Sabtu, 30 April 2011

Pesan Injil ke Seluruh Dunia Dalam Khotbah Pernikahan William & Kate

Below is the full transcript of Archbishop of Canterbury Rowan Williams during the wedding of Prince William and Kate Middleton:

"Be who God meant you to be and you will set the world on fire."
So said St Catherine of Siena whose festival day this is. Marriage is intended to be a way in which man and woman help each other to become what God meant each one to be, their deepest and truest selves.
Many are full of fear for the future of today's world but the message of the celebrations in this country and far beyond its shores is the right one – this is a joyful day! It is good that people in every continent are able to share in the celebrations because this is, as every wedding day should be, a day of hope.
In a sense every wedding is a royal wedding with the bride and groom as king and queen of creation, making a new life together so that life can flow through them to the future.
William and Catherine, you have chosen to be married in the sight of a generous God who so loved the world that he gave himself to us in the person of Jesus Christ.
In the Spirit of this generous God, husband and wife are to give themselves to one another.
Spiritual life grows as love finds its centre beyond ourselves. Faithful and committed relationships offer a door into the mystery of spiritual life in which we discover that the more we give of self, the richer we become in soul; the more we go beyond ourselves in love, the more we become our true selves and our spiritual beauty is more fully revealed. In marriage we are seeking to bring one another into fuller life.
It is of course hard to wean ourselves away from self-centredness. People can dream of such a thing but the hope will not be fulfilled without a solemn decision that, whatever the difficulties, we are committed to the way of generous love.
You have both made your decision today – "I will" – and by making this new relationship, you have aligned yourselves with what we believe is the way in which life is spiritually evolving, and which will lead to a creative future for the human race.
We stand looking forward to a century which is full of promise and full of peril. Human beings are confronting the question of how to use wisely the power which has been given to us through the discoveries of the last century. We shall not be converted to the promise of the future by more knowledge, but rather by an increase of loving wisdom and reverence, for life, for the earth and for one another.
Marriage should transform, as husband and wife make one another their work of art. This transformation is possible as long as we do not harbour ambitions to reform our partner. There must be no coercion if the Spirit is to flow; each must give the other space and freedom. Chaucer, the London poet, sums it up in a pithy phrase:
"Whan maistrie [mastery] comth, the God of Love anon,
Beteth his wynges, and farewell, he is gon."
As the reality of God has faded from so many lives in the West, there has been a corresponding inflation of expectations that personal relations alone will supply meaning and happiness in life. This is to load our partner with too great a burden. We are all incomplete: we all need the love which is secure, rather than oppressive, and mutual forgiveness, to thrive.
As we move towards our partner in love, following the example of Jesus Christ, the Holy Spirit is quickened within us and can increasingly fill our lives with light. This leads to a family life which offers the best conditions in which the next generation can practise and exchange those gifts which can overcome fear and division and incubate the coming world of the Spirit, whose fruits are love and joy and peace.
I pray that every one present and the many millions watching this ceremony and sharing in your joy today will do everything in their power to support and uphold you in your new life. I pray that God will bless you in the way of life you have chosen, a way which is expressed in the prayer that you have written together in preparation for this day:
God our Father, we thank you for our families; for the love that we share and for the joy of our marriage.
In the busyness of each day keep our eyes fixed on what is real and important in life and help us to be generous with our time and love and energy.
Strengthened by our union help us to serve and comfort those who suffer.
We ask this in the Spirit of Jesus Christ. Amen.

Saling Memikul Beban

Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.
Galatia 6:2

Bagian ini menjelaskan maksud nasihat Paulus agar kita berjalan dalam Roh (psl. 5). Hukum Kristus adalah saling memikul beban, menerima keterlibatan dengan segala akibat tidak enaknya dan memberi diri untuk menolong, mendukung, dan memulihkan. Allah lebih suka kita saling memikul beban daripada kita memikul beban orang lain dan Ia memikul beban kita. Cara kedua itu membuat kita terkucil, yang justru adalah akibat dari kejatuhan manusia; sedang pilihan terdahulu adalah jalan persekutuan Kristen.
            Persekutuan berarti berbagi beban juga berbagi manfaat; seumpama saling memikul koper berisi bahan material dan spiritual; dengan cara itu kita menemukan keringanan dan kekuatan. Lorong berbagian ini – berbagi masalah dan berbagi beban – adalah gambaran Kristus di dalam kehidupan kita sebab hal itu mencerminkan kasih-Nya yang telah membuat Ia memberi diri menjadi pengganti kita di salib untuk memikul hukuman dosa. Paulus meminta para pembacanya agar saling memikul beban sebagai para saudara dalam Kristus dan sebagai manusia rohani.
            Bersamaan dengan panggilan untuk saling memikul beban juga ada peringatan terhadap kesombongan (6:3). Dalam pelayanan penyuluhan dan pekerjaan penyelamatan orang lain selalu tergoda merasa diri lebih dari orang lain. Di sini kita dengar panggilan untuk lembut hati, sebab “hanya karena anugerah Allah, saya boleh ada seperti ini.”
            Pikulan yang tiap orang harus tanggung sendiri-sendiri (6:5) tidak berkait dengan saling memikul beban; yang dimaksud itu ialah tanggungjawab atas apa yang tiap orang tabur dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadi, setiap kita harus bijak untuk menguji pekerjaan masing-masing dan tidak berpikir bahwa sebagian orang lebih rendah daripada diri kita (6:4)! Ayat 6, ayat yang sangat menghibur para pengkhotbah, tidak terpisah dari tema keseluruhan dari Paulus ini. Bagaimana lagi harusnya bila fakta kekurangan yang dialami oleh para hamba Tuhan (memang begitu kenyataannya seringkali) jika tidak diatasi oleh peraturan saling memikul beban ini?

Apakah aku sedang memikul beban seseorang? Bagaimana aku melakukannya?

Terima kasih untuk mereka yang Engkau berikan kepadaku untuk menolongku dengan bebanku, khususnya…

Jumat, 29 April 2011

Saling Mendorong

Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.

Ibrani 10:24-25

Persekutuan saling berbagi hal yang telah kita terima dari Tuhan satu dengan lain adalah keperluan rohani, sebab Allah tidak menciptakan kita untuk cukup dalam diri sendiri. Hal ini sering digambarkan dengan arang dalam perapian. Satukan arang-arang dalam perapian, maka api akan menyala kuat. Keluarkan arang dari perapian, maka apinya segera akan padam. Demikian halnya dengan tubuh Kristus. Kita tidak diciptakan untuk menyendiri dan hidup cukup sendiri tetapi untuk bersama dalam saling kebergantungan.

            Persekutuan Kristen pun adalah kegiatan keluarga antar anak-anak Allah. Dalam keluarga yang baik, ada banyak sekali kegiatan bersama antara sesama saudara. Dalam keluarga Allah pun hal itu harus ada. Seperti halnya persekutuan antara Bapa dan Anak, persekutuan bersifat dua arah: Anda memberi dan Anda menerima. Demikian juga persekutuan Kristen berarti berusaha untuk berbagi dengan orang lain apa yang Allah telah nyatakan kepada Anda, sambil mengizinkan mereka berbagi dengan Anda apa yang mereka ketahui dari-Nya, sebagai cara untuk mendapatkan kekuatan, penyegaran, dan petunjuk bagi jiwa Anda sendiri.

            Kepada orang di Roma Paulus berkata, “Aku rindu bertemu kamu, supaya aku boleh membagikan karunia rohani untuk menguatkan kamu,” dan supaya tidak timbul kesan bahwa persekutuan hanya satu arah, dia menambahkan, “yaitu, supaya kita boleh saling dikuatkan oleh iman masing-masing, baik imanmu dan imanku” (Rm. 1:11-12). Mereka yang berkhotbah harus terbuka untuk menerima pelayanan apa saja yang datang kepada mereka dari orang yang kepadanya mereka telah berkhotbah. Sikap, “aku yang memberi, tetapi aku tidak perlu menerima;” telah menghancurkan pelayanan banyak pastor yang saya bisa hitung.

Adakah kesempatan dalam gereja Anda untuk para anggotanya saling berbagi penguatan melalui iman masing-masing?

Tuhan, tunjukkan bagaimana kami boleh saling mendorong kasih dan perbuatan baik sau kepada lain.

Membawa Terang Kristus

There is a power which drives us into far-away lands, to the strangest peoples. This same power drives us also here at home down into the darkest company, into the most degenerate areas of human life. It is our task to long for the Savior to enter those places. We must, if possible, carry this longing where it is darkest, where hope has almost been given up, where ruin and corruption stare back at us and take away our breath. Shall we lose courage? No! For we know that Jesus Christ says, "I give my life for the world."

Ada suatu kuasa yang mendorong kita pergi ke tempat-tempat terpencil, ke orang-orang terasing. Kuasa yang sama ini mendorong kita juga untuk pergi ke lingkungan kita sendiri di mana kawanan orang yang hidupnya amat gelap berkumpul, ke dalam wilayah hidup manusia yang paling mengalami kemerosotan. Tugas kita adalah merindukan agar sang Juruselamat masuk ke tempat-tempat demikian. Jika mungkin, kita harus membawa kerinduan itu ke tempat yang paling gelap, di mana pengharapan hampir-hampir lenyap, di mana kehancuran dan kecemaran menatap balik ke kita dan membuat kita kehilangan nafas. Akan hilang keberaniankah kita? Tidak! Sebab kita tahu bahwa Yesus Kristus berkata, "Aku telah memberikan hidupKu bagi dunia ini."

Christoph Blumhardt - "I Am With You"

Rabu, 27 April 2011

Tuhan Menyelesaikan Karya-Nya

"TUHAN akan menyelesaikannya bagiku! / The LORD will perfect that which concerneth me"
(Mazmur 138:8).


Ia yang sudah memulai akan melanjutkan karyaNya yang Ia kerjakan dalam jiwa saya. TUHAN memperhatikan semua hal yang menjadi perhatian saya. Semua yang sekarang ini baik, namun tidak sempurna, akan diperhatikan oleh TUHAN. Ia akan memelihara dan bekerja terus sampai rampung. Ini sungguh memberikan penghiburan besar. Saya tidak dapat menyelesaikan pekerjaan anugerah dengan usaha saya sendiri… Jika TUHAN meninggalkan saya, semua hal yang sudah saya alami menjadi tidak berarti, dan saya pasti akan binasa di tengah perjalanan hidup saya, tetapi TUHAN akan lanjut memberkati saya. Ia akan menyempurnakan iman saya, kasih saya, karakter saya, karya hidup saya. Ia akan melakukan ini sebab Ia telah memulai karyaNya dalam saya. Ia yang memberikan berbagai perhatian dan concern yang saya rasakan, dan Ia dalam ukuranNya, yang akan memenuhi kerinduan baik saya. Ia tidak akan meninggalkan karyaNya tanpa menyelesaikanNya; itu bukan ciri yang sepadan kemuliaanNya, juga tidak serasi diriNya. Ia tahu bagaimana mencapai maksud-maksudNya. Ia tahu bagaimana merampungkan rencana muliaNya, dan meski (kedagingan) saya sendiri, juga dunia dan iblis akan berusaha untuk menjegal pekerjaanNya, saya tidak perlu meragukan janji-Nya. Ia akan menyempurnakan semua yang Ia inginkan dalam saya, dan saya akan memuji Ia selamanya. TUHAN, kiranya karyaMu yang mulia makin maju sepanjang hari ini!

Minggu, 24 April 2011

Kuasa untuk Bangkit

" TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, "
(Mazmur l46:8).

Apakah saya tertunduk? Jika demikian kiranya saya mengajukan perkataan anugerah ini ke hadapan TUHAN. Adalah jalanNya, kebiasaanNya, janjiNya, kesukaanNya, untuk membangkitkan mereka yang tertunduk. Apakah itu disebabkan oleh perasaan berdosa dan akibat tindihan roh yang menekan saya? Maka karya Yesus dalam hal ini ialah, membuat dan menyediakan agar saya bangkit dan memasuki perhentian. O TUHAN tegakkan aku, demi kemurahanMu!

Atau itu disebabkan oleh keduka-citaan atau oleh kejatuhan serius dalam situasi tertentu? Kembali sang Penghibur memberikan penghiburanNya. Alangkah besar kemurahanNya untuk kita bahwa satu Pribadi dari Tritunggal kudus menjadi Penghibur! KaryaNya pasti akan berhasil sebab Ia sendiri dalam kemuliaanNya melakukan pemeliharaanNya yang khusus dan nyata.

Sebagian orang tertunduk dan hanya Yesus dapat melepaskan dari kelemahan mereka, namun Ia pasti dapat dan Ia akan melakukan itu. Ia dapat membangkitkan memberikan kesehatan, pengharapan, kebahagiaan. Telah terbukti Ia berulang-ulang melakukan itu baik dalam masa hidup pelayananNya di bumi atau semasa Ia sendiri ditekan oleh berbagai ujian dan untuk tak terbilang banyaknya para pengikutNya sepanjang sejarah; dan sampai kini Ia masih Juruselamat yang sama dengan kuasa dan kemurahan yang tidak pernah berubah. Kita yang kini sedang tertunduk, berduka, lemah tubuh dan roh, akan ditegakkan-ditinggikan, dan mereka yang kini menghina-mengejek akan mengalami aib besar. Betapa besar kehormatan boleh ditegakkan oleh TUHAN! Mari kita menundukkan-merendahkan diri agar boleh ditegakkan oleh

Sabtu, 23 April 2011

Tidak Takut Kematian

"Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua."
(Wahyu 2:11).

Kematian pertama harus kita tanggung kecuali TUHAN datang tiba-tiba ke BaitNya. Untuk itu mari kita tetap siaga, menanti kematian tanpa takut, sebab Yesus telah mengubahnya dari gua suram menjadi lorong menuju kemuliaan.

Hal yang harus ditakuti bukan kematian pertama tetapi kematian kedua, bukan perpisahan jiwa dari tubuh tetapi perpisahan final manusia seutuhnya dari Allah. Ini benar-benar kematian. Kematian ini membunuh semua kedamaian, kesukaan, kebahagiaan, pengharapan. Ketika Allah pergi, semuanya lenyap. Kematian sedemikian jauh lebih parah daripada kehilangan keberadaan: sebab ia adalah keberadaan tanpa hidup sehingga keberadaan tidak layak dimiliki.

Jika dengan anugerah Allah kita berperang sampai ke akhir dan memenangi perang yang mulia, tidak ada kematian kedua dapat menyentuhkan jari dinginnya ke atas kita. Kita akan tidak takut kematian dan neraka, sebab kita akan menerima mahkota kehidupan yang tak akan layu. Betapa ini menggetarkan syaraf kita untuk berperang dengan berani! Hidup kekal layak kita juangkan dalam perang kehidupan ini. Menghindari kepedihan kematian kedua adalah hal yang patut diperjuangkan sepanjang masa kehidupan ini.

TUHAN, berikan kami iman sedemikian sampai kami boleh menang, dan berikan kami anugerah untuk terpelihara dari pagutan dosa dan Iblis!

Jumat, 22 April 2011

Bagaimana Mungkin, Salib adalah Kemuliaan Allah?

Di sinilah, lebih atau kurang, rangkaian penuh penggambaran tentang Penderitaan oleh Yohanes. Benih gandum harus jatuh ke tanah dan mati. Inilah “saat” yang telah Yesus nantikan: kematian-Nya tidak akan menjadi suatu kecelakaan menyedihkan yang mempersingkat karir yang menjanjikan, tetapi merupakan puncak dan tujuan dari seluruh karya-Nya. Dalam tindakan itu Allah akan mempermuliakan nama-Nya. Dan, dengan “ditinggikan” – dalam artian dimuliakan, disalibkan itu – Yesus akan menarik semua orang kepada-Nya. Bagaimana tidak mungkin, jika sungguh salib adalah penyataan sejati Allah yang sejati, dan jika yang kita lihat dalam penyataan itu adalah wajah kasih?
            Jadi: “tanda” menunjuk ke penciptaan baru melalui salib; “peninggian” Yesus menekankan bahwa salib sendiri adalah saat kemuliaan, saat ketika kasih yang berdaulat berjumpa dunia dalam derita dan meraih derita itu kepada diri-Nya. Ini menyiapkan kita untuk tema ketiga, yang mempersatukan semuanya.
            Anehnya, salah satu dari sedikit kisah yang Yohanes ceritakan bersama injil-injil lain, ia tempatkan dekat bagian awal sementara para penulis lain menempatkannya menjelang akhir (2:13-22). Yesus datang ke Bait di Yerusalem dan mengusir para pedagang dengan cambuk tali. Orang-orang Yudea bertanya: “Tanda apa yang dapat Kau buat untuk menyatakan hak-Mu melakukan ini?” dan Yesus menjawab: “Hancurkan Bait ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunkannya kembali.” Mereka salah mengerti Dia, tetapi Yohanes menjelaskan bahwa Ia sedang bicara tentang Bait tubuh-Nya.
            Kita perlu ingat bahwa untuk orang Yahudi, Bait adalah tempat di mana Allah Esa sejati berjanji untuk menjadikannya rumah-Nya. Bait adalah tempat di mana surga dan bumi dipertemukan. Ia adalah tempat untuk Anda berjumpa Allah. Ia adalah tempat kurban, penyelamatan, tempat di mana Anda pergi ke perayaan-perayaan sebab Anda pergi untuk merayakan kehadiran dan kasih Allah.
            Secara tetap Yohanes berkata dan menyiratkan bahwa Yesus berpikir dan bertindak seolah Ia semacam pengganti untuk Bait. Ketika Ia pergi ke perayaan, Ia menarik arti perayaan itu ke diri-Nya sendiri. Itu Ia lakukan dengan Bait di pasal 7. Ia lakukan itu juga dengan Hanukkah di pasal 10. dan puncaknya, Ia lakukan itu dengan Paskah, sebanyak tiga kali di pasal 2, pasal 6, dan kemudian pasal 12-19, dengan akhirnya mati sebagai Domba Paskah, Dialah Domba Allah yang mengangkut dosa dunia. Ia adalah kurban, dan Ia adalah Bait, seperti halnya dalam pasal 17 Ia adalah imam besar agung yang menguduskan diri-Nya agar umat-Nya boleh dipersembahkan ke hadapan Allah dan bahkan dipersatukan dengan Allah dalam relasi yang intim, mengasihi dan kekeluargaan.
            Tema ini pun, sudah ada sejak di awal sekali, di pendahuluan. Dalam sebagian tulisan Yahudi, Hikmat Allah dipersonifikasi sebagai pembantu pencipta, sebagai penolong-Nya dalam semua yang Ia buat. Hikmat mencari tempat di antara manusia di mana ia bisa tinggal; dan ia memilih Bait di Yerusalem. Allah sang pencipta yang bijak datang untuk diam bersama umat-Nya; Ia mendirikan tendaNya, “kemah”-Nya bersama mereka. Dan kata untuk “kemah sembahyang” atau “tenda” adalah kata yang Yohanes pakai ketika ia berkata, “Firman telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita” (1:14). Firman ungkapan diri kekal Allah, Ia yang melalui-Nya dunia diciptakan, mendirikan tenda-Nya di tengah kita. Hanya, Ia bukan mengambil tempat dalam sebuah bangunan, dalam Bait di Yerusalem, tetapi mengambil tempat dalam seorang manusia. Kita tidak lagi perlu ke Yerusalem, “untuk memandang keindahan Tuhan, dan mencari Dia dalam bait-Nya” (Mazmur 27:4). Semua yang pemzmur katakan tentang Bait terpenuhi menjadi nyata dalam Yesus. Kita telah melihat kemuliaan-Nya, kemuliaan dari Anak tunggal Bapa. Tanda-tanda menunjuk kepada tindakan agung salib, dan menjelaskan signifikansinya. “Peninggian” atau pemuliaan Yesus, menekankan bahwa penyaliban adalah penyataan agung dari kemuliaan Allah, yaitu Allah yang kasih-Nya menyelamatkan dan menyembuhkan. Kini kita mengerti mengapa kedua hal itu benar. Dia yang disalib adalah Allah yang sejati dan hidup itu.
            Tetapi bagimana dapat Allah yang hidup menjadi seorang manusia? Bagaimana menerimanya sebagai hal yang masuk akal? Hal itu dapat diterima akal justru dalam rangka kisah penciptaan yang dibangkitkan oleh Yohanes dengan kata-kata pertama dalam injilnya. Puncak dari penciptaan dalam Kejadian adalah penciptaan manusia dalam gambar dan rupa Allah – yaitu karya agung di hari ke enam, yang menyempurnakan seluruh penciptaan. Puncak dalam pendahuluan Yohanes ialah inkarnasi Firman. Manusia diciptakan untuk mencerminkan Allah, sehingga pada suatu hari Allah dapat setepatnya menjadi manusia. Dan kalau kita masih kurang menangkap, menjelang akhir, ketika Yesus diadili di depan Pilatus, Yohanes memiliki pemandangan tak terlupakan. Pilatus menyuruh orang mencambuk-Nya, dan mengenakan jubah ungu dengan mahkota dari duri di kepala-Nya. Ia membawa-Nya keluar ke depan orang banyak, dan berkata, “Lihatlah – manusia itu!” Dan dengan itu pembaca Yohanes pun mengerti. Inilah sang manusia sejati, manusia sesungguhnya, Ia yang dimahkotai dengan duri, yang sejatinya mencerminkan gambar dari sang pencipta yang mengasihi sebab Ia adalah gambar dari sang pencipta yang mengasihi itu – sang Hikmat Allah, Firman Allah, ungkapan diri kreatif dari Allah. Firman telah menjadi manusia, dan telah dimahkotai sebagai raja di tengah kita; kita telah melihat kemuliaan-Nya, kemuliaan sebagai seorang manusia, sebagai sosok yang berdarah, yang diberikan Bapa untuk menyelamatkan dunia.

Dari Buku Mengikut Yesus oleh N. T. Wright - Info Pemesanan: Email ke waskitapublishing@gmail.com atau sms / call ke: 0812-270-24-870.

Kamis, 21 April 2011

Membayangkan Kurban Kristus

Tidak ada kisah Perjanjian Lama lain yang lebih mengagetkan dan berdampak amat dalam dibanding kisah Abraham diminta Allah untuk mengorbankan Ishak. Terkesan biadab untuk kita, namun perintah Allah itu direspons Abraham sedemikian rupa sampai seluruh kisah ini bicara tentang kasih dan pengorbanan, percaya dan taat, bingung dan setia, memberi dan menerima, kesetiaan dan pahala.

            Dua kata kunci dalam kisah ini ialah ‘mencoba/menguji’ (Kej. 22:1) dan ‘takut’ (ay. 12). Kisah ini mengundang kita untuk selalu percaya dan taat kepada Allah, apa pun bentuk ujian yang Ia berikan sebab Ia pasti terbukti sebagai Allah yang layak dipercaya.

            Allah menguji dalam rangka mengetahui semurni apakah iman Abraham melalui kesediaannya untuk menaati Dia; sungguhkah ia hidup “di hadapan-Nya dengan tidak bercela” (17:1) – hal yang YHWH harapkan dari Abraham. Nama Allah perjanjian (YHWH) dalam kisah ini tidak disebutkan di awal sampai ayat 11; ketika Ia datang untuk memberi ujian iman itu ayat 1 memakai nama Elohim, dengan maksud menekankan bahwa yang bicara adalah pencipta yang berdaulat. Baru sesudah terbukti bahwa iman Abraham memang sepenuhnya menaati Allah, Ia datang sebagai Allah perjanjian, YHWH, yang mencegah Abraham dari mengurbankan Ishak dan yang menyediakan domba pengganti untuk dikurbankan (ay. 11).

            Dari sudut pandang Abraham, ujian itu riil. Ketika alur peristiwa itu ia jalani, ia sama sekali tidak menyadari bahwa Allah sedang mengujinya. Ketika membaca kisah ini kita harus hati-hati agar tidak membaca dengan pikiran telah di-fast forward ke akhir kisah. Kita perlu membayangkan kegentaran, kebingungan, barangkali juga kegoncangan hati Abraham menjalani perintah itu. Untuk memastikan bahwa yang dimaksud adalah sang anak perjanjian, Allah membuat perintah itu spesifik bahwa Ishak yang harus dikurbankan, bukan Ismael (ay. 2). Dampak perintah itu kira-kira seperti orang menyetir mobil sudah di gigi 4 tiba-tiba diperintahkan untuk pindah ke gigi mundur – seluruh perjalanan sejak 11:30 seolah saat itu akan berantakan. Lebih berat lagi ia tidak saja diminta untuk mengurbankan anaknya – anak perjanjian Allah sendiri itu – tetapi ia sendiri yang diminta untuk melakukan itu.

            Ketaatan Abraham dipaparkan melalui beberapa hal. Pertama, pagi-pagi benar ia langsung mengungkapkan ketaatannya dalam tindakan. Ia tidak menunda responsnya atau berharap bahwa Allah akan berubah pikiran. Ia tidak memberi kesempatan untuk keraguan atau pencobaan untuk meragukan kedaulatan atau kebijakan Tuhan. Kedua, ketaatannya dilakukan dengan perhitungan detail. Semua yang dibutuhkan untuk melakukan misi kurban itu – kayu, keledai, tali pengikat – semua dibawanya. Ketiga, ketaatannya penuh dan teguh. Perjalanan sejauh tujuh puluh kilometer itu harus ditempuh selama tiga hari. Perjalanan yang lama itu adalah perjuangan untuk kebulatan tekad dan kesetiaan sampai akhir – namun pergumulan itu tidak terlihat dalam narasi Kejadian 22. Narasi itu dengan cepat melukiskan ia sudah melalui perjalanan tiga hari itu. Sungguh luar biasa! Keempat, meski ia berjalan bersama Ishak dan para pelayannya, narasi melukiskan perjalanan itu sebagai perjalanan sepi yang ditempuh Abraham dalam kesendirian jiwanya. Bayangkan seorang ayah menjalani suatu perjalanan untuk mengurbankan putra yang baru didapatnya sesudah ia berusia 90 tahun. Kelima, ketika Ishak bertanya dimanakah domba yang akan dikurbankan, secara ajaib Abraham menjawab sesuatu yang paradoksal yang hanya iman dapat mengatakannya. Ia tidak tahu bahwa Allah sedang menguji dia; ia hanya tahu bahwa Allah yang telah memberikan anak itu melalui membangkitkan dan menghidupkan fungsi-fungsi reproduksi dirinya dan istrinya yang sudah mati, sanggup membangkitkan anak itu kembali (Ibr. 11:17-19). Keenam, dalam kerendahan hati ia mengungkapkan ketaatannya – “kami akan sembahyang” (ay. 5). Itulah ucapan dari seorang yang ketaatannya menuntut ia untuk terluka. Ketujuh, tiba-tiba ketika tindakan ketaatan itu akan tiba di klimaksnya, narasi ini berubah menjadi slow motion – dari adegan mengambil kayu, membawa pisau, berjalan berdua saja dengan Ishak sang calon kurban, mengikat dan mengacungkan pisau – ketaatannya kepada Allah mutlak. Tidak ada lagi yang bisa menyela masuk antara ia dan Allah, bahkan tidak anaknya sendiri yang kekasih itu.

Namun kisah ini bukan semata mengandung moral cerita yang patut membuat kita kagum dan mengundang kita untuk meniru ketaatan serta kepercayaan Abraham. Dalam terang penderitaan Yesus (dan Bapa – ketika sang Putra harus dikurbankan di salib) kita menyadari bahwa kisah Abraham adalah sebuah tipologi, analogi, bahkan sesuatu yang sebenarnya sedang berproses dalam diri Allah sendiri yang menuju kegenapan puncak pada inkarnasi dan penderitaan Yesus. Betapa indah bahwa ketaatan Abraham boleh menjadi analogi, tipologi dari apa yang Allah sendiri akan lakukan dalam diri Yesus Kristus. Tidakkah sepanjang jalan menuju bukit itu Abraham berseru dalam hatinya: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Sesungguhnya bila dilihat dari perspektif kilas balik Golgota, narasi ini adalah tentang Abraham, Ishak, dan domba – yang semuanya melambangkan Kristus sendiri. Bila untuk Abraham, di momen terakhir ada domba pengganti yang membuat Ia tidak harus mengurbankan Ishak dan Ishak tidak harus dibantai, tidak demikian untuk Allah Bapa dan Yesus Kristus, sebab Yesus sendirilah yang harus menjadi anak Domba Allah yang menanggung dosa dunia ini – karena Allah begitu mengasihi dunia ini dan ingin agar kita hidup.

Jumat, 15 April 2011

Ke Yerusalem

Ujian apakah suatu ziarah murni atau tidak ialah pertanyaan, apakah Anda bersedia menerima Allah untuk membentuk Anda ulang, yang dengan penuh kasih akan memecah diri “Anda” yang rapuh yang sedemikian hati-hati telah Anda bangun, lalu membuat dari Anda sesuatu yang ada di pikiran-Nya, yang mungkin berbeda dari yang Anda inginkan atau harapkan. Yerusalem adalah lambang pengharapan besar dari Allah, yang boleh jadi tidak serasi dengan pengharapan Anda sendiri. Satu-satunya cara tepat berziarah ke Yerusalem ialah dengan pergi seperti Abraham, tanpa mengetahui ke mana Anda pergi, atau dengan siapa Anda akan bertemu ketika tiba di sana; untuk menunda kepercayaan yang menempel dan gelisah juga ketidakpercayaan yang skeptis, dan semata untuk terbuka, untuk diam dalam keheningan menanti Allah yang unik yang masih datang kepada mereka yang menanti dalam kesunyian. Jalan ke Yerusalem mewakili perjalanan yang sangat mengundang, namun sangat menakutkan, ke hadirat Allah Esa sejati, di mana segala sesuatu diketahui, dan segala sesuatu tidak diketahui, di mana segalanya dipertanyakan dan segalanya dijanjikan. Dan entah kita sungguh atau tidak melakukan ziarah secara geografis ke Yerusalem, kita semua diundang untuk berziarah.

            Semua kita dipanggil dan diajak untuk ikut berziarah untuk menemui Allah yang hidup. O ya, sangat mudah menjadi turis Kristen, menikmati musik, mengucapkan sebuah doa singkat, dan kemudian melangkah bebas untuk mendapatkan secangkir kopi, sebelum pertanyaan-pertanyaan serius dilontarkan, sebelum tuntutan dinyatakan, sebelum salib menjadi nyata di tengah kabut. Semua orang Kristen, semua institusi Kristen, semua gereja, semua katedral, melalui lingkar-lingkar penemuan akan Allah, memuja Allah, membakukan Allah, mengotakkan Allah, menyangkali Allah, dan lalu, menyenangkan Allah, menemukan ulang Allah. Institusi Kristen terbesar adalah mereka yang seperti para pemahat, ingat untuk sengaja meninggalkan pahatannya dalam keadaan belum selesai agar luput dari kesombongan, bahwa Allah tidak dapat ditampung atau dipenjara, dan akan selalu menerobos ke tempat lain dan melakukan hal-hal yang diluar harapan kita. Dengan bahasa metafora, institusi Kristen terbesar menyimpan beberapa ekor ayam untuk berkokok pada saat yang tidak kita inginkan, untuk mengingatkan kita tentang bahaya yang selalu terpendam untuk membentuk Allah dalam gambar kita sendiri. Merupakan bagian ziarah Kristen bahwa kita diingatkan tentang keadaan kita yang debu adanya, dan akan kembali ke debu. Dan mereka yang sungguh belajar berziarah akan belajar mendengarkan baik dalam Alkitab maupun sakramen, dalam diam dan derita, suara Dia yang sedemikian mengasihi mereka melebihi kedalaman kasih mereka kepada diri mereka sendiri, dan yang karenanya harus menanyakan kita pertanyaan yang tidak berani kita hadapi, dan menanyakan dari kita hal yang kita cenderung enggan menjawab.

            Datanglah ke Allah dengan pengharapan Anda, besar atau kecil, lemah atau penuh semangat. Datanglah ke Dia yang merupakan objek sejati dari semua hasrat dan kerinduan kita, dan yang karenanya harus dengan tegas namun lembut menantang semua kasih dan pengharapan yang lebih rendah. Datanglah seperti Abraham, tanpa mengetahui ke mana Anda sedang menuju, tetapi dengan memercayai Ia yang memimpin Anda. Ambillah salib Anda, dan datanglah ke tempat yang masih terasa hangat oleh kehadiran Yesus, ke tempat di mana roti hangat dan anggur manis masih menyuarakan ziarah dan derita-Nya, dan meriahkanlah paduan suara yang tiap hari dikumandangkan dengan suara Anda, bahasa Anda, aksen Anda. Datanglah ke Yerusalem baru, sebab Anda sudah menjadi warganya, ke tempat di mana Allah sendiri akan diam dengan umat-Nya, dan Ia sendiri akan menghapus semua air mata dari setiap mata. Datanglah ke kota di mana ayam berkokok, bukan lagi untuk menuduh ketidaksetiaan yang terjadi di malam itu, tetapi untuk menyambut hari baru, dan anak-anak hari baru itu. Kota itu, yang tidak dikenal namun terkenal, adalah tujuan dari ziarah kita; dan doa kita kini dan derita kita kini, puasa masa Lenten kita dan ziarah bumiah kita, adalah jalan-jalan menujunya dan metafora tentangnya. Kita akan pergi ke Yerusalem; dan Anak Manusia akan datang dengan para malaikat-Nya dalam kemuliaan Bapa. Semua akan menjadi nyata, semua akan disembuhkan, semua akan diampuni.

Sepuluh Hukum

Lalu Allah mengucapkan segala firman ini:  "Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku…  Jangan mengingini rumah sesamamu;…atau apapun yang dipunyai sesamamu."
                                                                                               Keluaran 20:1-3, 17


 
Janganlah kita seperti orang Farisi, yang mengetahui isi Sepuluh Hukum namun tidak sungguh menangkap maksudnya.
            Allah memberi perintah ini kepada Israel dalam sifat-Nya sebagai Yahweh, Allah dan Penebus mereka. Kesetiaan kepada Allah mereka dan ungkapan syukur atas karya anugerah-Nya harus menjadi motif bagi ketaatan mereka. Hukum diberikan kepada mereka bukan agar mereka berusaha mendapatkan perkenan dan penerimaan-Nya (yang sudah mereka terima) melainkan untuk membimbing mereka dalam menghidupi kehidupan yang menyukakan Dia dan membawa mereka ke kepenuhan berkat-Nya.
            Meski sembilan perintah berbentuk pernyataan negatif, di dalamnya tersirat prinsip positif: yaitu, berikan kesetiaan total Anda kepada Allah; dalam segala perlakuan dengan-Nya, pikirkan Dia saja sebagaimana Ia telah menyatakan diri-Nya dan bukan dalam pengertian lain; selalu menghormati; pakai hari istirahat mingguan Anda untuk menyembah Penciptamu dan Penebusmu serta tolonglah orang lain; hormati dan kasihi sesamamu dan usahakan kesejahteraan mereka; hormati kekudusan janji nikah dan integritas lawan jenis; hormati kemilikan; berlakulah benar dan jujur; puaslah akan apa yang Allah berikan kepadamu.
            Meski dinyatakan dalam ungkapan tindakan yang kelihatan, perintah itu menyentuh hati, memanggil kita untuk berhasrat dan bersikap benar.
            Perintah-perintah itu diberikan sebagai tuntutan perjanjian Allah atas Israel, tetapi prinsip yang mewujud di dalamnya berpulang ke penciptaan. Yang mereka tunjukkan ialah kenyataan hidup yang ideal, bukan saja bagi umat Israel tetapi juga bagi semua manusia.

Jika Sepuluh Hukum bersifat positif, mengapa mereka dipaparkan dalam kalimat negatif?
Tuhan, saya kembali memohon tentang ketaatan dalam hal berikut…

Kamis, 14 April 2011

If we are not active as part of a whole, working toward a higher goal, we will deteriorate inwardly and outwardly. Only if our hearts are in a task greater than ourselves will we thrive in earthly matters too. Society will deteriorate, physically and spiritually, unless each of its members has a task to fulfill for the sake of the common good, and for creation – for God.
Blumhardt

Bapa Kami di Surga, dikuduskanlah NamaMu


Inilah sifat sejati Kekristenan: yaitu merayakan kemenangan Allah yang menentukan, dalam Yesus Kristus, atas Firaun dan Laut Merah, atas dosa dan kematian – dan menyongsong, sambil berjuang untuk merindukan dan berdoa bagi implementasi penuh dari kemenangan menentukan itu. Setiap Ekaristi justru menangkap ketegangan ini: “Setiap kali kamu memecahkan roti dan meminum dari cawan, kamu memberitakan, kamu menyatakan kematian Tuhan – sampai Ia datang (1 Korintus 11:26). Ke meja Perjamuan kita datang untuk makanan kita yang sehari-hari, dan yang surgawi; kita datang untuk pengampunan kita sehari-hari, dan akhir nanti; kita datang untuk pelepasan kita tiap hari, dan akhir kelak; kita datang untuk merayakan kerajaan Allah kini, dan berdoa untuk kedatangan-Nya segera. Itulah yang kita maksudkan ketika menyebut Allah “Bapa.”
            Dan sebagaimana kita lakukan ini, sambil kita berdoa Doa Bapa Kami ini dalam pengertian tadi, kita mulai menemukan pola sejati spiritualitas Kristen, tentang jalan Kristen yang menembus masuk ke dalam misteri, tentang keberanian untuk masuk ke awan ketidaktahuan. Ketika kita memanggil Allah “Bapa,” kita dipanggil untuk melangkah keluar, bagaikan seorang anak yang magang, ke dalam dunia penderitaan dan kegelapan. Kita akan menemukan kegelapan itu di sekeliling kita; itu akan membuat kita gentar, justru karena ia mengingatkan kita tentang kegelapan yang ada dalam diri kita sendiri. Pencobaannya ialah untuk memadamkan berita itu, untuk mengenyahkan derita dunia, untuk menciptakan suatu dunia tanpa penderitaan untuk diri kita sendiri. Sebagian besar dari kebudayaan kita dirancang justru untuk melakukan itu. Tidak heran orang sukar berdoa. Tetapi, jika sebagai umat dari Allah yang hidup, kita merespons panggilan untuk menjadi anak-anak-Nya; jika kita mengambil risiko menyebut Dia Bapa; maka kita dipanggil untuk menjadi umat yang melalui kita penderitaan dunia ini dibawa ke dalam terang kasih Allah yang menyembuhkan. Lalu kita menemukan diri kita ingin berdoa, butuh berdoa, doa ini. Bapa, Bapa kami, Bapa kami yang di Surga, dikuduskanlah Nama-Mu. Yaitu, kiranya Engkau disembah oleh seluruh makhluk; kiranya seluruh kosmos menaikkan pujian bagi-Mu; kiranya seluruh dunia dibebaskan dari ketidakadilan, perusakan, dosa, dan kematian, dan kiranya Nama-Mu dikuduskan. Dan sementara kita berdiri di dalam kehadiran Allah yang hidup, dengan penderitaan dan kesakitan dunia di hati kita, kita berdoa agar Ia menggenapi janji-janji-Nya sejak dulu, dan mewujudnyatakan kemenangan Kalvari dan Paskah untuk seluruh kosmos – maka kita boleh menemukan bahwa penderitaan kita sendiri, kegelapan kita sendiri, pun diurus-Nya pula.
            Saya berani mengatakan bahwa ini adalah pola spiritualitas Kristen. Spiritualitas Kristen bukan pengejaran kemajuan spiritual pribadi. Bukan melarikan diri ke sendirian. Juga bukan sekadar berteriak ke kehampaan, atau sekadar menyadari perasaan-perasaan terdalam kita, meski terkadang ia mungkin terkesan mencakup berbagai hal tersebut. Melainkan, ia adalah irama memasuki kehadiran derita dunia, dan bertelut di hadapan sang pencipta dunia; membawa kedua hal itu bersama dalam Nama Yesus dan oleh kemenangan salib; hidup dalam ketegangan Adven ganda (kedatangan-Nya pertama dan kedatangan-Nya kedua), dan memanggil Allah, “Bapa.”
            Yesus mengambil risiko menyebut Allah secara tidak lazim. Dalam injil Yohanes, salah satu cara teratur Ia bicara tentang Allah adalah “Bapa yang telah mengutus Aku.” Ia ingin orang menemukan seperti apakah Bapa sesungguhnya dengan melihat apa yang Ia, Yesus buat. Ketika kita menyebut Allah “Bapa,” kita juga membuat suatu klaim gila, mengherankan, penuh risiko. Misi gereja terkandung dalam kata itu; kegagalan gereja disoroti oleh kata itu. Tetapi kegagalan itu pun, diurus dalam doa itu, dan di salib. Tugas kita ialah bertumbuh ke Bapa Kami, untuk berani meniru Kakak kita, sambil kita mencari makanan kita tiap hari dan pengampunan kita setiap hari; untuk mengenakan pakaian-Nya, berjalan dalam kasut-Nya, berpesta di meja-Nya, menangis bersama-Nya di taman, berbagi penderitaan-Nya, dan mengenal kemenangan-Nya. Sementara Juruselamat kita Yesus Kristus melalui kehidupan dan kematian-Nya bahkan lebih dari melalui firman-Nya, telah memerintahkan dan mengajarkan kita, agar kita berani, sangat berani – bahkan sementara orang menganggap gila, –  menyeru “Bapa Kami.”

Rabu, 13 April 2011

Doa


It matters little what form of prayer we adopt or how many words we use, what matters is the faith which lays hold on God and touches the heart of the Father who knew us long before we came to Him. Genuine prayer is never "good works", an exercise or a pious attitude, but it is always the prayer of a child to a Father.

Tidak penting bagaimana bentuk doa kita atau berapa banyak kata yang kita gunakan, yang penting ialah iman yang berpegang pada Allah dan yang menyentuh hati Bapa yang mengenal kita jauh hari sebelum kita datang kepada-Nya. Doa yang sejati tidak pernah merupakan "perbuatan baik", semacam latihan menunjukkan sikap saleh, tetapi selalu adalah doa anak kepada Bapanya.

Dietrich Bonhoeffer
The Cost of Discipleship

Selasa, 12 April 2011

Yesus Kristus, Pemenang Sejati

Christ- past, present future by Victor Bregeda

The only conqueror in the world is Jesus Christ. For Him we must make room. In Him we must live and move and have our being. For Him we must fight by repentance and contrition for our own nature, by sacrificing what is our own, even the best that is in us. When we surrender ourselves body and soul, not keeping anything of our own nature—that is what will help toward His victory. He is the true victor! Thank God, we know this. The kingdom of God is in His hands.

Satu-satunya penakluk dalam dunia ini adalah Yesus Kristus. Bagi-Nya kita harus menyediakan tempat. Dalam Dia kita harus hidup, bergerak dan berada. Bagi-Nya kita harus berperang melalui pertobatan dan penyesalan karena sifat kita, dengan mengorbankan apa yang menjadi milik kita, bahkan yang terbaik di dalam kita. Bila kita menyerahkan diri kita - tubuh dan jiwa, tidak mempertahankan apa pun untuk sifat kita sendiri - inilah yang akan menolong kita maju ke kemenangan-Nya. Ia adalah pemenang sejati! Puji Tuhan, kita tahu ini. Kerajaan Allah ada dalam genggaman-Nya.

Christoph Blumhardt
Blumhardt Calendar

Senin, 11 April 2011

Kasih Kristus menguatkan kita

One thing, and one only, carries men through all that is difficult—the love of Christ, which urges and gives strength. It is not our love to Christ and perhaps not even Christ’s love to us personally, but His love to poor, ruined sinners such as we are. Much water will not extinguish this love; the floods will not drown it. Pray that this love may rule our lives!

Satu hal, ya hanya satu hal membawa manusia melalui semua hal sulit - kasih Kristus, yang mendorong dan memberikan kekuatan. Bukan kasih kita kepada Kristus dan bahkan mungkin juga bukan kasih Kristus kepada kita secara pribadi, tetapi kasih-Nya kepada yang papa, para pendosa bobrok seperti kita. Curahan air tidak sanggup memadamkan kasih ini; air bah tidak akan menenggelamkannya. Berdoalah agar kasih ini boleh mengendalikan hidup kita!

Hudson Taylor

Berkobar oleh Kasih Allah

"In order to be set aflame by God’s love, you must long for God.
If you cannot yet feel this longing, then long for the longing."

"Agar berkobar oleh kasih Allah, Anda harus merindukan Allah.
Jika Anda belum dapat merasakan kerinduan ini,
rindukanlah kerinduan tersebut."

Meister Eckhart

Minggu, 03 April 2011

Rasa Takut yang Kudus Terhadap Allah

KRISTUS,
Anak-Ku, bila engkau ingin maju dalam perjalananmu ke Surga, peliharalah dalam hatimu suatu perasaan takut yang kudus terhadap Penghakiman Ilahi. Sudah sepantasnya bila engkau takut untuk menyakiti dirimu sendiri. Bila engkau memasukkan dosa ke dalam kehidupanmu, engkau menjadikan dirimu sasaran penghakiman-Ku. Aku, Kebenaran Kekal, tidak dapat menerima engkau sebagai orang baik, bila engkau menjadi buruk karena dosa. Maka karenanya, kendalikanlah keinginan duniawimu, dan janganlah engkau menyerah kepada kesenangan yang tidak berguna dan berbahaya. Perasaan takut yang kudus terhadap penghakiman-Ku ini akan membebaskanmu dari daya tarik kesenangan-kesenangan duniawi.
            2. Tidaklah bijaksana bila engkau hanya memikirkan kesenangan dan melupakan kebutuhan jiwamu. Adalah baik dan pantas bagimu untuk takut kehilangan anugerah-Ku. Tanpa anugerah engkau tidak pernah dapat mencapai kehidupan sempurna dan kebahagiaan surgawi.
            3. Bila kasihmu terhadap-Ku belum cukup untuk menahanmu dari berbuat dosa, biarlah perasan takutmu untuk neraka menahanmu berdosa. Orang yang tidak memiliki perasaan takut yang bijaksana dan kudus ini tidak dapat bertahan lama dalam berbuat baik. Cepat atau lambat ia akan masuk kembali ke dalam perangkap setan, karena kurang hati-hati menghindari pencobaan. Perasaan takut ini bersifat kudus karena Akulah yang memberinya. Ia membuat orang menjadi kuat dalam peperangannya sehari-hari melawan hasrat  yang tidak rasional dan yang egois.
           4. Juga orang-orang kudus, dengan seluruh kepercayaan yang mereka letakkan kepada-Ku, mempunyai perasaan takut yang kudus terhadap penghakiman Ilahi ini. Mereka tidak menjadi kurang berhati-hati, atau kurang rendah hati, karena mereka memiliki kebajikan dan kebaikan yang besar.

RENUNGKAN,
Bila kasihku kepada Allah sampai gagal untuk menahanku dari perbuatan dosa, itu disebabkan kasihku kepada diri sendiri pada saat ini sangat kuat. Namun demikian, aku masih dapat melakukan sesuatu hal terhadap kasih yang salah arah ini dengan memikirkan Pengadilan Ilahi, yang akan membuat perhitungan denganku sesuai yang pantas aku terima. Benar-benar bodohlah orang yang tidak ingin mempertimbangkan bahaya yang mengikutinya, bila dia memilih suatu jalan tertentu. Perasaan takut yang kudus terhadap Pengadilan Ilahi ini merupakan “suatu permulaan kebijaksanaan”, karena hal ini membimbing manusia ke suatu kehidupan yang lebih suci.

DOA,
Allahku, aku tidak hanya ingin mengandaikan kasih-Mu sampai melupakan keadilan-Mu. Suatu saat Engkau akan membuat perhitungan dengan setiap orang sesuai perbuatannya. Aku ingin mempergunakan sebaik-baiknya segala pemberian yang dalam kasih-Mu telah Engkau berikan kepadaku tiap hari. Semoga aku tidak akan lupa, bahwa suatu saat aku harus mempertanggung-jawabkan kepada-Mu penyalahgunaan pemberian-pemberian-Mu ini. Pemikiran ini akan membantuku untuk menolak dosa dan lebih menyukakan hati-Mu dalam keseharianku. Amin.

Sabtu, 02 April 2011

Memulai Hidup Baru

KRISTUS,
Anak-Ku janganlah engkau hilang harapan untuk maju dalam kerohanian. Engkau masih mempunyai waktu. Kesempatanmu masih terbuka. Tetapi mengapakah engkau menunda terus niat baikmu sampai besok? Sekarang saatnya bertindak! Mulailah saat ini juga! Inilah kesempatanmu untuk mulai baru lagi. Mulailah hidup barumu dengan bantuan anugerah-Ku.
           2. Selalu dan tetaplah berharap untuk berhasil. Janganlah kegagalanmu mematahkan semangatmu. Jangan juga percaya diri berlebihan, supaya engkau tidak menjadi mangsa kesombongan dan kemalasan.
           3. Bila suatu hari engkau sampai harus meniadakan doa-doamu atau meninggalkan disiplin rohanimu karena keperluan mendadak yang penting atau juga untuk membantu sesamamu, cobalah menggantinya pada kesempatan berikutnya. Jangan terlalu mudah meninggalkan kebiasaan berdoa hanya karena engkau lelah, karena hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang merugikanmu.

RENUNGKAN,
Cukup mudah untuk mulai baru lagi. Hal yang perlu kulakukan hanyalah: 1) memeriksa kehidupanku, 2) menghadapi apa yang perlu dilakukan, 3) berdoa untuk mendapat kekuatan, dan 4) mulai melakukannya. Mungkin saja aku gagal lagi, tetapi yang penting adalah bahwa aku sudah mulai dan aku berkemauan untuk terus mencoba meskipun aku akan menghadapi kegagalan-kegagalan lagi.

DOA,
Tuhan yang baik, sekarang ini aku mulai! Bantulah aku untuk hidup sesuai dengan yang Engkau kehendaki. Bila ini yang menjadi kehendak-Mu, maka aku akan dapat melakukannya. Bila engkau menginginkan ini dariku, maka aku harus melakukannya. Janganlah aku menjadi pengecut dan lari dari kehendak-Mu. Engkau mengetahui apa yang benar dan yang terbaik. Aku harus mulai sekarang ini. Tuhan yang baik, bantulah aku.
Memang aku tidak akan menjadi manusia yang berbeda dalam satu malam saja. Sama seperti kesalahan-kesalahanku memerlukan waktu untuk berkembang, demikian juga kebajikan-kebajikan yang berlawanan perlu tumbuh di dalam diriku. Aku tidak akan kecil hati bila kesalahan-kesalahanku yang lama timbul lagi dengan tiba-tiba. Kasihku untuk-Mu akan dibuktikan dengan tindakan, yaitu dengan usaha yang sabar dan tetap untuk lepas dari dosa-dosaku dan untuk menjalankan kebajikan yang melawan dosa. Aku akan mulai sekarang ini! Amin.

Jumat, 01 April 2011

Harta Termulia Manusia

KRISTUS,
Anak-Ku, hanya di dalam diri-Ku, engkau dapat menemukan yang terbaik dan termulia untuk dirimu. Allah jauh lebih mulia dan jauh lebih berharga daripada semua hal yang diciptakan. Aku yang Mahatinggi. Tidak ada orang yang mahakuasa. Hanya Allah yang sempurna dan menarik, dan penuh penghiburan. Di dalam-Ku engkau akan menemukan keindahan sempurna dan kasih yang memuaskan secara sempurna. Yang Mahamulia dan Mahaindah mengatasi segalanya adalah sang Pencipta semuanya.
            2. Mohonlah sesering mungkin supaya engkau menerima anugerah untuk menemukan kesukaan didalam diri-Ku, di atas segala-galanya yang diciptakan; di atas kesehatan atau kecantikan, di atas kemashuran dan kehormatan, di atas kekuasaan dan kemuliaan, di atas segala pengetahuan dan kepandaian, di atas segala pujian dan kekaguman, di atas segala seni dan kenikmatan, di atas segala kesenangan dan kekayaan materi, di atas segala pengharapan dan janji-janji, di atas segala penghiburan dan penghargaan manusiawi. Hargailah aku lebih daripada segala pemberian dan pahala yang Aku berikan kepada manusia. Di dalam-Ku engkau akan menemukan lebih banyak daripada di dalam segala hal lainnya.
            3. Apa pun yang Aku berikan kepadamu, apa pun yang bukan Allah merupakan sesuatu yang terlalu kecil dan tidak memadai bagimu. Aku menciptakan engkau untuk diri-Ku sendiri, Kebaikan yang Sempurna. Hatimu tidak pernah akan mengalami kedamaian sejati sampai ia beristirahat didalam-Ku, sang Pemberi Sempurna, dan Pemberian Sempurna.  

RENUNGKAN,

Apa pun yang aku senangi atau aku cintai, kecuali itu adalah Allah sendiri, tidak akan pernah dapat memberiku kebahagiaan sempurna, yang dirindukan jiwaku. Sedemikian banyak orang telah mencapai keberhasilan duniawi, pada akhirnya merenggut nyawanya sendiri. Mengapa? Karena mereka sadar bahwa tidak ada hal di dunia ini dapat memberikan kebahagiaan yang mereka dambakan. Seharusnya pada akhirnya, mereka berpaling kepada Allah, tetapi mereka telah melupakan-Nya di dalam usaha bodohnya mengejar kesukaan duniawi.

DOA,

Allah yang baik, aku tidak dapat hidup untuk suatu kesukaan yang pasti akan lenyap. Meskipun aku berharap untuk menerima kesukaan yang pantas di dunia ini, aku tidak mau berpaling dari Engkau karena dosa. Kebaikan-kebaikan dunia ini hanyalah cerminan keindahan, kebaikan dan kekuasaan-Mu. Tidak pernah aku akan meninggalkan Realitas Mulia, hanya untuk menerima cerminan-Nya saja. Bila aku tergoda untuk berdosa karena hal-hal duniawi yang menarik, berikanlah kepadaku anugerah untuk mengingat kebaikan, kebesaran, dan kasih-Mu. Amin.