Selasa, 06 Maret 2012

Gema suara Allah dalam Relasi Seksual

Di pusat semua relasi kita temukan seks. Tentu tidak semua relasi bersifat ‘seksual’, dalam arti melibatkan perilaku erotis. Hampir semua masyarakat menganggap seks mempunyai konteks yang amat khas, sering kali dalam pernikahan atau yang setara dengannya. Tetapi yang saya maksud ialah, ketika manusia saling berhubungan sebagai laki-laki dan perempuan; kelelakian dan keperempuanan bukanlah jati diri seperti yang kita maksudkan bagi suatu relasi tertentu (misalnya yang bersifat romantis atau erotis). Dalam hal ini pun, kita sangat mengetahui bahwa kita adalah makhluk berjenis tertentu, namun begitu mengalami kesulitan untuk menjadi jenis diri kita itu. Dengan kata lain, seks adalah suatu contoh amat jelas dan spesifik tentang paradoks yang sedang saya soroti ini. Di dunia sekarang ini, tampaknya seks bukanlah tempat yang memungkinkan untuk menangkap gema dari jenis suara yang sedang saya paparkan. Dan itu hanya memperlihatkan betapa parahnya kita telah salah mengerti kenyataan.

            Beberapa generasi terakhir di Barat telah menyaksikan upaya sangat besar untuk mengajarkan kepada anak-anak laki-laki dan perempuan bahwa perbedaan di antara mereka hanya sekadar perbedaan dalam fungsi biologis. Kita telah memberikan peringatan keras yang menentang penstereotipan orang berdasarkan gender mereka, sehingga semakin banyak jenis pekerjaan telah dapat dipertukarkan antar gender, paling tidak secara teori. Namun demikian, meskipun kredensi idealis mereka tanpa cacat, orang tua masa kini mendapati kebanyakan anak-anak laki-laki senang bermain dengan pistol-pistolan dan mobil-mobilan, demikian pula anak-anak perempuan senang bermain dengan boneka, dengan mendandani dan memberinya makan. Bukan saja anak-anak yang membandel menolak peraturan baru itu. Mereka yang membidikkan majalah ke kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat juga tidak mengalami kesulitan menerbitkan ‘majalah pria’ yang hanya akan dibeli oleh sedikit saja perempuan, dan ‘majalah wanita’ yang hampir pasti tidak akan dibaca oleh kaum laki-laki. Sirkulasi majalah semacam itu makin menguat saja, bahkan di negara-negara di mana propaganda tentang jati diri gender telah puluhan tahun digencarkan. Di kebanyakan negara, jelas orang tidak ingin berpura-pura bahwa laki-laki dan perempuan identik adanya dan dapat dipertukarkan. Semua orang tahu bahwa keduanya sangat berbeda.

            Ternyata menentukan secara pasti apa sebenarnya perbedaan tersebut lebih sukar daripada yang biasa dibayangkan. Bukan terutama karena beragam masyarakat memiliki citra yang berlainan tentang apa yang harus dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, dan kemudian mempertanyakannya ketika tidak semua orang sesuai dengan pembagian tersebut. Saya sama sekali tidak menyangkal bahwa ada banyak bidang di masa lalu yang di dalamnya kita telah keliru tentang hal ini. Dalam lingkup pekerjaan saya sendiri saya telah dengan gigih memberikan argumen yang jauh lebih mendukung persilangan karir antar gender daripada yang secara tradisional diterima orang. Yang ingin saya tekankan hanyalah: bahwa semua hubungan antar manusia melibatkan unsur jati diri gender (sebagai laki-laki, saya berhubungan dengan laki-laki lain sebagai laki-laki dengan laki-laki, dan dengan perempuan, sebagai laki-laki dengan perempuan), dan meski dalam hati kita sangat mengetahui hal ini, tetapi kita sering bingung tentangnya. Di ujung skala yang satu, demi kepraktisan sebagian orang berusaha berpura-pura bahwa gender tidak relevan, seolah mereka bergender netral. Di ujung lain, sebagian orang selalu menilai orang lain sebagai bakal partner seksual, bahkan jika hanya dalam imajinasi. Dan lagi-lagi, kita amat tahu bahwa kedua sikap ini adalah distorsi terhadap realitas.

dikutip dari Hati & Wajah Kristen: Terwujudnya Kerinduan Manusia & Dunia oleh N. T. Wright

Tidak ada komentar:

Posting Komentar