Rabu, 13 Maret 2013

Lembu, Keledai, atau... Umat?

Lembu mengenal pemiliknya,
tetapi Israel tidak;
keledai mengenal palungan
yang disediakan tuannya,
tetapi umat-Ku tidak memahaminya.
(Yesaya 1:3)
Biasanya kita mengerti ayat di atas sebagai berikut: Kita pikir Allah menegur Israel (juga kita, orang Kristen / gereja-Nya masa kini) tentang hal-hal seperti: - kurang bersyukur dan bergantung pada Tuhan, - kurang bergairah dalam beribadah di gereja, - malas bersaksi, dan lainnya semacam itu. Keliru besar!
Bila kita teruskan teguran keras Yesaya 1 ini, tidak satu pun dari hal-hal tadi yang kurang dari umat-Nya. Korban dan persembahan mereka tidak kurang malah melimpah (ay. 11); mereka tidak absen dalam beribadah dan melaksanakan berbagai perayaan ibadah dengan meriah (ay. 13-15). Sebaliknya dari menyukakan Allah, semua tindakan ibadah mereka itu malah kejijikan bagi Allah, membuat-Nya muak, dan tidak memperkenan-Nya.
Mengapa? Sederhana saja tetapi sangat serius bagi Tuhan! Bagi Allah perilaku religius umat tersebut “tidak sungguh” (ay. 13), sebab apa yang terjadi di rumah ibadah tidak sama dengan apa yang mereka lakukan dalam ruang publik! Yang disorot di sini ialah di ruang publik, kita harus mencerminkan hal-hal yang dialami tentang Allah yang kita sembah dalam ibadah. Hal ini tampak jelas dalam ayat 16-17: Allah menegur dosa-dosa sosial. Mengapa Allah sampai begitu murka kepada umat-Nya yang tidak mempraktikkan kepedulian sosial? Sebab itu menunjukkan mereka tidak memancarkan sifat Allah yang sejati. Dalam ibadah kita tidak saja berjumpa dengan Allah yang agung, tinggi, dahsyat, tetapi juga Allah yang mendengar tangisan umat-Nya (Kel. 3), yang peka akan kaum yang disingkirkan seperti para perempuan tanpa anak atau para janda.
Renungkanlah ayat-ayat seperti ini: “Siapakah seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan, bersama-sama dengan para bangsawan bangsanya. Ia mendudukkan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh sukacita. Haleluya!” - lihat Mazmur 113). Bagaimana kita mengaku kita menyembah Allah bila tindakan Allah yang “merunduk kepada kaum papa dan rentan”ini tidak terlihat dalam kehidupan sosial kita?
Seluruh Alkitab menyingkapkan sifat dan tindakan Allah yang menjenguk dan mengangkat kaum papa ini. Kita tidak mungkin tidak tertantang oleh kepedulian sosial Allah ini dari membaca berbagai firman dalam Perjanjian Lama, lebih-lebih bila kita merenung arti inkarnasi Yesus Kristus Putra Tunggal Allah. “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2Kor. 8:9). Sayangnya, kita cenderung merohanikan pembacaan kita akan bagian Alkitab sedemikian. Padahal, konteks tulisan Paulus ini sedang bicara tentang imbauannya agar jemaat kaya peduli dengan jemaat miskin. Inkarnasi Yesus harus dijadikan dasar dan teladan untuk kepedulian sosial jemaat dan orang Kristen.
Kekurangan gereja dan orang Kristen masa kini dalam kepedulian sosial bisa berakibat buruk pada pemahaman (baca: teologi) dan penghayatan yang dilakukan. Kita bisa cenderung membangun pola ibadah yang pro si kaya dan tidak peka akan rintihan si miskin. Kita bisa pro penguasa dan ikut menindas kaum papa yang rentan daya. Kita bisa berkedok kesalehan pribadi tetapi tidak memiliki hati welas asih seperti Tuhan. Kita bisa menipu diri merasa puas dengan ibadah-ibadah yang dikemas untuk menghibur ketimbang yang menantang orang berkotor tangan karena terlibat dunia nyata – baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dengan kata lain, sebetulnya kita tidak sedang menyembah Allah tetapi berhala, yaitu diri kita sendiri, Maka untuk mengubah itu Allah memberikan tuntutan sederhana tetapi radikal: “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat (baca: yang a-sosial) dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (ay. 16-17).
Sikap konkrit kepedulian sosial selain memancarkan hati Allah sendiri, juga berpengaruh dahsyat pada pembentukan diri kita. Melalui kepedulian sosial kita belajar menyetarakan diri dengan kesusahan pihak lain. Itu berarti mendisiplin hati kita untuk sensitif, untuk penuh pancaran kasih, untuk peduli, untuk merendah, untuk mengakui kefanaan dan keterbatasan kita, untuk bertobat dari keterikatan pada mamon dan menaklukkannya menjadi hamba kepentingan Allah semata. Itu berarti kita belajar bersandar pada Allah dalam mengatur hidup kita terutama dompet (baca: harta dalam berbagai wujudnya) dan tidak membiarkan harta menjadi berhala, atau kekhawatiran akan hari esok mencekik kedamaian dan kesukaan hidup. Singkat kata, bagaimana mungkin kita tidak dibentuk secara luar biasa ketika kita belajar untuk memancarkan sifat-sifat Allah ke ruang sosial kita?
Maka, darpada berdoa memohon Ia memberikan kesuksesan dalam berbagai aspek hidup, lebih baik mohonlah dan berjuanglah oleh bantuan Roh untuk memancarkan: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5:22, 23). Jadilah pribadi yang makin manusiawi, sebab dengan demikian kita menjadi makin ilahi; jadilah gereja atau komunitas Kristen yang makin “mewongke” sebab dengan demikian kita makin mirip “gusti Allah”sendiri.
     
Selamat bertumbuh dalam kemanusiaan yang ilahi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar