Jumat, 13 Juli 2012

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (3A)


Alkitab memberikan tekanan khusus pada kemurahan hati pada orang miskin dan mereka yang rentan secara ekonomi. Sepanjang isi Alkitab sikap orang terhadap orang miskin dianggap ukuran penting tentang spiritualitas (kuis nomor 7). Para nabi menghubungkan kepedulian secara perorangan kepada orang miskin dan perhatian Israel sebagai bangsa untuk orang miskin dengan komitmen spiritual. Sebagai contoh, Yesaya menjelaskan bahwa kehidupan religius yang benar tidak terdiri dalam ritual dan seremoni tetapi dalam perhatian nyata bagi orang miskin dan pengusahaan keadilan ekonomi. Ia berkata,

Berpuasa yang Kukehendaki, ialah
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman,
dan melepaskan tali-tali kuk,
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya
dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah,
dan apabila engkau melihat orang telanjang,
supaya engkau memberi dia pakaian dan
tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yes. 58:6-7)


            Dalam bagian terdahulu pasal ini kami menunjukkan bahwa Yeremia mengaitkan kepedulian seseorang kepada orang miskin dengan arti mengenal Allah (“’ia melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku?’ demikianlah firman TUHAN” [Yer. 22:16, cetak miring ditambahkan]), dan Amsal mengajarkan kita bahwa hal itu menghormati Allah (“siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia” [Ams. 14:31]).

            Yesus meneruskan prioritas memerhatikan kaum miskin ini dengan menjadikannya salah satu tanda penting pelayanan-Nya di bumi. Sesungguhnya, Yesus mengidentikkan perhatian-Nya untuk orang miskin sebagai suatu petunjuk utama bahwa ia telah meresmikan Kerajaan Allah. Dalam catatan Lukas tentang pelayanan publik-Nya yang pertama, Yesus bicara tentang misi-Nya “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Luk. 4:18). Pelayanan Yesus di antara kaum marginal pada zaman-Nya dianggap sebagai penggenapan nubuat tentang kedatangan Mesias. Demikian pun, ketika para pengikut Yohanes Pembaptis bertanya langsung kepada Yesus apakah benar atau bukan Ia adalah sang Mesias, Ia menjawab, “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat. 11:4-5). Alkitab jelas bahwa kita harus menumbuhkan kemurahhatian secara umum. Tetapi secara spesifik dan berulang kali Alkitab mengajarkan yang miskin harus menjadi objek utama kemurahhatian kita. Yakobus mengulang prioritas Perjanjian Lama tentang hal ini ketika berkata:

Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia. (Yak. 1:27)



[1] Perlu diperhatikan bahwa Salomo juga menegaskan kesia-siaan kekayaan – bahwa harta tidak dapat menyediakan kepuasan hakiki, bukan pengganti Allah (Pkh. 5:8-20; 6:1-12). Pernyataan-pernyataan ini tidak saling bertolak belakang, sebab kekayaan dapat menjadi karunia baik Allah tanpa membuatnya sama dengan berhala. Salomo mengusulkan bahwa kekayaan dapat menjadi karunia tanpa harus menghargainya berlebihan sampai ia dilihat sebagai kunci yang menyatukan keseluruhan kepingan-kepingan puzzle kehidupan menjadi utuh.
[2] Schneider, God of Affluence, hlm. 7-74. Tentu saja, dengan kelimpahan berkat datang tanggung jawab kemurahan hati, khususnya kepada orang miskin, yang juga ditegaskan oleh Schneider. Lihat Sider, Rich Christians, untuk pembahasan lebih lanjut tentang tanggung jawab kepada orang miskin ini. Lihat juga Ron Sider, Just Creativity: A New Vision for Overcoming Poverty in America (Grand Rapids: Baker, 1999).
[3] Untuk bahasan lebih lanjut tentang Ucapan Berkat ini, lihat Dallas Willard, The Divine Conspiracy (New York: HarperCollins, 1998).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar