Jumat, 06 November 2015

Dampak Pengharapan Kekal

Ke dalam tangan-Mulah ku serahkan rohku, Engkau telah menebusku, O Tuhan Allah yang benar. -- Mazmur 31:6  
Kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini.  -- 1 Tesalonika 4:17-18
Justru karena tidak memiliki harapan kekal, orang mungkin sekali bisa menjadi berhasil, kaya, makmur dalam kehidupan sementara ini. Kaget? Petunjuknya, bangsa-bangsa yang berhasil menjadi "naga-naga" ekonomi bukankah: Jepang disusul oleh Taiwan, Korea Tiongkok? Filsafat-keagamaan bangsa-bangsa itu -- Shintoism, Buddhism, Taoism, Shamanism, Confucianism, -- sama sekali tidak memiliki harapan akan hidup sesudah hidup ini, hidup kekal. Justru karena tidak memiliki orientasi kekal, maka satu-satunya hidup sementara di dunia fana ini yang harus habis-habisan diusahakan, dinikmati, digarap. Alhasil, terjadilah keberhasilan ekonomi luar biasa. Lain halnya dengan keberhasilan akibat etos Judeo-Kristen -- kerja dalam irama adanya istirahat dalam semangat pengabdian kasih kepada sang Pencipta -- yang juga membawa keberhasilan ilmu, teknologi, ekonomi, sejauh tidak disimpangkan menjadi sekularisme.
Maka hati-hatilah dengan sikap terhadap kerja, uang, materi, sukses. Bisa sangat tipis dan licin perbedaan antara mengabdi dengan harapan kekal dari menguras hanya untuk yang sementara.
Tuhan, kiranya kehidupan kami dalam segala aspeknya menjadi testamen bagi percaya kami akan Engkau. Kiranya hati kami dibentuk oleh kasih kepada-Mu dan melaluinya jelas kami memiliki pengharapan kekal di dalam-Mu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar