Kebiasaan penting lain jika kita ingin mengenal kesukaan ialah kebiasaan untuk hidup dalam kekinian (9:7-9). Bahkan pengkhotbah mengatakan agar kita menikmati semua kenikmatan yang tiap hari Allah berikan. Itulah sebuah ungkapan sikap mirip seorang anak yang dianjurkan kepada kita sebagai peziarah. Dalam arti tertentu kita harus hidup dalam masa depan, dengan mengingat semua yang telah Allah sediakan untuk mereka yang mengasihi Dia, tetapi tidak sampai merampas kesukaan masa kini kita. Seorang rabi bijak dari abad kedua berkata bahwa ketika kita menghadap takhta pengadilan Allah, Ia tidak hanya akan bertanya mengapa kita melakukan semua yang buruk, tetapi juga mengapa kita tidak menikmati sepenuhnya semua hal baik yang Ia berikan kepada kita.
Atas alasan ini, pengkhotbah mengarahkan orang muda untuk bersuka cita dalam masa mudanya serta bergembira dalam kemudaannya (Pkh. 11:9). Masa muda adalah karunia Allah; kita harus menikmatinya. “Turutiah keinginan hatimu, dan pandangan matamu,” ujarnya. Dengan kata lain, “Lakukanlah semua hal yang ingin kau lakukan sementara engkau masih muda untuk melakukannya.” Tentu ia mengandaikan bahwa hal yang kita inginkan itu adalah hal yang benar. Ia tidak menganjurkan kita melanggar aturan dan melakukan hal yang gila-gilaan – maka bagian akhir ayat itu berkata: “Tetapi ingat, Allah yang ada di surga, kelak mengadili tindakanmu semua” (1:9 IBIS).
Tidak ada nilai ekstra tertera pada kemudaan; intinya ialah kita harus menerima dan mencicipi sepenuhnya semua hal yang bernilai yang Allah berikan kepada kita atau yang dimungkinkan-Nya untuk kita dalam setiap saat yang kini sedang berlangsung.
Apakah aku menjadikan sebagian besar dari hidup menjadi kesukaanku? Jika tidak, mengapa?
Tuhan, lepaskan aku dari sikap “bila ini atau itu terjadi, aku baru akan sungguh hidup.” Tolongku menerima setiap saat kekinianku dari-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar