Kamis, 21 April 2011

Membayangkan Kurban Kristus

Tidak ada kisah Perjanjian Lama lain yang lebih mengagetkan dan berdampak amat dalam dibanding kisah Abraham diminta Allah untuk mengorbankan Ishak. Terkesan biadab untuk kita, namun perintah Allah itu direspons Abraham sedemikian rupa sampai seluruh kisah ini bicara tentang kasih dan pengorbanan, percaya dan taat, bingung dan setia, memberi dan menerima, kesetiaan dan pahala.

            Dua kata kunci dalam kisah ini ialah ‘mencoba/menguji’ (Kej. 22:1) dan ‘takut’ (ay. 12). Kisah ini mengundang kita untuk selalu percaya dan taat kepada Allah, apa pun bentuk ujian yang Ia berikan sebab Ia pasti terbukti sebagai Allah yang layak dipercaya.

            Allah menguji dalam rangka mengetahui semurni apakah iman Abraham melalui kesediaannya untuk menaati Dia; sungguhkah ia hidup “di hadapan-Nya dengan tidak bercela” (17:1) – hal yang YHWH harapkan dari Abraham. Nama Allah perjanjian (YHWH) dalam kisah ini tidak disebutkan di awal sampai ayat 11; ketika Ia datang untuk memberi ujian iman itu ayat 1 memakai nama Elohim, dengan maksud menekankan bahwa yang bicara adalah pencipta yang berdaulat. Baru sesudah terbukti bahwa iman Abraham memang sepenuhnya menaati Allah, Ia datang sebagai Allah perjanjian, YHWH, yang mencegah Abraham dari mengurbankan Ishak dan yang menyediakan domba pengganti untuk dikurbankan (ay. 11).

            Dari sudut pandang Abraham, ujian itu riil. Ketika alur peristiwa itu ia jalani, ia sama sekali tidak menyadari bahwa Allah sedang mengujinya. Ketika membaca kisah ini kita harus hati-hati agar tidak membaca dengan pikiran telah di-fast forward ke akhir kisah. Kita perlu membayangkan kegentaran, kebingungan, barangkali juga kegoncangan hati Abraham menjalani perintah itu. Untuk memastikan bahwa yang dimaksud adalah sang anak perjanjian, Allah membuat perintah itu spesifik bahwa Ishak yang harus dikurbankan, bukan Ismael (ay. 2). Dampak perintah itu kira-kira seperti orang menyetir mobil sudah di gigi 4 tiba-tiba diperintahkan untuk pindah ke gigi mundur – seluruh perjalanan sejak 11:30 seolah saat itu akan berantakan. Lebih berat lagi ia tidak saja diminta untuk mengurbankan anaknya – anak perjanjian Allah sendiri itu – tetapi ia sendiri yang diminta untuk melakukan itu.

            Ketaatan Abraham dipaparkan melalui beberapa hal. Pertama, pagi-pagi benar ia langsung mengungkapkan ketaatannya dalam tindakan. Ia tidak menunda responsnya atau berharap bahwa Allah akan berubah pikiran. Ia tidak memberi kesempatan untuk keraguan atau pencobaan untuk meragukan kedaulatan atau kebijakan Tuhan. Kedua, ketaatannya dilakukan dengan perhitungan detail. Semua yang dibutuhkan untuk melakukan misi kurban itu – kayu, keledai, tali pengikat – semua dibawanya. Ketiga, ketaatannya penuh dan teguh. Perjalanan sejauh tujuh puluh kilometer itu harus ditempuh selama tiga hari. Perjalanan yang lama itu adalah perjuangan untuk kebulatan tekad dan kesetiaan sampai akhir – namun pergumulan itu tidak terlihat dalam narasi Kejadian 22. Narasi itu dengan cepat melukiskan ia sudah melalui perjalanan tiga hari itu. Sungguh luar biasa! Keempat, meski ia berjalan bersama Ishak dan para pelayannya, narasi melukiskan perjalanan itu sebagai perjalanan sepi yang ditempuh Abraham dalam kesendirian jiwanya. Bayangkan seorang ayah menjalani suatu perjalanan untuk mengurbankan putra yang baru didapatnya sesudah ia berusia 90 tahun. Kelima, ketika Ishak bertanya dimanakah domba yang akan dikurbankan, secara ajaib Abraham menjawab sesuatu yang paradoksal yang hanya iman dapat mengatakannya. Ia tidak tahu bahwa Allah sedang menguji dia; ia hanya tahu bahwa Allah yang telah memberikan anak itu melalui membangkitkan dan menghidupkan fungsi-fungsi reproduksi dirinya dan istrinya yang sudah mati, sanggup membangkitkan anak itu kembali (Ibr. 11:17-19). Keenam, dalam kerendahan hati ia mengungkapkan ketaatannya – “kami akan sembahyang” (ay. 5). Itulah ucapan dari seorang yang ketaatannya menuntut ia untuk terluka. Ketujuh, tiba-tiba ketika tindakan ketaatan itu akan tiba di klimaksnya, narasi ini berubah menjadi slow motion – dari adegan mengambil kayu, membawa pisau, berjalan berdua saja dengan Ishak sang calon kurban, mengikat dan mengacungkan pisau – ketaatannya kepada Allah mutlak. Tidak ada lagi yang bisa menyela masuk antara ia dan Allah, bahkan tidak anaknya sendiri yang kekasih itu.

Namun kisah ini bukan semata mengandung moral cerita yang patut membuat kita kagum dan mengundang kita untuk meniru ketaatan serta kepercayaan Abraham. Dalam terang penderitaan Yesus (dan Bapa – ketika sang Putra harus dikurbankan di salib) kita menyadari bahwa kisah Abraham adalah sebuah tipologi, analogi, bahkan sesuatu yang sebenarnya sedang berproses dalam diri Allah sendiri yang menuju kegenapan puncak pada inkarnasi dan penderitaan Yesus. Betapa indah bahwa ketaatan Abraham boleh menjadi analogi, tipologi dari apa yang Allah sendiri akan lakukan dalam diri Yesus Kristus. Tidakkah sepanjang jalan menuju bukit itu Abraham berseru dalam hatinya: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Sesungguhnya bila dilihat dari perspektif kilas balik Golgota, narasi ini adalah tentang Abraham, Ishak, dan domba – yang semuanya melambangkan Kristus sendiri. Bila untuk Abraham, di momen terakhir ada domba pengganti yang membuat Ia tidak harus mengurbankan Ishak dan Ishak tidak harus dibantai, tidak demikian untuk Allah Bapa dan Yesus Kristus, sebab Yesus sendirilah yang harus menjadi anak Domba Allah yang menanggung dosa dunia ini – karena Allah begitu mengasihi dunia ini dan ingin agar kita hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar