Minggu, 01 April 2012

Ibadah dan Mazmur

Khususnya ibadah Kristen dari masa sangat awal telah memanfaatkan penggunaan mazmur-mazmur. Mazmur-mazmur tidak pernah dapat digali sampai habis, dan patut untuk dibaca, diucapkan, dinyanyikan, dilafalkan, dibisikkan, dihafalkan, dan bahkan diteriakkan dari atap rumah. Mazmur mengungkapkan semua emosi yang sangat mungkin pernah atau akan kita rasakan (termasuk sebagian yang kita harap tidak usah kita alami), dan Mazmur memaparkan semua itu apa adanya, terbuka, di hadirat Allah, bagaikan seekor anjing yang dilatih untuk membawa buruan yang tertembak ke kaki tuannya, membawa semua benda yang ia temukan di ladang. “Lihat!” ujar pemazmur, “Inilah yang kutemukan hari ini! Tidakkah itu luar biasa? Akan kau buat apa dengannya?”
               Mazmur-mazmur menyatukan hal-hal yang sering kita lihat seperti kutub yang berlawanan sementara kita datang ke hadirat Allah. Mazmur melintas cepat dari keintiman kasih ke kejutan ketakjuban dan balik lagi. Mazmur membawa bersama pertanyaan tajam, marah, dan penyerahan iman yang sederhana, tenang. Mazmur meliput dari yang lembut dan meditatif ke yang keras dan riuh, dari ratapan dan keputusasaan pekat ke perayaan yang khusyuk dan kudus. Terjadi suatu kedamaian ajaib ketika orang menelusur mulai dari seruan kuat yang mengawali Mazmur 22 (“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”) ke kesimpulan yang penuh keyakinan bahwa Allah telah mendengar dan menjawab doa, kemudian melangkah maju ke penyerahan diri dan keyakinan Mazmur 23 (“Tuhan adalah Gembalaku’). Ada suatu keseimbangan yang bijak dan sehat ketika membaca silih ganti, suasana kemenangan Mazmur 136 (“Dia yang memukul kalah raja-raja yang besar, bahwasanya untuk selama-lamanya kasih-setia-Nya,” dengan pengulangan-pengulangan gembira yang melompat-lompat di tiap baris sepanjang keseluruhan mazmur-mazmur) dan kehancuran pedih Mazmur 137 (“Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis”).
                  Tentu saja kita tidak akan pernah mengerti segala sesuatu yang ada dalam mazmur-mazmur. Tentu juga ada berbagai teka-teki dan masalah. Sebagian gereja, sebagian jemaat, dan sebagian orang Kristen akan mendapati bahwa puisi kuno ini mengandung bagian-bagian yang tidak dapat mereka pakai tanpa gangguan hati nurani – khususnya baris-baris yang meminta turunnya kutukan getir atas para musuh mereka. Masing-masing gereja setempat harus mengambil keputusan tentang itu. Tetapi tidak ada gereja Kristen yang boleh mengabaikan pemakaian Mazmur-mazmur secara teratur dan menyeluruh. Salah satu tragedi besar di kebanyakan penyembahan dalam gereja bebas kontemporer ialah kekosongan dalam hal ini. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh generasi baru para musisi Kristen. Dan juga merupakan tantangan untuk tradisi-tradisi seperti tradisi saya juga, di mana Mazmur-mazmur selalu nyata dan penting: Apakah kita memanfaatkan Mazmur-mazmur sebaik-baiknya? Apakah kita makin lama makin dalam memasukinya, atau hanya berputar-putar di sekitarnya?
Dikutip dari buku Hati & Wajah Kristen: Terwujudnya Kerinduan Manusia & Dunia oleh N. T. Wright

Tidak ada komentar:

Posting Komentar