Rabu, 22 November 2017

Mati, Kedukaan dan Penguburan

Kemudian berpesanlah Yakub kepada mereka: "Apabila aku nanti dikumpulkan kepada kaum leluhurku, kuburkanlah aku di sisi nenek moyangku dalam gua yang di ladang Efron, orang Het itu, dalam gua yang di ladang Makhpela di sebelah timur Mamre di tanah Kanaan, ladang yang telah dibeli Abraham dari Efron, orang Het itu, untuk menjadi kuburan milik. Di situlah dikuburkan Abraham beserta Sara, isterinya; di situlah dikuburkan Ishak beserta Ribka, isterinya, dan di situlah juga kukuburkan Lea; ladang dengan gua yang ada di sana telah dibeli dari orang Het." Setelah Yakub selesai berpesan kepada anak-anaknya, ditariknyalah kakinya ke atas tempat berbaring dan meninggallah ia, maka ia dikumpulkan kepada kaum leluhurnya. Lalu Yusuf merebahkan dirinya mendekap muka ayahnya serta menangisi dan mencium dia. Dan Yusuf memerintahkan kepada tabib-tabib, yaitu hamba-hambanya, untuk merempah-rempahi mayat ayahnya; maka tabib-tabib itu merempah-rempahi mayat Israel. Hal itu memerlukan empat puluh hari lamanya, sebab demikianlah lamanya waktu yang diperlukan untuk merempah-rempahi, dan orang Mesir menangisi dia tujuh puluh hari lamanya. Setelah lewat hari-hari penangisan itu, berkatalah Yusuf kepada seisi istana Firaun: "Jika kiranya aku mendapat kasihmu, katakanlah kepada Firaun, bahwa ayahku telah menyuruh aku bersumpah, katanya: Tidak lama lagi aku akan mati; dalam kuburku yang telah kugali di tanah Kanaan, di situlah kaukuburkan aku. Oleh sebab itu, izinkanlah aku pergi ke sana, supaya aku menguburkan ayahku; kemudian aku akan kembali." Lalu berkatalah Firaun: "Pergilah ke sana dan kuburkanlah ayahmu itu, seperti yang telah disuruhnya engkau bersumpah." Lalu berjalanlah Yusuf ke sana untuk menguburkan ayahnya, dan bersama-sama dengan dia berjalanlah semua pegawai Firaun, para tua-tua dari istananya, dan semua tua-tua dari tanah Mesir, serta seisi rumah Yusuf juga, saudara-saudaranya dan seisi rumah ayahnya; hanya anak-anaknya serta kambing domba dan lembu sapinya ditinggalkan mereka di tanah Gosyen. Baik kereta maupun orang-orang berkuda turut pergi ke sana bersama-sama dengan dia, sehingga iring-iringan itu sangat besar. Setelah mereka sampai ke Goren-Haatad, yang di seberang sungai Yordan, maka mereka mengadakan di situ ratapan yang sangat sedih dan riuh; dan Yusuf mengadakan perkabungan tujuh hari lamanya karena ayahnya itu. Ketika penduduk negeri itu, orang-orang Kanaan, melihat perkabungan di Goren-Haatad itu, berkatalah mereka: "Inilah perkabungan orang Mesir yang amat riuh." Itulah sebabnya tempat itu dinamai Abel-Mizraim, yang letaknya di seberang Yordan. Anak-anak Yakub melakukan kepadanya, seperti yang dipesankannya kepada mereka. Anak-anaknya mengangkut dia ke tanah Kanaan, dan mereka menguburkan dia dalam gua di ladang Makhpela yang telah dibeli Abraham dari Efron, orang Het itu, untuk menjadi kuburan milik, yaitu ladang yang di sebelah timur Mamre. Setelah ayahnya dikuburkan, pulanglah Yusuf ke Mesir, dia dan saudara-saudaranya dan semua orang yang turut pergi ke sana bersama-sama dengan dia untuk menguburkan ayahnya itu. -- Kejadian 49:19-50:14
 
Bagaimana kita melihat kematian? Apakah sebagai suatu akhir atau sebagai sesuatu yang melanjutkan hidup yang sudah kita lalui meski dalam cara yang berbeda? Bagaimana kita menyikapi kematian kita?
Itu bukan merupakan pertanyaan yang akan diterima dengan nyaman oleh kebanyakan orang. Semua orang pasti pernah merasakan ketakutan tertentu bila memikirkan dirinya akan meninggal. Mengapa? Sebab ada sesuatu yang misterius tentang apa yang terjadi dalam kematian dan apa akibatnya sesudah itu yang kita tidak tahu, di luar kendali kita, dan bersifat final. Itu sebab kita gelisah bahkan takut. Tetapi ada banyak orang yang dapat menatap bahkan mempersiapkan kematian serta penguburannya dengan penuh keyakinan. Di antara sedikit orang yang demikian itu adalah Yakub. Ketika ia mengumpulkan anak-anaknya dan memberikan nubuat berkat, intinya ia menyiapkan perpisahan dirinya dari mereka. Berulang kali ia meminta dan memastikan berbagai hal sehubungan dengan penguburannya. Dan seperti cara kematian Abraham, ia pun meninggal dengan cara yang sangat indah. Ia menarik kakinya, berbaring lalu pergi.
Oleh karena Yusuf adalah pembesar Mesir, kematian Yakub ayahnya pun mendapat penghormatan dan tata cara penguburan menurut kebudayaan Mesir. Ada persamaan dan perbedaan penting antara perlakuan Mesir dan perlakuan keluarga Israel tentang orang mati. Keduanya sama-sama meyakini adanya hidup kelanjutan dari orang yang sudah mati, seperti yang ditandai oleh pengawetan mayat pada orang Mesir. Pada keluarga bapa leluhur tidak diadakan pengawetan mayat, namun ungkapan “dikumpulkan bersama Abraham, Sara, Ishak, Ribka, Lea…” menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berlanjut di antara mereka meski saat itu tidak dijelaskan lebih lanjut. Tangisan adalah hal yang manusiawi dan wajar, namun bila Yusuf menangis dengan mendekap dan mencium Yakub, orang Mesir menangis sampai tujuh puluh hari. Jika pasti adanya hidup berkelanjutan sesudah kematian, mengapa harus menangis sampai sekian lama?
Sesudah Yesus mati lalu bangkit, maut tidak lagi menakutkan. Hidup di seberang maut adalah bertemu Dia yang bangkit yang merupakan pemula dan penyempurna iman kita dan pemberi sumber pengharapan baik hidup maupun mati kita. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar