Kita
tidak perlu menganggap bahwa ajaran Yesus tentang pahala membuat Kekristenan
mengajarkan sikap mata duitan. Sebaliknya ajaran tentang pahala ini memberi
motif kuat bila diterapkan dalam konteks relasi orang Kristen dengan Bapa
surgawi mereka.
Orangtua senang memberi pahala
kepada anak-anak bukan? Pahala itu tetap merupakan pemberian dan bukan perolehan
jasa. Pahala yang orangtua berikan seringkali tidak layak diterima oleh
anak-anak tetapi tetap diberikan untuk mendorong anak terus mengerjakan sesuatu
atau mulai melakukan yang harus ia lakukan. Pahala Allah untuk kita pun
sebenarnya tak layak kita terima, tetapi dengan senang hati Allah memberinya
untuk mendorong kita maju.
C. S. Lewis membedakan antara pahala
yang mendorong terjadinya kegiatan dari pahala yang merupakan akibat sempurna
dari suatu tindakan. Jika seorang pria menikahi seorang perempuan karena uang,
ia mencari pahala jenis pertama dan kita menyebut ia mata duitan. Tetapi dalam
suatu pernikahan yang baik, pahala yang dicari dan ditemukan oleh orang ialah
boleh memiliki sisa hidup bersama perempuan yang ia kasihi.
Kegiatan yang dimaksud dalam Matius
6 ialah melayani Allah, melihat kepada-Nya, menjangkau Dia, memuji, berdoa,
menyembah, memuja, mengasihi, dan menaati Dia, dengan kata lain menikmati Dia.
Pahalanya adalah relasi makin dekat dengan Allah sendiri. Gambaran tentang
orang yang menerima gelang penuh mutiara, adalah pelukisan ke sesuatu yang
lain. Maksudnya, pahala kita ialah sambutan Allah, dengan ucapan “hai hamba
yang setia” dan komunikasi-Nya dengan kita tentang kasih-Nya secara langsung.
Yesus bicara tentang pahala dalam
arti berkat akhir dan juga kebaikan serta dorongan yang Bapa kita beri kepada
anak-anak-Nya yang mencari ia tiap hari (Ibr. 11:6).
Apakah
sikapku terhadap pahala? Pahala apakah yang secara terbuka atau diam-diam kini
saya cari?
Bersyukurlah kepada Yesus “yang karena
kesukaan yang menantikan-Nya telah menanggung salib” (Ibr. 12:2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar