Pengkhotbah
melihat ke sekeliling dan mencatat beberapa hal ini. Pertama, ia melihat
penindasan – tangis dan kepedihan, tanpa seorang pun yang menghibur mereka; di
pihak lain para penindas berkuasa dan sanggup memperlakukan orang lain
seenaknya – sedemikian parah sampai yang tak berdaya dan terhimpit merasa lebih
baik tidak pernah hidup.
Kedua, kesia-siaan kesibukan hidup. “Segala
jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seseorang
terhadap yang lain” (4-8). Salah satu motivasi kuat dalam hidup ialah iri hati,
cemburu, sombong, dan keinginan melebihi orang lain. Tetapi hidup yang
digerakkan oleh kecemburuan tidak pernah memberi kepuasan.
Kemudian, ia melihat kesepian dalam
dunia Allah (9-12). Pemikiran penting dalam alinea ini ialah kesedihan orang
yang sendirian: ketika ia gagal, tidak ada yang menolong (10). Ketika ia dalam
masalah, tak seorang pun di sampingnya. Ada
banyak orang seperti itu di dunia, dan dalam keluarga Allah: gereja Kristen.
Akhirnya, ia melihat kesusahan dalam
naik turun kehidupan (13-16). Pengkhotbah mungkin melihat kenyataan ketika ia
merujuk ke raja tua dan bodoh, yang tak lagi sedia menerima nasihat, meski ia
telah keluar dari penjara untuk menjadi raja atau dalam kerajaannya sendiri ia
miskin. Ketika ia naik kuasa ia menjadi sombong dan bebal. Apa yang akan
terjadi? Kelak ia akan diganti oleh seorang muda yang miskin yang kelak pun
akan diganti dan dilupakan juga. Hidup untuk tiap orang ada gelombang naik dan
turunnya, dan semakin tinggi ia naik, semakin hebat jatuhnya.
Tuhan, tidak banyak yang berubah sejak zaman
Pentkhotbah. Kini masih ada penindasan, kesepian, kerja keras sia-sia, turun
dan naik… Bagaimana supaya aku ada tanpa menjadi bagian di dalamnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar