Jumat, 04 Februari 2011

Jalan ke Yordan


JALAN KE Tanah Perjanjian melewati Yordan. Begitulah selalu, dan akan selalu begitu. Rute itu membawa kita ke tepi salah satu sungai paling termashur di dunia ini.
            Hari-hari ini sungai itu kecil dan keruh. Ia juga tidak terlalu panjang: hanya sekitar tigapuluh kilometer dari sumbernya di lereng selatan Gunung Hermon turun ke danau yang terkadang disebut Genesaret (karena bentuknya yang seperti harpa, dalam Ibrani disebut Kinnor), atau Laut Galilea; dan kira-kira seratus kilometer dari Laut Galilea ke selatan Laut mati, tempat terendah di bumi. Meski pada musim semi, ketika salju di Gunung Hermon mencair, dan Galilea menerima banyak hujan, sungai itu terkadang dapat penuh menjadi aliran besar, pemerintah Israel telah mengalirkan sebagian besar airnya ke pipa-pipa sampai ia tinggal sebuah aliran keruh semata. Sewaktu ia tiba di Yerikho hanya tersisa sedikit sekali air, sampai Laut Mati sendiri pun belakangan ini, mulai mengering, dan sudah berubah bentuk, aliran yang masuk tidak lagi seimbang dengan penguapan. Yehezkiel menubuatkan bahwa Laut Mati akan menjadi segar, dan  orang akan memancing ikan dari dalamnya; tetapi bila segalanya berlangsung seperti sekarang, akan terjadi saat mereka mendirikan rumah dan membuat jalan di tanah kering di mana lazimnya orang membangun.
            Tampaknya, bahkan dalam masa alkitabiah, Yordan tidak begitu mengesankan. Dalam kisah termashur 2 Raja-raja 5, Naaman, jenderal pasukan perang Siria (atau ‘Aramea’), secara buruk membandingkannya dengan Abama dan Parpar, sungai-sungai yang terbit di lereng timur-laut Gunung Hermon dan mengalir menuju Damaskus. Tetapi ada sesuatu yang bukan sekadar unsur geografis yang dipertaruhkan di sini. Itu adalah kebanggaan nasional, dan di baliknya terdapat pertikaian para allah. Naaman adalah seorang Siria yang setia, dan ia menyembah dewa Siria Rimmon. Ke selatan di Israel, ia tahu allah Israel Yahweh, dan dengan membandingkan sungainya Rimmon dengan sungainya Yahweh, ia menyatakan bahwa tanahnya dan dewanya, jauh lebih unggul daripada yang ia temukan di Israel.
            Namun begitu, Naaman telah melakukan perjalanan dari Damaskus ke Israel – sangat mungkin melalui jalan yang sama yang ditempuh Saul dari Tarsus dalam arah yang berlawanan sesaat sebelum perubahan hidupnya. Perjalanan itu tidak jauh, hanya sekitar enampuluh kilometer melintasi tanah tinggi Golan, yang sampai tiga ribu tahun sesudahnya masih merupakan teritori yang diperebutkan. Di Golan masih ada desa-desa yang dari waktu ke waktu berpindah tangan setiap kali terjadi perang, dan orang seperti budak perempuan istri Naaman, bangun tidur dan mendapatkan dirinya telah menjadi milik pihak lain. Tetapi ketika Naaman pergi ke negara lain, wajarnya sebagai seorang pemimpin pasukan penakluk; dan kini, ia di sana, jenderal berbintang lima dengan medali bergantungan di dada, kedapatan mengetuk pintu rumah seorang nabi Yahudi, untuk meminta pertolongan. Bukan juga pertolongan biasa: Naaman ingin disembuhkan dari kusta. Dewanya Rimmon tidak dapat berbuat apa pun tentang itu. Dan budak perempuan istrinya berpikir, bahwa ada seseorang di Israel yang dapat menolong.
            Tetapi untuk mengerti apa yang Elisa lakukan kepada Naaman, kita harus surut ke masa sebelumnya. Sungai Yordan memainkan peran vital dalam kisah pendirian Israel, yaitu kisah Keluaran. Israel diperbudak di  Mesir, dan Allah membawanya melalui Laut Merah. Tetapi kemudian Israel harus mengembara di padang gurun selama empatpuluh tahun, berakhir di tepi timur Yordan, persis di sebelah utara Laut Mati. Dan mereka memasuki Tanah Perjanjian melalui Yordan, sambil berbaris khusyuk di badan sungai yang telah menjadi kering sementara para imam berdiri di tengah-tengahnya sambil memikul tabut perjanjian. Lalu Yosua memilih duabelas orang, masing-masing seorang dari tiap suku Israel, dan menyuruh mereka mendirikan duabelas batu yang diambil dari sungai di tepi di mana mereka berhenti.
            Perlambangannya jelas. Penyeberangan Yordan adalah momen penentu bagi duabelas suku Israel tersebut. Penyeberangan itu membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki tanah; dan membuat Tanah Perjanjian menjadi milik mereka. Allah mereka, Allah keluaran dan perjanjian, telah membawa mereka melalui Yordan dan memberikan mereka tanah itu.
            Sejak momen itu, umat Israel melihat balik ke Keluaran, padang gurun, dan penyeberangan Yordan, sebagai cara melalui mana Allah mereka telah menjadikan mereka umat-Nya, telah membebaskan mereka, dan telah memberi mereka suatu jatidiri baru. Tentu, itu tidak membuat mereka menjadi sempurna. Masih terbentang jalan panjang, dengan banyak kesedihan, tanda tanya, dan kegagalan yang harus mereka lalui. Justru karena mereka sudah merdeka, mereka merdeka untuk berontak; dan Allah, dalam perjanjian kasih-Nya dengan mereka, wajib merespons mereka dengan mengirim mereka keluar dari tanah itu, ke pembuangan. Tetapi bahkan di pembuangan pun mereka tetap umat yang telah ditentukan oleh momen penyeberangan di Yordan itu; dan kasih perjanjian Allah menjangkau, mencari mereka, mendesak mereka untuk pulang dan kembali menjadi umat-Nya sejati. Padang gurun dan sungai adalah tanda kasih Yahweh, Allah Israel yang menyembuhkan, dan memulihkan.
Dikutip dari Pasal 2 Buku Jalan Tuhan - Jalan ke Yordan (Karangan N. T. Wright)

Informasi: Email ke waskitapublishing@gmail,com
atau sms / call ke 0812-270-24-870

Tidak ada komentar:

Posting Komentar