1. Allah adalah pemilik akhir dan utama dari
semua milik materiil kita.
Pemazmur berkata: “Tuhanlah yang empunya
bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1).
Kekayaan dan milik kita adalah karunia-karunia-Nya yang baik bagi kita (Mzm.
115:16). Dalam Perjanjian Lama, satu cara prinsip ini diwujudkan adalah dalam
transaksi kepemilikan tanah Israel ,
aset ekonomi utama dalam dunia purba. Tanah tidak bisa dijual-belikan secara
permanen – hanya dapat digadaikan, dan di Tahun Yobel harus dikembalikan ke
pemilik asalnya. Alasannya dijabarkan dengan jelas: “Tanah jangan dijual
mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu,
sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku” (Im. 25:23, cetak miring
ditambahkan).[1] Apa pun
kekayaan yang kita miliki adalah karunia baik Allah untuk kita (Pkh. 5:19-20;
1Tim. 6:17), yang perlu kita nikmati, dan yang atasnya kita menjadi pengelola
yang bertangungjawab.
Ide bahwa
kita adalah penatalayan, bukan pemilik dari milik kita, adalah suatu pokok
dahsyat dalam Alkitab. Penatalayanan atas sumber daya kita adalah pokok konstan
baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dengan perumpamaan Yesus
tentang talenta menjadi salah satu ilustrasi prinsipnya (Mat. 25:14-30). Dalam
perumpamaan ini sang tuan mempercayakan sumber-sumber yang ia miliki ke
masing-masing hambanya, dan pada saat kepulangannya ia meminta
pertanggungjawaban mereka tentang penggunaan produktif sumber-sumber itu. Inti
perumpamaan itu ialah sang tuan mengharapkan kita mengelola sumber-sumbernya
untuk penggunaan yang produktif sementara ia pergi, dan tidak ada salahnya
bahwa sang tuan mendapatkan keuntungan dari penggunaan sumber-sumber tersebut. Meski
sumber-sumber yang dimasalahkan lebih luas dari pada sekadar uang, tidak ragu
perumpamaan ini menyatakan bahwa talenta-talenta itu bukan milik para hamba
tersebut – mereka adalah penatalayan dari sumber-sumber yang dipercayakan
kepada mereka dan bertanggungjawab tentang penggunaannya secara tepat mewakili
sang tuan.
[1] Wright, God’s People in God’s Land, hlm. 58-65,
119-28. Imamat 25:23 meneguhkan tidak saja kepemilikan Allah atas tanah tetapi
juga atas status orang sebagai pendatang dan penyewa – bukan sebagai penghuni
permanen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar