1 Timotius 1:19
Freud mengaitkan hati nurani dengan berbagai gejala neurotik dan psikotik dari pembatasan, dorongan, dan rasa bersalah yang obsesif. Ia menggambarkan keadaan jiwa manusia sebagai rumah yang kacau, dimana ego di lantai dasar (diri yang sadar diri dengan pintu dan jendela yang terbuka ke dunia) ada di bawah tekanan dari id (energi agresif yang mengalir deras dari ruang bawah sadar) dan dari super-ego (perintah tegas menakutkan dari loteng, yang melaluinya larangan dan ancaman dari orangtua dan masyarakat diintrojeksikan ke dalam kehidupan sadar secara samar dan dengan efek mengganggu). Super-ego yang merupakan tiran dalam setiap orang, polisi jiwa, adalah pesakitan yang menyebabkan terjadinya neurosis dan psikosis; dan sasaran dari psiko-analisis ialah menelanjangi super-ego dan melihatnya sebagai campur aduk trauma yang terlupa, sehingga dengan begitu orang dapat dibebaskan darinya.
Karena pandangan Freud menyetarakan super-ego dengan hati nurani, akibatnya orang dapat secara langsung meringankan konsep yang melihat nurani sebagai suara Allah; tetapi apa yang Freud katakan itu sebenarnya adalah apa yang para pendeta Kristen belajar sebagai “nurani yang palsu” – lebih kurang suatu ketelitian irasional yang memperlihatkan kepada pikiran bukan tentang kesalehan melainkan keadaan jiwa yang sakit.
Tetapi yang Freud sebut hati nurani ini justru bukan pandangan Kristen. Untuk orang Kristen, hati nurani bersifat praktis, yaitu pertimbangan moral yang dengan sadar dipraktikkan, yang menyebabkan pertumbuhan dalam wawasan dan kepastian bimbingan melalui pngajaran dan penggunaan, serta membawa integrasi batin, kesehatan, dan kedamaian bagi mereka yang menaatinya. Freud sama sekali tidak mengurus semua aspek tersebut.
Apakah perbedaan antara hati nurani yang semu dan yang benar?
Tuhan, aku perlu pertolongan-Mu untuk menolak hati nurani semu dan hanya mendengar, makin jelas, suara-Mu dalam batinku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar