Kita harus memilih, menerima doktrin Alkitab sebagaimana adanya atau membentuk doktrin lain yang kita sukai. Apakah kita akan menerima khayal bahwa manusia sanggup untuk mengadili dan menemukan kesalahan dalam kata-kata Pencipta mereka atau menyadari ide ini sebagai hujatan dan menolaknya. Kita harus memutuskan apakah akan meneruskan pertobatan ke tingkat intelektual atau kita masih mau memelihara dorongan dosa yang menginginkan dunia pemikiran kita bebas dari aturan Allah. Kita harus memutuskan apakah mengatakan bahwa kita sungguh memercayai Alkitab atau mencari cara-cara mengucapkan itu namun tanpa keharusan menjalani konsekuensinya.
Jika pikiran manusia ditempatkan sebagai ukuran dan ujian kebenaran, ia akan menggantikan sang Pencipta yang tak terselami dengan berhala buatan manusia sendiri yang terselami; manusia memang ingin allah yang dapat ia kendalikan dan akhirnya ia akan menciptakan allah semacam itu. Ia akan melupakan (sebab ia tidak dapat mengerti) kesenjangan kekal yang memisahkan sang Pencipta dari ciptaan-Nya dan membayangkan suatu allah yang sepenuhnya terlibat dalam dunia ini dan sepenuhnya terselami secara intelektual. Bahwa teologi liberal abad sembilanbelas sangat bersifat panteistik bukan suatu kebetulan tetapi justru adalah akibat wajar. Sekali orang telah membalik relasi tepat antara Alkitab dan pikiran mereka dan mulai menghakimi pernyataan-pernyataan Alkitab tentang Allah daripada sebaliknya, pengetahuan mereka akan Pencipta dalam bahaya untuk hancur dan dengan kehancuran itu runtuh jugalah seluruh ide tentang penyelamatan adikodrati.
Dapatkah Anda melihat bahwa benar mengatakan kita harus membuat kebenaran menjadi kebenaran kita tetapi salah mengatakan bahwa kebenaran kita adalah kebenaran?
Tuhan, kiranya kebenaran-Mu semakin menjadi kebenaranku yang melalunya akui hidup, bergerak, dan memiliki keberadaanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar