5. Sumber hakiki kepercayaan orang akan
keamanan dan jati diri adalah Allah dan persediaan-Nya, bukan uang.
Meski
Alkitab mengokohkan kekayaan sebagai karunia baik Allah, ini tidak berarti
bahwa mencari atau memilikinya bebas dari pencobaan. Salah satu dari bahaya
kekayaan yang sering Alkitab sebut ialah kaitannya dengan berhala. Meski tidak
merupakan kaitan keharusan, karena memang ada orang kaya yang setia mengikut
Yesus dan para rasul, umumnya kekayaan merupakan hal yang patut diawasi. Menyerah
kepada berhala dalam berbagai bentuknya adalah suatu masalah serius, dan tidak
sukar untuk orang jatuh ke dalam pencobaan yang menjadikan kekayaan sebagai
pengganti Allah. Terus menerus Alkitab memperingati tentang memercayai kekayaan
untuk keamanan ekonomi kita. Pemazmur meratapi orang yang memercayai kekayaan,
mengusulkan bahwa melakukan itu adalah kesia-siaan sebab uang tidak dapat
menyelamatkan kita di hadapan Allah (Mzm. 49:6-7). Lebih jauh, para nabi
mendorong umat untuk memercayai Allah, bukan kekayaan, hikmat atau kuasa untuk
kesadaran hakiki keamanan mereka dalam dunia ini (Yer. 9:23). Perjanjian Baru
memperingati bahaya memercayai kekayaan ketimbang Allah, sebab kekayaan sangat
tidak dapat diandalkan dan Allah sepenuhnya setia memerhatikan kebutuhan kita
(1Tim. 6:17). Yesus menjelaskan bahwa kekayaan dapat menjadi rintangan untuk
masuk Kerajaan Allah (Mrk. 10:24), tidak saja karena ia sering melibatkan
kegiatan immoral tetapi juga karena bahaya spiritual memakai kekayaan sebagai
pengganti kepercayaan kepada Allah.
Juga
tidak seharusnya kondisi pembukuan seseorang menjadi sumber jati diri atau keamanan.[1] Bahayanya,
usul Craig Gay, ialah uang “menjadi tujuan dalam dirinya dan memang telah
menjadi tujuan akhir bagi sebagian besar orang.”[2] Jadi
tentang harta bersih seseorang sangat bermasalah, sebab hal itu cenderung
mengukur kelayakan diri orang dalam pernyataan finansial. Gay mengusulkan bahwa
bagian dari bahaya pengaruh uang atas wawasan dunia ialah “hidup itu sendiri
jadi dialami sebagai sebentuk gabungan arti, nilai dan kepentingan,” yang
segala sesuatunya dinilai dalam ukuran-ukuran kuantitatif uang.[3]
Sosiolog Robert Wuthnow menggemakan ini ketika menyimpulkan bahwa “uang terkait
secara subjektif dengan jati diri kita” dan karenanya menjadi penentu penting
tentang bagaimana orang memandang dirinya.[4]
Manusia
juga tidak dikenali dengan apa yang mereka beli, ukuran atau lokasi rumah
mereka, jenis mobil yang dikendarai atau milik lainnya yang oleh kebudayaan dilihat
membuat orang berarti.[5] Barangkali
ini lebih halus dari pada yang disadari mulanya, sebab kebudayaan konsumtif
telah menjadi sedemikian identik dengan yang dikenal sebagai “merek” (lihat
pasal 8). Para konsumer telah demikian
mengaitkan diri dengan merek-merek tertentu, entah pakaian, mobil, elektronik
atau benda konsumer lain yang diharga oleh kebudayaan. Teolog Katolik Tom
Boudoin menunjukkan bahwa merek dapat memengaruhi cara konsumen
mengidentifikasi diri mereka, menentukan kecocokan mereka dalam kelompok atau
subbudaya tertentu, bahkan membentuk definisi mereka tentang sukses. Ia
mengusulkan bahwa berbagai merek dapat mengkomunikasikan arti dan jati diri,
khususnya untuk dewasa muda dan remaja dalam tahap-tahap pembentukan
pengembangan jati diri mereka. Dalam hal yang orang lain sebut “merek untuk
hidup,” Boudoin menunjukkan bahwa “jika orang muda merasa mantap tentang merek
tertentu yang melaluinya mereka
menyatakan jati diri mereka, merek-merek tersebut boleh jadi akan menjadi
bagian dari keseluruhan jati diri orang itu sementara mereka memasuki
kedewasaan dan usia pertengahan.”[6] Ini
merupakan salah satu tujuan jangka panjang periklanan, yaitu membuat konsumen
melekatkan arti pribadi ke merek produk tertentu – pemasang iklan tahu bahwa mereka telah sukses bila mereka membawa
para konsumer mengidentikkan diri dengan produk-produk mereka.[7]
Sebagian
solusi bagi endemi materialisme dalam kebudayaan kita ialah menilai uang dengan
apa yang Gay sebut “ringan hati” yang pada hakikatnya datang dari kepercayaan
kita akan Allah untuk persediaan kita. Almarhum teolog Katolik Richard John
Neuhaus mengusulkan kita bersikap tidak menentu tentang kekayaan:
Maksudnya
ialah kekayaan – baik memiliki atau menghasilkannya – sesungguhnya tidak begitu
penting. Pokok ini luput baik dari yang tamak, yang tertawan oleh milik mereka,
dan oleh para ideolog religius yang menganjurkan suatu tatanan ekonomi yang adil.
Keduanya menerima kekayaan terlalu serius. Penghargaan akan kehidupan ekonomi dan
produksi kekayaan yang diterangi secara teologis harus ditandai oleh kesan
tidak menentu dan heran di hadapan realitas-realitas kehidupan ekonomi yang
bersifat tidak pasti, nyata, acak dan tidak teramalkan.[8]
Tentunya,
ini menjadi lebih menantang di masa-masa kesukaran ekonomi, tetapi tidak kurang
penting, dan tidak mengikis pentingnya kerajinan dan tanggung jawab dalam
memerhatikan diri Anda sendiri dan tanggungan Anda.
[1] Untuk
bacaan lebih lanjut tentang dasar penting bagi keamanan dan jati diri orang
ini, lihat buku berwawasan oleh Craig M. Gay, Cash Value: Money and the Erosion of Meaning in Today’s Society (Grand Rapids : Eerdmans,
2004).
[2] Ibid.,
hlm. 90. Untuk diskusi lanjut tentang kritik terhadap materialisme, lihat
Robert Wuthnow, ed., Rethinking
Materialism: Perspectives on the Spiritual Dimension of Economic Life (Grand
Rapids: Eerdmans, 1995); dan Robert Wuthnow, God and Mammon in America (New York: Free Press, 1994).
[3] Gay, Cash Value, hlm. 68.
[4] Robert
Wuthnow, Poor Richard’s Principle:
Recovering the American Dream Through the Moral Dimensions of Work, Business and
Money (Princeton , N. J.: Princeton
University Press, 1996), hlm. 153.
[5] Untuk
diskusi lebih lanjut tentang pokok ini, lihat Tom Boudoin, Consuming Faith: Integrating Who We Are with What We Buy (Lanham , Md. :
Sheed & Ward, 2003); dan Rodney Clapp, ed., The Consuming Passion: Christianity and the Cousumer Culture (Downers
Grove: Ill. : InterVarsity Press, 1998).
[6] Boudoin, Consuming Faith, hlm. 7-8 (cetak
miring ditambahkan). Lebih jauh ia mengusulkan bahwa “merek memengaruhi jati
diri yang konsisten, koheren, di mana Anda menceritakan diri sejati Anda; hal
itu menawarkan keanggotaan dalam suatu komunitas, mengeluarkan suatu undangan
ke kepercayaan tak bersyarat, menawarkan janji perubahan hidup dan suatu hidup
baru” (Ibid., hlm. 44).
[7] Untuk
bacaan lanjut tentang tujuan jangka panjang iklan, lihat Howard J. Bluementhal,
Branded for Life: How American Are
Brainwashed by the Brand We Love (Cincinnati :
Emmis Books, 2005).
[8] Richard
John Neuhaus, “Wealth and Whimsy: On Economic Creativity,” First Things, August-September
(1990), hlm. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar