Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa?...Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu. -- 1 Petrus 2:20, 24-25
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. -- Yesaya 53:4-5
Menjelang malam dibawalah kepada Yesus banyak orang yang kerasukan setan dan dengan sepatah kata Yesus mengusir roh-roh itu dan menyembuhkan orang-orang yang menderita sakit. Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita." -- Matius 8:17-18
Bagaimana tepatnya kita mengerti nas ini: "Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh"? Secara simboliskah -- kesembuhan dari masalah dosa, atau kesembuhan fisik riil, atau keduanya -- ya jasmani, ya jiwani?
Dari konteks dekat ayat ini kita bisa menangkap kesan adanya paralel antara Yesus menyelesaikan masalah dosa dan Yesus menyembuhkan. Artinya kita menangkap kesan bahwa "bilur-bilur-Nya menyembuhkan" menegaskan bahwa penderitaan dan kematian Yesus adalah dalam rangka menyembuhkan kita dari penyakit dosa.
Namun beberapa pertimbangan berikut membuat kita tidak bisa berhenti hanya pada arti simbolis dari kesembuhan. Pertama, di ayat 20 Petrus bicara tentang "pukulan" yang pasti menyebabkan derita jasmani pada penerima suratnya yang berstatus budak itu. Lagi pula seluruh pasal ini bicara tentang hal-hal riil, bukan tentang hal-hal simbolis. Kematian Yesus itu riil, keselamatan itu riil, perbudakan yang orang percaya tanggung waktu itu adalah riil, bahkan termasuk segala manfaat rohani seperti dipercik darah Yesus, dikuduskan dan dimurnikan, dibentuk melalui penderitaan, dlsb. -- semua ini bicara tentang hal-hal riil.
Dapat kita simpulkan bahwa Petrus mengutip Yesaya 53 ini dengan maksud asalnya bahwa korban kematian Yesus Kristus sungguh menghasilkan penyelamatan -- jiwani dan jasmani -- apalagi bila kita melengkapi dengan beberapa pertimbangan teologis berikut.
Pertama, keberadaan manusia sebagai makhluk jasmani-jiwani/rohani. Jika kita berpegang konsisten pada antropologi alkitabiah, maka jasmani-jiwani itu harus dimengerti sebagai dua sisi mata uang yang sama. Itu sebabnya berbagai gangguan jasmani membawa akibat ke kesejahteraan jiwani juga, demikian sebaliknya keadaan jiwani yang tidak beres sering termanifestasi ke dalam gangguan kondisi jasmani juga. Kita tidak bisa mengutamakan yang satu dan merendahkan yang lain sebab kita adalah tubuh-jiwa sebagai kesatuan. Maka penyembuhan / keselamatan yang Yesus Kristus kerjakan pasti berkaitan dengan sisi jiwani/rohani-jasmani kita.
Kedua, ketika fajar Kerajaan Allah terbit dengan kedatangan Yesus Kristus yang hidup-pelayanan-kematian-kebangkitan-Nya membawa kelepasan -- hadir pulalah berbagai manifestasi Kerajaan seperti kelepasan dari roh-roh jahat dan kesembuhan dari berbagai sakit-penyakit. Tindakan pelepasan dan penyembuhan yang Yesus Kristus buat bukan sekadar cara untuk Ia membuktikan otoritas-Nya, bukan juga sekadar isyarat simbolis dari keselamatan yang Ia bawa. Kedua tindakan itu adalah tindakan Kerajaan yang menghadirkan pemulihan manusia seutuhnya, kedua sisi jasmani-jiwani/rohaninya kepada maksud semula Allah menciptakan manusia. Ini sesuatu yang riil teralami. Itulah sari yang dimaksudkan Matius 8:17 ketika sesudah mencatat tentang begitu banyak pelepasan dan penyembuhan yang Yesus buat Matius merujuk ke Yesaya 53 tentang bilur-bilur-Nya menyembuhkan.
Ketiga, sebelum kita menarik kesimpulan akhir, perlu kita sadari bahwa pewujudan Kerajaan Allah oleh Yesus Kristus bersifat sudah-sedang-akan -- artinya dari segi realitas sejarah nyata, pewujudan shalom dari kedatangan Kerajaan itu sudah diberlakukan oleh berbagai mukjizat yang Yesus buat, oleh kematian-kebangkitan-Nya, dan oleh pencurahan Roh Kudus di Hari Pentakosta yang berdampak seterusnya dari zaman ke zaman, pewujudan Kerajaan di kedua sisi jasmani-jiwani/rohani itu sedang berproses. Namun, wujud final sempurnanya hanya akan terjadi pada kedatangan Yesus Kristus kedua kelak, dimana kita orang percaya diberikan tubuh kebangkitan yang tidak lagi mengalami sakit dan maut, tubuh kebangkitan yang sepenuhnya serasi dengan jiwa/roh yang telah diselanatkan, dikuduskan, dimurnikan dari segala bentuk kecemaran dosa dan akibat-akibatnya. Jadi dalam kurun waktu kekinian sementara kita menantikan yang sempurna itu tiba, kita boleh menghidupi cicipan awal dari kesempurnaan itu dalam bentuk penyembuhan dan pemurnian.
Jadi bagaimana prinsip yang dapat kita terapkan ke situasi ketika kita jatuh sakit atau ketika melayani orang yang menderita penyakit? Pertama, dasar sikap kita adalah bahwa Tuhan mampu dan mau untuk menyembuhkan, bahkan bukan saja itu Lebih dari mampu, mau Ia sudah mengerjakan penyembuhan untuk segala bentuk penyakit melalui karya kematian-kebangkitan-Nya. Inilah kehendak dan provisi umum Tuhan untuk kita. Karena Ia menghendaki kita sehat jasmani-jiwani/rohani, maka kita menjaga pola makan dan pola pikir kita, kita memastikan asupan ke perut dan ke otak sehat adanya, kita melatih tubuh dan jiwa/roh kita dalam berbagai senam jasmani-jiwani/rohani.
Kedua, dalam bingkai beberapa kebenaran di atas, orang Kristen dari berbagai aliran berbeda memberlakukan beberapa pola penyembuhan berikut: 1) berdoa meminta kesembuhan, 2) dengan iman bersyukur bahwa kesembuhan sudah Tuhan kerjakan dan berikan di salib-kebangkitan-Nya, 3) mengklaim kepada sakit-penyakit yang diderita bahwa bilur-bilur Yesus telah menyembuhkan, berarti sakit-penyakit itu harus tunduk kepada kebenaran itu. Kita yang berasal dari tradisi 1) -- berdoa mohon kesembuhan menganggap pendekatan 2) apalagi 3) sangat ekstrim, seakan memaksa Tuhan untuk menyembuhkan. Padahal, jika kita meresapi kembali poin-poin di atas bahwa realitas Kerajaan sedang mewujud dan kepada para pengikut Yesus dibagikan otoritas untuk mewartakan Injil, mengusir roh jahat dan menyembuhkan dari sakit-penyakit, sesungguhnya pendekatan 2) dan 3) itu konsisten dan logis secara teologis. Mempraktikkan poin 2) dan 3) juga tidak harus identik dengan mereka yang menekankan "injil kemakmuran dan kesehatan," sebab kita tidak menjadikan "berkat finansiil dan jasmani" sebagai bukti bahwa kita memiliki kerohanian yang memperkenan Tuhan.
Lalu, bagaimana jika sesudah mempraktikkan kedua poin di atas kenyataannya tidak sembuh juga? Kita tidak cepat berhenti berikhtiar mengalami kesembuhan yang sudah Tuhan sediakan apabila sesudah beberapa upaya iman ternyata belum sembuh. Sebab boleh jadi ada faktor "waktu Tuhan," atau "Tuhan menguji kesungguhan dan keimanan kita," atau "ada syarat rohani yang belum kita penuhi seperti bertobat dari dosa tertentu," dlsb. Andai kehendak umum yaitu kesembuhan dari Tuhan tidak juga dialami, berarti ada kehendak khusus Tuhan di dalam penanggungan penyakit itu. Itu yang kita simpulkan dari tidak dikabulkannya permohonan Paulus agar duri dalam dagingnya dicabut Tuhan. Tetapi ingat ini adalah kasus khusus, dan kita tidak memberlakukan perkecualian menjadi peraturan umum.
Kiranya makin banyak orang percaya dan pelayan Tuhan yang berani menerima pelayanan penyembuhan sebagai bagian wajar dari pelayanan Kerajaan dalam dunia yang penuh dengan berbagai kebutuhan dan manifestasi kegelapan ini. Supaya kemuliaan Tuhan dinyatakan, dan itu boleh menjadi salah satu cara orang datang mendekat kepada sang Pemberi hidup, sang Gembala Agung, sang Pemelihara jiwa. Dengan demikian ada kesinambungan antara pelayanan Yesus Kristus, pelayanan para murid pertama, pelayanan gereja perdana seterusnya dengan pelayanan kita kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar