Orang Farisi menganggap bahwa hukum keenam hanya tentang pembunuhan sebagai tindakan. Yesus memberitahu para murid-Nya (Mat. 5:21-36) bahwa hukum itu lebih luas maknanya, termasuk melarang kejahatan, niat buruk, dencam, permusuhan. Prinsipnya ialah bahwa hukum Allah tidak saja mencakup tindakan (membunuh sungguhan), tetapi sikap (menginginkan orang agar mati).
Yesus memberikan ilustrasi dari relasi intern para murid. Jika Anda marah kepada saudara Kristen, atau melukai dia, atau menyebutnya bodoh, demikian ujar Yesus, Anda dalam bahaya kebinasaan rohani, sebab hati Anda salah. Jadi jika Anda beribadah lalu teringat bahwa saudara Anda menyimpan sesuatu terhadap Anda karena Anda telah memperlihatkan niat buruk atau dendam, tunjukkan pertobatan kepada Allah dan kasih kepadanya dengan segera membereskan masalah itu sebelum Anda menyembah Allah, atau Anda akan mengulang dosa Kain. Sama dengan itu, jika seseorang menuduh Anda, berdamailah segera; jangan biarkan permusuhan berlanjut. Nasihat Paulus relevan: boleh marah tetapi jangan sampai matahari tenggelam; jangan beri si iblis kesempatan (Efs. 4:26-27). Kemarahan adalah unsur yang tertanam dalam sifat manusia, jadi pertanyaannya bukanlah apakah kita akan marah (kita pasti ada kemarahan!), tetapi apa yang harus kita lakukan ketika kita marah. Jawab Paulus: jangan pupuk kemarahan Anda: berdamai segera; minta Allah dan teman Anda mengampuni sebab Anda telah membiarkan kemarahan tersimpan. Jika tidak, Anda memberi si iblis tempat pijak dalam kehidupan Anda.
Yesus ingin kita sadar bahwa hukum-hukum Allah meliputi perbuatan maupun sikap hati. Kita harus mengendalikan hasrat dan perbuatan kita.
Haruskah kita menunggu sampai motif kita beres, baru kita bertindak?
Tuhan, buat aku sadar akan sikap-sikapku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar