Pada waktu hari sudah mulai malam, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya dan berkata: "Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah mereka pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa dan di kampung-kampung di sekitar ini." Tetapi jawab-Nya: "Kamu harus memberi mereka makan!" Kata mereka kepada-Nya: "Jadi haruskah kami membeli roti seharga dua ratus dinar untuk memberi mereka makan?" Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Berapa banyak roti yang ada padamu? Cobalah periksa!" Sesudah memeriksanya mereka berkata: "Lima roti dan dua ikan." Lalu Ia menyuruh orang-orang itu, supaya semua duduk berkelompok-kelompok di atas rumput hijau. Maka duduklah mereka berkelompok-kelompok, ada yang seratus, ada yang lima puluh orang. Dan setelah Ia mengambil lima roti dan dua ikan itu, Ia menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, supaya dibagi-bagikan kepada orang-orang itu; begitu juga kedua ikan itu dibagi-bagikan-Nya kepada semua mereka. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti dua belas bakul penuh, selain dari pada sisa-sisa ikan. Yang ikut makan roti itu ada lima ribu orang laki-laki. -- Markus 6:35-44
Beberapa hari lagi kita akan memperingati pengorbanan agung Yesus untuk kita, yang mempersembahkan tubuh-Nya untuk dipecah-pecah dan darah-Nya untuk dicurah, demi supaya kita boleh makan sehidangan di meja Allah. Lalu, apakah kita hanya melihat kisah pemecahan roti dan ikan ini dalam artian teologisnya semata sebagaimana yang disarikan dalam Yohanes 6. Tidak salah, namun arti teologis yang tanpa kejadian riilnya menjadi tak berfondasi. Ini juga bukan sekadar bukti petunjuk bahwa Yesus berkuasa atas elemen sehingga 5 dan 7 roti itu berubah menjadi cukup untuk 10,000 dan 8,000 orang (bila dihitung juga prempuan dan anak-anak yang ikut) ketika Ia bersyukur dan memecah-mecahkannya. Mukjizat itu terjadi karena Yesus memiliki kepedulian untuk kondisi hidup manusia secara utuh -- tubuh dan jiwa, bukan salah satunya saja; dan, karena kepedulian Yesus bergabung dengan pengorbanan pihak yang berbagi bekalnya, maka terjadilah perjamuan itu. Perjamuan yang memungkinkan bukan saja kebutuhan tiap orang dipenuhi tetapi juga tiap orang diperlakukan setara, semartabat, sesama manusia. Mari kita petik pesan dan alami perubahan dari kisah ini. Allah tidak saja menyelamatkan jiwa tetapi juga tubuh termasuk dompet, bisnis kita. Perhatikan sepuluh hukum, hari Sabat, tahun Sabat, tahun Yobel, bagaimana Ia ingin menciptakan Kerajaan-Nya di tengah umat-Nya di mana tiap orang setara dan bersama mempraktikkan kekudusan ekonomi dan bukan berhenti hanya di kekudusan moral. Kita harus maju lebih jauh daripada bisa berbelas kasihan, memberi persembahan atau persepuluhan sebab tindakan itu bisa saja membuat kita menempatkan diri lebih tinggi daripada orang yang ditolong atau bahkan menjadikan persembahan sebagai ."money laundrying" rohani. Marilah sadari betul bahwa kesediaan dipecah-pecah dan mem,berbagi hidup itu adalah tanda kesejatian pemuridan kita. Kita menyembah Allah yang murah hati, maka berhentilah dari keserakahan dan kekikiran. Kita meyakini Allah yang sedang mewujudkan masyarakat baru dengan ekonomi baru, hubungan sosial baru, dst., maka mari wujudkanlah itu dalam interaksi sosial dan ekonomi dan budaya kita seutuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar