan ibadah, persiapan pengakuan dosa, petunjuk hidup baru, pembacaan Perjanjian Lama-Mazmur-Injil, mendengarkan khotbah, dan seterusnya dalam rangkaian liturgi gereja, sudah jadi kebiasaan. Rutin. Tanpa persiapan. Tanpa penjiwaan. Tanpa syukur bahwa kita boleh dilayakkan mengalami perkenan-Nya dan hadirat-Nya. Seadanya, sekenanya, seenaknya. Sampai-sampai barangkali kita jadikan saja kebaktian Minggu lepas Minggu itu seolah memakai baju corak resmi dengan sembarangan atau lebih parah lagi kita bawa sikap dan keadaan diri kita seolah memakai kaos oblong datang ke pesta resmi! Ibadah, casual saja!
Pernahkah Anda membayangkan apa jadinya secara konkrit dalam cara pandang dan perilaku Anda berbakti bila Anda sungguh mengerti apa sesungguhnya ibadah itu? Mengapa sampai kita boleh menyembah Allah? Apa yang telah Allah lakukan sampai pintu masuk hadirat-Nya terbuka lebar buat kita? Siapa sebenarnya yang ingin kita jumpai tiap kali kita datang ke gedung gereja untuk beribadah? Suasana dan kenyataan ibadah yang bagaimana yang sejatinya Anda inginkan dalam ketulusan hati Anda terdalam?
Cobalah baca Wahyu 4 & 5. Itulah pemandangan suasana penyembahan dalam kekekalan kelak ketika kita berjumpa Allah muka dengan muka. Kita sedang menuju ke sana , maka pantaslah bahwa penyembahan kita kini sedikit banyak makin mendekati penyembahan kekal kelak, bukan? Kali ini mari kita tinjau sekilas Wahyu 4 dulu.
Segera kita sadar bahwa fokus pasal ini adalah Ia yang duduk di takhta. Luar biasa paparan tentang-Nya. Itulah worth (kelayakan) yang menuntut worship (penyembahan) yang sepadan. Inilah sebab-sebab Ia layak disembah: Ia adalah Raja (takhta), dari-Nya terpancar kemuliaan yang cantik menakjubkan seperti warna-warni batu mulia yaspis dan sardis (ay. 3). Melingkungi kemuliaan itu pelangi anugerah yang senantiasa teralami baru (warna zamrud yang kehijauan melambangkan kesegaran pembaruan untuk pelangi yang dalam kisah Nuh merupakan perjanjian Allah untuk mempertahankan ciptaan-Nya sesudah Ia menyatakan murka-Nya). Lalu dari takhta itu keluar tanda-tanda dahsyat penghakiman-Nya yang adil dan tegas (kilat, guruh, suara menderu) tetapi juga karunia-karunia pelayanan dari Roh-Nya untuk memberdayakan gereja (tujuh obor, yaitu tujuh [karunia] Roh Allah).
Siapa yang menyembah Dia di takhta itu, dan karena alasan apalagi Ia disembah? Ada dua pihak yang menaikkan penyembahan kepada-Nya. Yang pertama adalah perwakilan makhluk-makhluk bumi ini. Mereka mengucapkan “kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah Yang Maha Kuasa” (ay. 8). Kelompok kedua adalah dua puluh empat takhta yang kemungkinan besar melambangkan para pemimpin umat Allah Perjanjian Lama (dua belas suku Israel ) dan para pemimpin gereja (dua belas rasul). Mereka mendukung pujian seluruh makhluk bumi, menyembah Allah dengan melempar mahkota mereka dan menyatakan Allah layak menerima pujian, hormat dan kuasa karena karya penciptaan-Nya (ay. 10-11).
Ini membukakan kepada kita mengapa Allah layak disembah, dan bagaimana penyembahan yang layak untuk Yang maha Layak itu. Kita menyembah Dia karena keajaiban karya-karya-Nya dalam keseharian kita: udara yang kita hirup, makanan yang kita santap, musim yang silih-ganti datang seiring kesetiaan-Nya menjenguk kita, berbagai produk alam yang boleh menjadi makanan yang mengenyangkan bahkan menyehatkan, berbagai bentuk sistem masyarakat yang menopang kehidupan, dan banyak lagi lainnya. Seluruh bumi ini (dari isi laut, permukaan bumi sampai angkasa raya) penuh dengan benda, makhluk dan karya-karya-Nya yang menakjubkan.
Lalu bagaimana layaknya kita menyembah Dia itu? Apa yang kita terima dari Dia dalam hidup ini, kemuliaan, kesehatan, tenaga, pikiran, harta – semua yang berasal dari potensi kaya isi bumi hasil karya penciptaan dan pemeliharaan-Nya ini – perlu kita akui bahwa semua itu dari Dia, oleh Dia dan kembali untuk Dia saja.
Jika usia yang masih berlangsung bagi kita ini datang dari Dia, bagaimana mustinya kita menyiapkan dan memakai waktu kita beribadah yang selayaknya? Kalau tenaga dan aspirasi dan semangat kita datang dari Dia, bagaimana bentuk yang layak cara kita menghampiri takhta-Nya, menyambut hadirat-Nya, memuji Dia, menaikkan lagu pujian kita? Kalau seluruh karir, nafkah, lauk pauk yang kita santap, kesehatan, salary atau profit kita datang karena berkat penyertaan-Nya, apa sebenarnya yang pantas untuk sedikit menggetarkan ucapan syukur kita bagi-Nya ketika kita merogoh kocek kita untuk dimasukkan ke pundi-pundi gereja? Kalau kita sadar kita datang ke pancaran cahaya gilang gemilang menakjubkan, kita layak membawa diri yang bagaimana menyembah Dia? Akankah bagi Yang Maha Mulia namun Maha Rahmani itu kita berikan penyembahan yang tanpa persiapan, tanpa perhatian, tanpa menaruh hati dan tenaga dan kesungguhan dan pengorbanan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar