4.
Alkitab menyetujui bahwa menikmati hidup dan sumbernya merupakan karunia Allah.
Kemakmuran kita pada akhirnya adalah akibat berkat Allah dalam
kehidupan kita. Alkitab juga jelas bahwa kerajinan kita pun memainkan peran
(Ams. 10:4), tetapi pada puncaknya, semua yang seseorang kumpulkan datang dari
Allah. Tidak ada kesalahan dalam hal memiliki kekayaan dan menikmati karunia
baik Allah, selama itu didapat secara benar dan kita bermurah hati dengannya
(kuis nomor 2, 12). Pengkhotbah meneguhkan bahwa “Setiap orang yang dikaruniai
Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima
bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah” (Pkh. 5:19, penekanan ditambahkan).[1] Allah
menjanjikan bangsa Israel
suatu “tanah yang berlimpah dengan susu dan madu,” bahasa figuratif untuk
kelimpahan berkat-Nya.[2] Jelas
Allah menghendaki umat-Nya menikmati kelimpahan berkat-Nya di tanah itu. Sebagai
tambahan, paparan alkitabiah tentang Taman Firdaus dalam Kitab Kejadian dan
Yerusalem Baru dalam Kitab Wahyu menggemakan visi yang sama ini tentang
kelimpahan persediaan dari Allah. Meskipun masa kini berkat-Nya tidak terikat
pada kemakmuran nasional, sebagaimana dalam hukum Musa, cukup jelas prinsip bahwa
Allah menghendaki kelimpahan bagi umat-Nya. Tentu saja, ini diseimbangi dengan
mandat untuk bermurah hati dan berbelas kasihan kepada mereka yang ada dalam
kebutuhan. Tekanan pada menikmati hidup sebagai pemberian baik Allah ini tidak
mengusulkan sesuatu yang mirip dengan teologi kemakmuran, yang mengajarkan
bahwa Allah harus mengganjar kebenaran dan kesetiaan dengan kemakmuran materiil.
Allah memang mengganjar kesetiaan dengan berkat-Nya, tetapi itu tidak harus
atau bahkan wajar berbentuk berkat finansial. Masa kini tidak harus ada kaitan
antara kekayaan orang dengan kesetiaannya kepada Allah.
Demikian
pun kemiskinan dalam Alkitab kemiskinan bukan suatu kebajikan. Orang miskin dan
yang miskin di hadapan Allah tidak diberkati karena mereka miskin tetapi karena
Kerajaan Allah adalah milik mereka (Mat. 5:3; Luk. 6:20), kuis nomor 5).[3]
Dalam kitab-kitab sastra hikmat kemiskinan sering dikaitkan dengan kurang
rajin, hikmat dan karakter moral (Pkh. 6:6-11; 10:4; 24:30-34), meski masa kini
ada juga penyebab sistemik dari kemiskinan yang sama sekali tidak berhubungan
dengan karakter orang. Baik kekayaan atau kemiskinan dalam dirinya tidak harus
merupakan petunjuk tentang spiritualitas seseorang. Sepanjang isi Alkitab yang
jahat makmur dan yang benar kerap menderita kemiskinan karena alasan-alasan
yang sedikit berkait dengan kedewasaan atau kekurangan spiritual mereka. Sebagai
contoh, pemazmur meratapi kenyamanan dan kekayaan orang fasik:
Sebab
aku cemburu kepada pembual-pembual,
kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik...
Sesungguhnya,
itulah orang-orang fasik:
mereka menambah harta benda dan senang selamanya! (Mzm. 73:3,
12)
Perjanjian
Baru juga meneguhkan menikmati hidup sebagai persediaan dari Allah untuk
umat-Nya. Sebagai contoh, Paulus memerintahkan Timotius untuk meneruskan ajaran
bahwa “orang-orang kaya di dunia ini… jangan tinggi hati dan jangan berharap
pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam
kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1Tim.
6:17; kuis nomor 2, 12). Allah memerintahkan merasa cukup (yang diartikan sebagai “menginginkan apa yang Anda
miliki”), memercayai Dia, bukan uang,
untuk keamanan; dan kemurahhatian
dengan kekayaan yang dipunyai untuk menyeimbangi mandat agar menikmati hidup
sebagai pemberian baik Allah.
[1] Perlu
diperhatikan bahwa Salomo juga menegaskan kesia-siaan kekayaan – bahwa harta
tidak dapat menyediakan kepuasan hakiki, bukan pengganti Allah (Pkh. 5:8-20;
6:1-12). Pernyataan-pernyataan ini tidak saling bertolak belakang, sebab
kekayaan dapat menjadi karunia baik Allah tanpa membuatnya sama dengan berhala.
Salomo mengusulkan bahwa kekayaan dapat menjadi karunia tanpa harus
menghargainya berlebihan sampai ia dilihat sebagai kunci yang menyatukan
keseluruhan kepingan-kepingan puzzle kehidupan
menjadi utuh.
[2]
Schneider, God of Affluence, hlm.
7-74. Tentu saja, dengan kelimpahan berkat datang tanggung jawab kemurahan
hati, khususnya kepada orang miskin, yang juga ditegaskan oleh Schneider. Lihat
Sider, Rich Christians, untuk
pembahasan lebih lanjut tentang tanggung jawab kepada orang miskin ini. Lihat
juga Ron Sider, Just Creativity: A New
Vision for Overcoming Poverty in America (Grand Rapids: Baker, 1999).
[3] Untuk
bahasan lebih lanjut tentang Ucapan Berkat ini, lihat Dallas Willard, The Divine Conspiracy (New York:
HarperCollins, 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar