Anak Allah… telah mengasihi aku dan
menyerahkan diri-Nya untuk aku. - Galatia 2:20
Kasih
Allah kepada orang-orang berdosa melibatkan pengidentifikasian
diri-Nya dengan kesejahteraan mereka. Identifikasi diri-Nya itu melibatkan
segenap kasih: sesungguhnya hal itu menjadi ujian apakah kasih itu murni atau
tidak. Jika seorang ayah senantiasa gembira dan acuh sementara putranya menuju
kesusahan, atau jika seorang suami tetap tenang ketika istrinya tertekan
perasaan, kita bertanya-tanya seberapa besar kasih dalam relasi mereka. Sebab
kita tahu bahwa orang yang sungguh mengasihi hanya bahagia ketika mereka yang
ia kasihi pun sungguh bahagia. Demikianlah dengan kasih Allah kepada manusia.
Tujuan Allah dalam segala sesuatu
ialah kemuliaan-Nya – yaitu agar ia dinyatakan, dikenal, dipuja, disembah.
Pernyataan itu benar tetapi belum lengkap. Masih perlu diimbangi dengan
pengakuan bahwa dengan mengasihi kita, Allah dengan sukarela telah mengikatkan
kebahagiaan akhir diri-Nya sendiri dengan kebahagiaan kita.
Allah bahagia tanpa adanya manusia.
Ia juga akan tetap bahagia andai Ia memutuskan untuk membinasakan manusia yang
berdosa. Tetapi Ia menujukan kasih-Nya kepada orang berdosa
tertentu, dan karena pilihan bebas itu Ia tidak mengenal kebahagiaan lengkap
sebelum Ia membawa setiap dari mereka ke surga. Itu berarti Ia berketetapan
bahwa untuk selamanya seluruh kebahagiaan-Nya akan bergantung pada kebahagiaan
kita. Jadi Allah menyelamatkan bukan saja untuk kebahagiaan-Nya tetapi juga
untuk kegembiraan-Nya. Ini menolong kita mengerti mengapa ada kesukaan besar
antara para malaikat ketika seorang berdosa bertobat (Luk. 15;10), dan mengapa
ada “kesukaan” ketika Allah menetapkan kita tidak bersalah di hari terakhir
dalam hadirat-Nya yang kudus (Yud. 24).
Aku tak dapat menyelami mengapa Ia yang
disembah oleh para malaikat harus menujukan kasih-Nya kepada anak-anak manusia
– termasuk aku – tetapi aku bersyukur bahwa Engkau melakukan itu, Tuhan.