Kamis, 14 April 2011

Bapa Kami di Surga, dikuduskanlah NamaMu


Inilah sifat sejati Kekristenan: yaitu merayakan kemenangan Allah yang menentukan, dalam Yesus Kristus, atas Firaun dan Laut Merah, atas dosa dan kematian – dan menyongsong, sambil berjuang untuk merindukan dan berdoa bagi implementasi penuh dari kemenangan menentukan itu. Setiap Ekaristi justru menangkap ketegangan ini: “Setiap kali kamu memecahkan roti dan meminum dari cawan, kamu memberitakan, kamu menyatakan kematian Tuhan – sampai Ia datang (1 Korintus 11:26). Ke meja Perjamuan kita datang untuk makanan kita yang sehari-hari, dan yang surgawi; kita datang untuk pengampunan kita sehari-hari, dan akhir nanti; kita datang untuk pelepasan kita tiap hari, dan akhir kelak; kita datang untuk merayakan kerajaan Allah kini, dan berdoa untuk kedatangan-Nya segera. Itulah yang kita maksudkan ketika menyebut Allah “Bapa.”
            Dan sebagaimana kita lakukan ini, sambil kita berdoa Doa Bapa Kami ini dalam pengertian tadi, kita mulai menemukan pola sejati spiritualitas Kristen, tentang jalan Kristen yang menembus masuk ke dalam misteri, tentang keberanian untuk masuk ke awan ketidaktahuan. Ketika kita memanggil Allah “Bapa,” kita dipanggil untuk melangkah keluar, bagaikan seorang anak yang magang, ke dalam dunia penderitaan dan kegelapan. Kita akan menemukan kegelapan itu di sekeliling kita; itu akan membuat kita gentar, justru karena ia mengingatkan kita tentang kegelapan yang ada dalam diri kita sendiri. Pencobaannya ialah untuk memadamkan berita itu, untuk mengenyahkan derita dunia, untuk menciptakan suatu dunia tanpa penderitaan untuk diri kita sendiri. Sebagian besar dari kebudayaan kita dirancang justru untuk melakukan itu. Tidak heran orang sukar berdoa. Tetapi, jika sebagai umat dari Allah yang hidup, kita merespons panggilan untuk menjadi anak-anak-Nya; jika kita mengambil risiko menyebut Dia Bapa; maka kita dipanggil untuk menjadi umat yang melalui kita penderitaan dunia ini dibawa ke dalam terang kasih Allah yang menyembuhkan. Lalu kita menemukan diri kita ingin berdoa, butuh berdoa, doa ini. Bapa, Bapa kami, Bapa kami yang di Surga, dikuduskanlah Nama-Mu. Yaitu, kiranya Engkau disembah oleh seluruh makhluk; kiranya seluruh kosmos menaikkan pujian bagi-Mu; kiranya seluruh dunia dibebaskan dari ketidakadilan, perusakan, dosa, dan kematian, dan kiranya Nama-Mu dikuduskan. Dan sementara kita berdiri di dalam kehadiran Allah yang hidup, dengan penderitaan dan kesakitan dunia di hati kita, kita berdoa agar Ia menggenapi janji-janji-Nya sejak dulu, dan mewujudnyatakan kemenangan Kalvari dan Paskah untuk seluruh kosmos – maka kita boleh menemukan bahwa penderitaan kita sendiri, kegelapan kita sendiri, pun diurus-Nya pula.
            Saya berani mengatakan bahwa ini adalah pola spiritualitas Kristen. Spiritualitas Kristen bukan pengejaran kemajuan spiritual pribadi. Bukan melarikan diri ke sendirian. Juga bukan sekadar berteriak ke kehampaan, atau sekadar menyadari perasaan-perasaan terdalam kita, meski terkadang ia mungkin terkesan mencakup berbagai hal tersebut. Melainkan, ia adalah irama memasuki kehadiran derita dunia, dan bertelut di hadapan sang pencipta dunia; membawa kedua hal itu bersama dalam Nama Yesus dan oleh kemenangan salib; hidup dalam ketegangan Adven ganda (kedatangan-Nya pertama dan kedatangan-Nya kedua), dan memanggil Allah, “Bapa.”
            Yesus mengambil risiko menyebut Allah secara tidak lazim. Dalam injil Yohanes, salah satu cara teratur Ia bicara tentang Allah adalah “Bapa yang telah mengutus Aku.” Ia ingin orang menemukan seperti apakah Bapa sesungguhnya dengan melihat apa yang Ia, Yesus buat. Ketika kita menyebut Allah “Bapa,” kita juga membuat suatu klaim gila, mengherankan, penuh risiko. Misi gereja terkandung dalam kata itu; kegagalan gereja disoroti oleh kata itu. Tetapi kegagalan itu pun, diurus dalam doa itu, dan di salib. Tugas kita ialah bertumbuh ke Bapa Kami, untuk berani meniru Kakak kita, sambil kita mencari makanan kita tiap hari dan pengampunan kita setiap hari; untuk mengenakan pakaian-Nya, berjalan dalam kasut-Nya, berpesta di meja-Nya, menangis bersama-Nya di taman, berbagi penderitaan-Nya, dan mengenal kemenangan-Nya. Sementara Juruselamat kita Yesus Kristus melalui kehidupan dan kematian-Nya bahkan lebih dari melalui firman-Nya, telah memerintahkan dan mengajarkan kita, agar kita berani, sangat berani – bahkan sementara orang menganggap gila, –  menyeru “Bapa Kami.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar