Senin, 24 April 2017

Awas "Barang" Palsu

Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban--yaitu persembahan kepada Allah--, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan." Lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: "Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah.Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya." ... sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang."  -- Markus 7:1-23


Tampil berlebihan kerap dilakukan oleh orang yang inferior, sementara orang yang menerima dirinya apa adanya biasanya nyaman untuk tampil bersahaja. Hal sama terjadi juga dalam hidup kerohanian, entah pribadi maupun gereja. Semakin kita sibuk dengan pernak-pernik tradisi, adat istiadat, upacara semakin mungkin kita ada dalam bahaya yang Tuhan Yesus bongkar dalam konflik-Nya dengan orang Farisi. Pertama, tradisi bisa menjadi kemunafikan, yaitu membungkus ketidaksejatian dengan ornamen yang membuat kita seolah orang yang rohani. Kedua, tradisi bisa dimutlakkan sampai menyingkirkan firman Tuhan sendiri. Ketiga, tradisi dijalankan sambil inti dari ajaran firman Tuhan justru diabaikan. Keempat, tradisi keagamaan tidak dapat memperbaiki apa yang bobrok dalam hati manusia, Jelas Tuhan bukan sedang melawan dan membuang tradisi sebab Ia sendiri meninggalkan tradisi antara lain tradisi perjamuan kudus, tradisi pewartaan Injil Yesus yang mati dan bangkit. Meski demikian tetap saja teguran keras ini perlu kita berlakukan sebab kita hidup dalam zaman yang semakin mementingkan bungkus ketimbang isi, mengutamakan tampilan ketimbang kesejatian. Perhatikan persembahan dan persepuluhan. Pasti Allah marah melihat bagaimana gereja mempraktikkan persepuluhan yang kemudian dipakai untuk membiayai upacara keagamaan yang serba me-"wah" dan yang memungkinkan para hamba Tuhannya menjadi hamba uang..., sementara anggotanya yang miskin tidak diperhatikan, lingkungan yang tertindas tidak dibantu, keadilan dan kekudusan ekonomi tidak diajarkan kepada para anggota gereja. Apa gunanya kita rajin bergereja sementara perhatian kita tetap asyik dengan gadget, dengan lamunan dan angan-angan lain dari fokus kepada Tuhan. Maka pertanyaannya adalah, apakah tradisi dan upacara keagamaan kita selubung dari ketidaktaatan dan ketidaksungguhan kita untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti diri sendiri? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar