Segala jerih payah manusia adalah untuk
mulutnya, namun keinginannya tidak terpuaskan.
Pengkhotbah 6:7
Dalam
pasal 6 penulis Pengkhotbah pertama
berkata bahwa orang yang usianya panjang tetapi tidak menikmati hal-hal baik
dalam kehidupan lebih buruk daripada anak yang keguguran. Baik orang itu maupun
bayi yang tidak hidup itu pergi ke tempat sama, tetapi orang itu pergi dalam
keadaan kurang bahagia (3-4).
Lalu ia membuat generalisasi bahwa orang yang bekerja
keras untuk mencari nafkah tetap masih memiliki keinginan tak terpuaskan (7).
Jadi apa kelebihan orang berhikmat daripada orang bodoh? (8). Ia lalu
mengomentari bahwa realisme lebih baik daripada fantasi; hidup dalam fantasi
adalah contoh lain tentang kesia-siaan (9).
Kini tiba semacam kesimpulan. “Apapun yang ada, sudah lama
disebut namanya. Dan sudah diketahui siapa manusia, yaitu bahwa ia tidak dapat
mengadakan perkara dengan yang lebih kuat dari padanya. Karena makin banyak
kata-kata, makin banyak kesia-siaan. Apakah faedahnya untuk manusia? Karena
siapakah yang mengetahui apa yang baik bagi manusia sepanjang waktu yang pendek
dari hidupnya yang sia-sia, yang ditempuhnya seperti bayangan? Siapakah yang
dapat mengatakan kepada manusia apa yang akan terjadi di bawah matahari sesudah
dia? (10-12). Dengan kata lain: Apa gunanya hikmat jika hidup seperti itu? Kita
tidak dapat menemukan arti darinya. Ayat-ayat ini adalah bagian paling pahit
dalam Pengkhotbah, menggabungkan semua perasaan kesia-siaan yang telah
dipaparkan dalam separuh pertama buku ini.
Tetapi dalam bagian kedua, pengkhotbah memberitahu
pembaca: Carilah hikmat, hargai hikmat, dan Anda akan berada di jalan menuju
kesukaan, betapa pun pahit dan pesimis perasaan Anda ketika memulai perjalanan
hidup, dan betapa pun kesusahan bertambah. Ia menuntun kita ke kesukaan, bukan
ke kesuraman.
Berdoalah untuk orang yang sedang mengalami
kesuraman agar Allah memimpin mereka ke jalan hikmat dan kesukaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar