Jumat, 13 Juli 2012

PELAJARAN ALKITAB TENTANG HARTA (4)


4. Alkitab menyetujui bahwa menikmati hidup dan sumbernya merupakan karunia Allah. Kemakmuran kita pada akhirnya adalah akibat berkat Allah dalam kehidupan kita. Alkitab juga jelas bahwa kerajinan kita pun memainkan peran (Ams. 10:4), tetapi pada puncaknya, semua yang seseorang kumpulkan datang dari Allah. Tidak ada kesalahan dalam hal memiliki kekayaan dan menikmati karunia baik Allah, selama itu didapat secara benar dan kita bermurah hati dengannya (kuis nomor 2, 12). Pengkhotbah meneguhkan bahwa “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah” (Pkh. 5:19, penekanan ditambahkan).[1] Allah menjanjikan bangsa Israel suatu “tanah yang berlimpah dengan susu dan madu,” bahasa figuratif untuk kelimpahan berkat-Nya.[2] Jelas Allah menghendaki umat-Nya menikmati kelimpahan berkat-Nya di tanah itu. Sebagai tambahan, paparan alkitabiah tentang Taman Firdaus dalam Kitab Kejadian dan Yerusalem Baru dalam Kitab Wahyu menggemakan visi yang sama ini tentang kelimpahan persediaan dari Allah. Meskipun masa kini berkat-Nya tidak terikat pada kemakmuran nasional, sebagaimana dalam hukum Musa, cukup jelas prinsip bahwa Allah menghendaki kelimpahan bagi umat-Nya. Tentu saja, ini diseimbangi dengan mandat untuk bermurah hati dan berbelas kasihan kepada mereka yang ada dalam kebutuhan. Tekanan pada menikmati hidup sebagai pemberian baik Allah ini tidak mengusulkan sesuatu yang mirip dengan teologi kemakmuran, yang mengajarkan bahwa Allah harus mengganjar kebenaran dan kesetiaan dengan kemakmuran materiil. Allah memang mengganjar kesetiaan dengan berkat-Nya, tetapi itu tidak harus atau bahkan wajar berbentuk berkat finansial. Masa kini tidak harus ada kaitan antara kekayaan orang dengan kesetiaannya kepada Allah.

            Demikian pun kemiskinan dalam Alkitab kemiskinan bukan suatu kebajikan. Orang miskin dan yang miskin di hadapan Allah tidak diberkati karena mereka miskin tetapi karena Kerajaan Allah adalah milik mereka (Mat. 5:3; Luk. 6:20), kuis nomor 5).[3] Dalam kitab-kitab sastra hikmat kemiskinan sering dikaitkan dengan kurang rajin, hikmat dan karakter moral (Pkh. 6:6-11; 10:4; 24:30-34), meski masa kini ada juga penyebab sistemik dari kemiskinan yang sama sekali tidak berhubungan dengan karakter orang. Baik kekayaan atau kemiskinan dalam dirinya tidak harus merupakan petunjuk tentang spiritualitas seseorang. Sepanjang isi Alkitab yang jahat makmur dan yang benar kerap menderita kemiskinan karena alasan-alasan yang sedikit berkait dengan kedewasaan atau kekurangan spiritual mereka. Sebagai contoh, pemazmur meratapi kenyamanan dan kekayaan orang fasik:



Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual,

kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik...

Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik:

mereka menambah harta benda dan senang selamanya! (Mzm. 73:3, 12)



            Perjanjian Baru juga meneguhkan menikmati hidup sebagai persediaan dari Allah untuk umat-Nya. Sebagai contoh, Paulus memerintahkan Timotius untuk meneruskan ajaran bahwa “orang-orang kaya di dunia ini… jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1Tim. 6:17; kuis nomor 2, 12). Allah memerintahkan merasa cukup (yang diartikan sebagai “menginginkan apa yang Anda miliki”), memercayai Dia, bukan uang, untuk keamanan; dan kemurahhatian dengan kekayaan yang dipunyai untuk menyeimbangi mandat agar menikmati hidup sebagai pemberian baik Allah.



[1] Perlu diperhatikan bahwa Salomo juga menegaskan kesia-siaan kekayaan – bahwa harta tidak dapat menyediakan kepuasan hakiki, bukan pengganti Allah (Pkh. 5:8-20; 6:1-12). Pernyataan-pernyataan ini tidak saling bertolak belakang, sebab kekayaan dapat menjadi karunia baik Allah tanpa membuatnya sama dengan berhala. Salomo mengusulkan bahwa kekayaan dapat menjadi karunia tanpa harus menghargainya berlebihan sampai ia dilihat sebagai kunci yang menyatukan keseluruhan kepingan-kepingan puzzle kehidupan menjadi utuh.
[2] Schneider, God of Affluence, hlm. 7-74. Tentu saja, dengan kelimpahan berkat datang tanggung jawab kemurahan hati, khususnya kepada orang miskin, yang juga ditegaskan oleh Schneider. Lihat Sider, Rich Christians, untuk pembahasan lebih lanjut tentang tanggung jawab kepada orang miskin ini. Lihat juga Ron Sider, Just Creativity: A New Vision for Overcoming Poverty in America (Grand Rapids: Baker, 1999).
[3] Untuk bahasan lebih lanjut tentang Ucapan Berkat ini, lihat Dallas Willard, The Divine Conspiracy (New York: HarperCollins, 1998).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar