Alkitab memberikan tekanan khusus pada kemurahan hati pada orang miskin dan mereka yang rentan secara ekonomi. Sepanjang isi Alkitab sikap orang terhadap orang miskin dianggap ukuran penting tentang spiritualitas (kuis nomor 7). Para nabi menghubungkan kepedulian secara perorangan kepada orang miskin dan perhatian
Berpuasa yang Kukehendaki, ialah
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman,
dan melepaskan tali-tali kuk,
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya
dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah,
dan apabila engkau melihat orang telanjang,
supaya engkau memberi dia pakaian dan
tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yes. 58:6-7)
Dalam
bagian terdahulu pasal ini kami menunjukkan bahwa Yeremia mengaitkan kepedulian
seseorang kepada orang miskin dengan arti mengenal Allah (“’ia melakukan
keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin
dengan adil. Bukankah itu namanya
mengenal Aku?’ demikianlah firman TUHAN” [Yer. 22:16, cetak miring
ditambahkan]), dan Amsal mengajarkan kita bahwa hal itu menghormati Allah (“siapa
menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia” [Ams. 14:31]).
Yesus
meneruskan prioritas memerhatikan kaum miskin ini dengan menjadikannya salah
satu tanda penting pelayanan-Nya di bumi. Sesungguhnya, Yesus mengidentikkan
perhatian-Nya untuk orang miskin sebagai suatu petunjuk utama bahwa ia telah meresmikan
Kerajaan Allah. Dalam catatan Lukas tentang pelayanan publik-Nya yang pertama,
Yesus bicara tentang misi-Nya “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang
miskin” (Luk. 4:18). Pelayanan Yesus di antara kaum marginal pada zaman-Nya
dianggap sebagai penggenapan nubuat tentang kedatangan Mesias. Demikian pun,
ketika para pengikut Yohanes Pembaptis bertanya langsung kepada Yesus apakah
benar atau bukan Ia adalah sang Mesias, Ia menjawab, “Pergilah dan katakanlah
kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang
lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati
dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat. 11:4-5). Alkitab
jelas bahwa kita harus menumbuhkan kemurahhatian secara umum. Tetapi secara
spesifik dan berulang kali Alkitab mengajarkan yang miskin harus menjadi objek
utama kemurahhatian kita. Yakobus mengulang prioritas Perjanjian Lama tentang
hal ini ketika berkata:
Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia. (Yak. 1:27)
[1] Perlu
diperhatikan bahwa Salomo juga menegaskan kesia-siaan kekayaan – bahwa harta
tidak dapat menyediakan kepuasan hakiki, bukan pengganti Allah (Pkh. 5:8-20;
6:1-12). Pernyataan-pernyataan ini tidak saling bertolak belakang, sebab
kekayaan dapat menjadi karunia baik Allah tanpa membuatnya sama dengan berhala.
Salomo mengusulkan bahwa kekayaan dapat menjadi karunia tanpa harus
menghargainya berlebihan sampai ia dilihat sebagai kunci yang menyatukan
keseluruhan kepingan-kepingan puzzle kehidupan
menjadi utuh.
[2]
Schneider, God of Affluence, hlm.
7-74. Tentu saja, dengan kelimpahan berkat datang tanggung jawab kemurahan
hati, khususnya kepada orang miskin, yang juga ditegaskan oleh Schneider. Lihat
Sider, Rich Christians, untuk
pembahasan lebih lanjut tentang tanggung jawab kepada orang miskin ini. Lihat
juga Ron Sider, Just Creativity: A New
Vision for Overcoming Poverty in America (Grand Rapids: Baker, 1999).
[3] Untuk
bahasan lebih lanjut tentang Ucapan Berkat ini, lihat Dallas Willard, The Divine Conspiracy (New York:
HarperCollins, 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar