Jumat, 13 Juli 2012

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (5)


5. Sumber hakiki kepercayaan orang akan keamanan dan jati diri adalah Allah dan persediaan-Nya, bukan uang.
Meski Alkitab mengokohkan kekayaan sebagai karunia baik Allah, ini tidak berarti bahwa mencari atau memilikinya bebas dari pencobaan. Salah satu dari bahaya kekayaan yang sering Alkitab sebut ialah kaitannya dengan berhala. Meski tidak merupakan kaitan keharusan, karena memang ada orang kaya yang setia mengikut Yesus dan para rasul, umumnya kekayaan merupakan hal yang patut diawasi. Menyerah kepada berhala dalam berbagai bentuknya adalah suatu masalah serius, dan tidak sukar untuk orang jatuh ke dalam pencobaan yang menjadikan kekayaan sebagai pengganti Allah. Terus menerus Alkitab memperingati tentang memercayai kekayaan untuk keamanan ekonomi kita. Pemazmur meratapi orang yang memercayai kekayaan, mengusulkan bahwa melakukan itu adalah kesia-siaan sebab uang tidak dapat menyelamatkan kita di hadapan Allah (Mzm. 49:6-7). Lebih jauh, para nabi mendorong umat untuk memercayai Allah, bukan kekayaan, hikmat atau kuasa untuk kesadaran hakiki keamanan mereka dalam dunia ini (Yer. 9:23). Perjanjian Baru memperingati bahaya memercayai kekayaan ketimbang Allah, sebab kekayaan sangat tidak dapat diandalkan dan Allah sepenuhnya setia memerhatikan kebutuhan kita (1Tim. 6:17). Yesus menjelaskan bahwa kekayaan dapat menjadi rintangan untuk masuk Kerajaan Allah (Mrk. 10:24), tidak saja karena ia sering melibatkan kegiatan immoral tetapi juga karena bahaya spiritual memakai kekayaan sebagai pengganti kepercayaan kepada Allah.

            Juga tidak seharusnya kondisi pembukuan seseorang menjadi sumber jati diri atau keamanan.[1] Bahayanya, usul Craig Gay, ialah uang “menjadi tujuan dalam dirinya dan memang telah menjadi tujuan akhir bagi sebagian besar orang.”[2] Jadi tentang harta bersih seseorang sangat bermasalah, sebab hal itu cenderung mengukur kelayakan diri orang dalam pernyataan finansial. Gay mengusulkan bahwa bagian dari bahaya pengaruh uang atas wawasan dunia ialah “hidup itu sendiri jadi dialami sebagai sebentuk gabungan arti, nilai dan kepentingan,” yang segala sesuatunya dinilai dalam ukuran-ukuran kuantitatif uang.[3] Sosiolog Robert Wuthnow menggemakan ini ketika menyimpulkan bahwa “uang terkait secara subjektif dengan jati diri kita” dan karenanya menjadi penentu penting tentang bagaimana orang memandang dirinya.[4]

            Manusia juga tidak dikenali dengan apa yang mereka beli, ukuran atau lokasi rumah mereka, jenis mobil yang dikendarai atau milik lainnya yang oleh kebudayaan dilihat membuat orang berarti.[5] Barangkali ini lebih halus dari pada yang disadari mulanya, sebab kebudayaan konsumtif telah menjadi sedemikian identik dengan yang dikenal sebagai “merek” (lihat pasal 8). Para konsumer telah demikian mengaitkan diri dengan merek-merek tertentu, entah pakaian, mobil, elektronik atau benda konsumer lain yang diharga oleh kebudayaan. Teolog Katolik Tom Boudoin menunjukkan bahwa merek dapat memengaruhi cara konsumen mengidentifikasi diri mereka, menentukan kecocokan mereka dalam kelompok atau subbudaya tertentu, bahkan membentuk definisi mereka tentang sukses. Ia mengusulkan bahwa berbagai merek dapat mengkomunikasikan arti dan jati diri, khususnya untuk dewasa muda dan remaja dalam tahap-tahap pembentukan pengembangan jati diri mereka. Dalam hal yang orang lain sebut “merek untuk hidup,” Boudoin menunjukkan bahwa “jika orang muda merasa mantap tentang merek tertentu yang melaluinya mereka menyatakan jati diri mereka, merek-merek tersebut boleh jadi akan menjadi bagian dari keseluruhan jati diri orang itu sementara mereka memasuki kedewasaan dan usia pertengahan.”[6] Ini merupakan salah satu tujuan jangka panjang periklanan, yaitu membuat konsumen melekatkan arti pribadi ke merek produk tertentu – pemasang iklan tahu  bahwa mereka telah sukses bila mereka membawa para konsumer mengidentikkan diri dengan produk-produk mereka.[7]

            Sebagian solusi bagi endemi materialisme dalam kebudayaan kita ialah menilai uang dengan apa yang Gay sebut “ringan hati” yang pada hakikatnya datang dari kepercayaan kita akan Allah untuk persediaan kita. Almarhum teolog Katolik Richard John Neuhaus mengusulkan kita bersikap tidak menentu tentang kekayaan:



Maksudnya ialah kekayaan – baik memiliki atau menghasilkannya – sesungguhnya tidak begitu penting. Pokok ini luput baik dari yang tamak, yang tertawan oleh milik mereka, dan oleh para ideolog religius yang menganjurkan suatu tatanan ekonomi yang adil. Keduanya menerima kekayaan terlalu serius. Penghargaan akan kehidupan ekonomi dan produksi kekayaan yang diterangi secara teologis harus ditandai oleh kesan tidak menentu dan heran di hadapan realitas-realitas kehidupan ekonomi yang bersifat tidak pasti, nyata, acak dan tidak teramalkan.[8]



            Tentunya, ini menjadi lebih menantang di masa-masa kesukaran ekonomi, tetapi tidak kurang penting, dan tidak mengikis pentingnya kerajinan dan tanggung jawab dalam memerhatikan diri Anda sendiri dan tanggungan Anda.



[1] Untuk bacaan lebih lanjut tentang dasar penting bagi keamanan dan jati diri orang ini, lihat buku berwawasan oleh Craig M. Gay, Cash Value: Money and the Erosion of Meaning in Today’s Society (Grand Rapids: Eerdmans, 2004).
[2] Ibid., hlm. 90. Untuk diskusi lanjut tentang kritik terhadap materialisme, lihat Robert Wuthnow, ed., Rethinking Materialism: Perspectives on the Spiritual Dimension of Economic Life (Grand Rapids: Eerdmans, 1995); dan Robert Wuthnow, God and Mammon in America (New York: Free Press, 1994).
[3] Gay, Cash Value, hlm. 68.
[4] Robert Wuthnow, Poor Richard’s Principle: Recovering the American Dream Through the Moral Dimensions of Work, Business and Money (Princeton, N. J.: Princeton University Press, 1996), hlm. 153.
[5] Untuk diskusi lebih lanjut tentang pokok ini, lihat Tom Boudoin, Consuming Faith: Integrating Who We Are with What We Buy (Lanham, Md.: Sheed & Ward, 2003); dan Rodney Clapp, ed., The Consuming Passion: Christianity and the Cousumer Culture (Downers Grove: Ill.: InterVarsity Press, 1998).
[6] Boudoin, Consuming Faith, hlm. 7-8 (cetak miring ditambahkan). Lebih jauh ia mengusulkan bahwa “merek memengaruhi jati diri yang konsisten, koheren, di mana Anda menceritakan diri sejati Anda; hal itu menawarkan keanggotaan dalam suatu komunitas, mengeluarkan suatu undangan ke kepercayaan tak bersyarat, menawarkan janji perubahan hidup dan suatu hidup baru” (Ibid., hlm. 44).
[7] Untuk bacaan lanjut tentang tujuan jangka panjang iklan, lihat Howard J. Bluementhal, Branded for Life: How American Are Brainwashed by the Brand We Love (Cincinnati: Emmis Books, 2005).
[8] Richard John Neuhaus, “Wealth and Whimsy: On Economic Creativity,” First Things,  August-September (1990), hlm. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar