Jumat, 03 Agustus 2018

Yesus, Sahabat

Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan kamu berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. -- Lukas 7:34
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. -- Yohanes 15:13-14

Ketika dalam lingkup relasi manusia, relasi orangtua-anak berakhir, ketika koneksi tuan-hamba dihapuskan dan ketika privilese yang didasarkan atas posisi seksual disingkirkan, maka hal yang sejatinya manusia muncul dan bertahan, itu adalah persahabatan. Manusia yang baru, yang sejati, manusia yang merdeka adalah sahabat. Keberadaan untuk orang lain dalam peraturan dan fungsi tatanan sosial memang keharusan. Tetapi itu hanya sah selama yang merupakan keharusan ada terus. Di pihak lain keberadaan bersama orang lain, dalam sikap bersahabat yang tidak menuntut, bebas dari desakan dan paksaan. Persahabatan adalah hasrat wajar untuk persekutuan manusia yang sejati, afeksi timbal balik yang direkatkan oleh kesetiaan. Semakin seseorang hidup bersama orang lain secara timbal balik, semakin privilese dan klaim dominasi menjadi tak berguna. Semakin orang saling percaya semakin kurang kebutuhan untuk saling mengatur. Arti positif dari masyarakat tanpa kelas yang bebas dari dominasi, tanpa tekanan dan privilese, terletak dalam persahabatan. Tanpa kuasa persahabatan dan tanpa adanya tujuan untuk dunia yang bersahabat tidak ada pengharapan bagi manusia dari konflik antar kelas dan konflik untuk penguasaan.
Alasan terdalam persahabatan Yesus dengan "para pemungut cukai dan orang berdosa" harus ditemukan di dalam sukacita perjamuan mesianik yang Ia rayakan bersama mereka. Itu bukan simpati, itu adalah sukacita melimpah dalam Kerajaan Allah, sukacita yang berupaya untuk berbagi dan menyambut, yang membuat Ia mendekat kepada orang yang terbuang di mata hukum taurat. Fajar Kerajaan dirayakan dalam perjamuan mesianik, yang kerap disebut sebagai perjamuan nikah. Penghormatan yang Yesus perlihatkan kepada yang tidak terhormat dan yang tertolak ketika Ia makan dan minum bersama mereka ditentukan oleh hukum anugerah. Yesus memberlakukan hukum anugerah dengan mengampuni dosa dan dengan bersekutu bersama pemungut cukai dan para pendosa. (Jürgen Moltmann, The Church in the Power of the Spirit, SCM Press, 1977, pp. 116-117)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar