Senin, 26 Maret 2012

Kesadaran diri Yesus

Ia pasti tahu Ia bisa jadi gila. Yesus cukup cerdas untuk sadar tentang kemungkinan terjadinya delusi. Tetapi – dan inilah yang paling misterius dari semuanya – Ia ditopang tidak saja oleh pembacaan Alkitab-Nya, yang di dalamnya Ia menemukan dengan jelas garis-garis panggilan diri-Nya sendiri, tetapi juga oleh kehidupan doa-Nya yang akrab dengan Dia yang Ia sapa Abba, Bapa. Entah bagaimana, Yesus sekaligus berdoa kepada Bapa dan mengambil suatu peran untuk diri-Nya yang dalam nubuat-nubuat kuno, dikhususkan untuk YHWH – yaitu peran menyelamatkan Israel dan dunia. Ia taat kepada Bapa, dan sekaligus melakukan hal yang hanya dapat dilakukan oleh Allah.

            Bagaimanakah kita dapat memahami semua hal ini? Saya tidak berpikir bahwa Yesus ‘tahu Ia ilahi’ seperti kita tahu diri kita dingin atau panas, bahagia atau sedih, laki-laki atau perempuan. Ia mengetahuinya lebih seperti kita mengetahui panggilan hidup kita, di mana seseorang tahu, di kedalaman terdalam keberadaan mereka, bahwa mereka terpanggil menjadi seorang seniman, seorang montir, seorang filsuf. Bagi Yesus, agaknya ini mirip dengan ‘pengetahuan’ semacam itu, suatu keyakinan yang kuat dan berkobar, bahwa Allah Israel lebih misterius daripada yang kebanyakan orang duga; yaitu bahwa di dalam keberadaan terdalam Allah terdapat suatu gerak kasih yang saling memberi-dan-menerima, ke luar-dan-masuk, diberi dan diterima. Agaknya Yesus percaya bahwa Ia, sang nabi dari Nazaret yang sepenuhnya manusia, adalah salah satu dari para partner dalam kasih tersebut. Ia dipanggil untuk menaati Bapa, untuk menjalani proyek yang di dalamnya kasih itu akan memberi dirinya secara bebas dan penuh.

Dikutip dari buku Hati & Wajah Kristen: Terwujudnya Kerinduan Manusia & Dunia oleh Dr N. T. Wright. Info: 0812-270-24-870 / waskitapublishing@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar