Jumat, 27 Januari 2012

TANAH SUCI - Ziarah Hari Ini

Suatu Introduksi Pribadi (Dari Buku Jalan Tuhan oleh N. T. Wright)
 

Dengan mempertimbangkan asal usul saya, adalah mengherankan untuk saya kini bahwa saya tidak tertarik pada ziarah jauh hari sebelumnya.

            Saya dilahirkan dan dibesarkan di Northumberland pusat, tempat terbitnya Kekristenan awal di Inggris (dan praRoma). Kakek saya adalah Diaken Agung dari Lindisfarne, sebuah pulau yang selama 1500 tahun datang dan pergi pernah menjadi titik perhatian perjalanan ziarah. Namun, tidak saja ia tidak tinggal di pulau itu sendiri; sepanjang masa pertumbuhan saya tidak pernah ada dari keluarga, atau dari gereja kami, yang bahkan pernah mempertimbangkan untuk “mengadakan ziarah” ke sana. Kami ke sana satu dua kali untuk melancong, seperti ketika kami pergi ke tempat-tempat lain semisal Hexham, Alnwick, Bamburgh atau Tembok Roma. Tetapi kunjungan tersebut tidak secara spesifik dikaitkan dengan Kekristenan atau aspek religius lain. Kebutuhan seorang Kristen dianggap telah dipenuhi dengan baik dan benar dengan beribadah teratur di gerejanya sendiri, dengan membaca Alkitab dan menyampaikan doa-doanya. Apa untungnya pergi ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama? Penilaian yang sama berlaku juga untuk kunjungan ke biara tua, juga termasuk ke katedral-katedral agung seperti di Durham. Meski tempat-tempat itu memang penuh sejarah dan daya tarik, tetapi orang tidak menjadi lebih dekat Allah di sana daripada di gereja sendiri, atau bahkan dari saat ketika orang berlutut dalam doa pribadi di tepi tempat tidurnya.

            Saya duga ada lagi pengaruh lain yang bekerja di bawah permukaan. Gereja-gereja lain melakukan ziarah. Gereja kami yang lebih berciri tenang dan menjaga keseimbangan, tidak melakukan hal yang dianggap agak pamer tersebut. Dan orang yang didengar pernah pergi berziarah memiliki ciri yang tidak sama dengan kami. Ada pun tentang Tanah Suci sendiri, banyak kerabat yang telah pergi ke Timur Tengah, semasa wajib militer atau liburan. Mereka pulang membawa cindera mata, tetapi tidak pernah bercerita, sedikitnya bukan ke saya, tentang implikasi Kristen dari kunjungan tersebut. Akibatnya, saya sama sekali tidak pernah berpikir tentang ziarah, atau mempertimbangkannya sebagai suatu pilihan hidup. Saya tidak menolak ide itu, hanya saja ia tidak tersedia sebagai suatu kemungkinan. Jadi, meski saya pernah tinggal dalam salah satu wilayah ziarah penting di Inggris, saya hampir tidak tahu apa pun tentangnya.

            Sikap tidak mempertimbangkan perjalanan ziarah ini makin dikuatkan oleh pengajaran besifat injili yang saya terima dan serap dengan penuh gairah semasa usia remaja. Realitas dan kehangatan kehadiran Allah, keajaiban kasih-Nya secara pribadi untuk saya yang diberlakukan dalam Yesus, pengalaman hidupnya Alkitab, nikmatnya persekutuan Kristen dan doa, serta ajakan untuk mengikut Yesus dan melayani Dia, terasa cukup untuk hidup ini. Di dalam pengaruh iklim filosofis yang menekankan dimensi “pribadi” dari sesuatu, orang cenderung untuk menganggap kepentingan dimensi “institusional” sebagai sesuatu yang keliru atau tidak bermanfaat. Bangunan gereja dianggap sebagai sesuatu yang jahat; memang orang harus berkumpul dalam sebuah tempat yang lebih besar daripada rumah, tetapi untuk itu cukup sebuah tenda besar atau gedung bioskop yang tak terpakai. Jika saya dapat bertemu Yesus Kristus secara pribadi dalam sebuah tenda di tanah tinggi Skotlandia, mengapa saya harus pergi ke sebuah bangunan gereja untuk melanjutkan pengalaman itu?

            Memang ada kesan kuat bahwa “tempat” dan bangunan dapat sungguh diperlakukan demikian. Orang dapat dengan mudah menganggap bahwa pergi ke suatu tempat tertentu, atau mengikuti suatu ritual tertentu, dapat membuat Anda mendapat perkenan Allah. Itu adalah semacam “kebenaran karena perbuatan”, yang menjauhkan Anda dari iman sederhana kepada apa yang telah Allah lakukan dalam Yesus Kristus. Dalam ziarah tercakup berbagai ritual, peninggalan yang dikramatkan, api penyucian dan berbagai macam kesesatan yang syukurnya telah ditolak oleh Reformasi. Dalam pandangan sementara orang Protestan, orang Kristen Katolik di satu pihak telah bersalah melakukan penyembahan berhala secara teratur dan di lain pihak memperjuangkan kebenaran melalui perbuatan. Tentang penyembahan berhala: mereka menyembah benda kramat, patung, bangunan, sakramen; mereka bahkan membuat benda-benda kramat tiruan, (sebagai contoh) menurut status kekudusan benda-benda tertentu, seperti sapu tangan yang pernah disentuhkan ke kubur seorang santo. Tentang kebenaran melalui perbuatan: mereka berpikir bahwa dengan melakukan hal-hal tertentu, pergi ke tempat tertentu, beribadah dalam situs kudus tertentu, mereka akan memperoleh perkenan Allah yang khusus, dengan cara yang melanggar doktrin alkitabiah tentang anugerah dan iman.

            Cara berpikir demikian itu, yang saya dapatkan semasa remaja, mengklaim pemberlakuan Alkitab dengan kuat, meski dengan harga yang harus dibayar. Bukankah Yesus berkata dalam Injil Yohanes bahwa ibadah yang benar tidak berkait dengan entah seseorang ada di Yerusalem atau Samaria, tetapi semata soal beribadah kepada Allah dalam roh dan kebenaran? Paulus menyatakan bahwa Yerusalem yang sekarang ini hidup dalam perhambaan bersama anak-anaknya (Gal. 4:25); sedangkan yang menjadi ibu bagi kita semua ialah Yerusalem di atas, yaitu kota merdeka sejati. Tentu saja itu berarti, bahwa semua kesinambungan arti dengan fokus geografis Perjanjian Lama, dengan ide tentang ziarah ke kota suci, telah ditolak. Aspek injili yang demikian ini, selalu mengandung bahaya kemasukan sikap Marcionisme, meski betapa pun kuatnya orang mengakui seluruh Alkitab sebagai Firman Allah. (Marcion, bidat abad kedua di Roma, mengajar bahwa Allah orang Yahudi tidak sama dengan Allah yang dinyatakan dalam Yesus, dan bahwa Perjanjian Lama tidak banyak kepentingannya dengan Perjanjian Baru).

            Tak seorang pun menurut saya, bahkan pernah menantang saya tentang ini. Andai mereka lakukan itu, saya pikir akan saya jawab dengan mengalegorikan ajaran Perjanjian Lama tentang ziarah, dengan mencari suatu “arti rohani” untuk menghindari fakta bahwa saya tidak serius menerima yang harfiah. Intinya, semua perhatian pada institusi bumiah, termasuk menyanyi dan menari tentang ziarah, harus dilihat sebagai usaha mengejar kebenaran melalui perbuatan yang dilakukan oleh orang Yahudi, dan yang ditentang oleh Yesus dan Paulus. Maka kecurigaan saya terjamin penuh atas dasar otoritas tertinggi. Saya tidak lagi mempertimbangkan untuk melakukan ziarah seperti halnya saya tidak ingin mencium cincin Paus.

            Tidak mudah memaparkan, apalagi memberikan alasan, tentang bagaimana pikiran saya mengalami perubahan (tentang ziarah, bukan tentang cincin Paus). Hal itu banyak disebabkan oleh perubahan secara lambat dari berbagai bentuk dualisme, yang merupakan kecenderungan paham injili, ke kesadaran akan kualitas sakramental dari seluruh dunia ciptaan Allah ini. Protestanisme dengan teratur telah merendahkan kebaikan Allah dalam tata ciptaan, atas dasar anggapan bahwa ciptaan telah dirusak oleh dosa, tunduk kepada kefanaan, dan bahwa jika Anda menyembahnya Anda menjadi penyembah berhala. Katolikisme dalam bentuknya terbaik (saya memasukkan di bawah kelompok ini jauh lebih luas dari hanya Roma Katolik), tidak menganjurkan penyembahan ciptaan, melainkan penemuan akan Allah yang berkarya dalam ciptaan. Dengan inkarnasi sendiri menjadi contoh jelas dan utama, dan tidak jauh di belakangnya sakramen baptisan dan perjamuan kudus, orang dapat mulai menemukan kehadiran Allah tidak saja dalam dunia secara kebetulan, tetapi melalui dunia: khususnya melalui hal-hal yang berbicara tentang Yesus sendiri, seperti halnya jelas dilakukan oleh baptisan dan perjamuan kudus, dan sebagaimana yang dinyatakan oleh kehidupan para orang kudus.

            Bahkan kultus kepada benda-benda peninggalan dapat dijelaskan, meski untuk pertimbangan saya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, yaitu dalam terang anugerah Allah yang bekerja dalam kehidupan jasmani orang yang bersangkutan. Bahkan sesudah kematian mereka (demikian argumen yang diberikan) tubuh mereka dapat dianggap sebagai tempat di mana anugerah khusus dan kehadiran Allah telah sungguh diperkenalkan. Dalam terang itu, tempat-tempat di mana para santo pernah hidup, gereja dibangun, mereka dikuburkan, menjadi semacam peninggalan kedua yang dianggap kudus. Dan utamanya, tempat di mana Yesus pernah jalan dan bicara, dilahirkan, hidup, mati dan bangkit, dilihat oleh sebagian orang, merupakan tanda-tanda efektif tentang kehadiran dan kasih-Nya, sebagai alat-alat anugerah yang efektif.

            Penguatan jalan berpikir tadi telah datang secara mengejutkan ketika saya menemukan kehadiran Allah dalam tempat dan bangunan tertentu, secara yang tidak saya harapkan. Di awal 1980an, ketika kami tinggal di Montreal, putra saya yang lebih tua bersekolah di sebuah sekolah milik pemerintah kota yang beberapa tahun sebelumnya telah dibeli oleh United Church of Canada, sebuah gereja besar yang terletak tepat di depan bangunan utama sekolah itu. Sebagai gereja berstruktur modern, ia tidak kelihatan seperti gereja, dan mereka menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan yang sangat tidak terkesan gerejawi, semisal konser musik rock, dlsb. Pertama kali saya ke sana, ke kesempatan yang sangat “sekuler”, saya terpana. Saya masuk dan merasakan kehadiran Allah, yang lembut namun kuat. Saya duduk di konser berisik itu sambil bertanya-tanya apakah saya satu-satunya orang yang merasakan itu, dan merenungkan fakta bahwa saya tidak memiliki teologi untuk menjelaskan mengapa sebuah gereja United yang besar merasakan itu. Sampai hari ini satu-satunya jawaban yang saya dapat ialah bahwa ketika Allah dikenal, dicari dan digumuli dalam sebuah tempat, kenangannya akan terus membekas, sehingga mereka yang mengenal dan mengasihi Allah dapat merasakannya. Sejak kejadian itu saya menemukan tempat-tempat yang juga terkesan sekuler namun menimbulkan dampak yang sama.

            Tetapi contoh paling utama dalam kehidupan saya, datang pada kunjungan pertama saya ke Gereja Makam Kudus (Holy Sepulcher) di Yerusalem. Kejadiannya di tahun 1989. Intifada Arab yang melawan pemerintah Israel, sedang sengit-sengitnya. Saya terbang ke Israel pada Minggu Palem, dan tinggal dua atau tiga hari untuk menyesuaikan diri, menemukan bawaan saya, dan beradaptasi dengan keadaan sekitar. Sengaja saya tidak pergi ke Gereja Makam Kudus, yang dibangun di atas dan sekitar Kalvari, sampai Jumat Agung, ketika saya bergabung dengan kelompok yang di waktu subuh menjalani Jalan Salib. Saya ingin agar kunjungan pertama saya ke gereja itu terjadi dalam konteks penyembahan yang memadai, bukan sebagai turis. Tentu saja saya telah diberikan peringatan tentang dua kejahatan nyata yang mengerumun di tempat-tempat penting: persaingan antara berbagai denominasi, dan komersialisasi apa pun yang tampak. Semua itu terlihat jelas. Bahkan, ketika saya berdiri di tempat di mana Yesus disalibkan, saya terdesak ke pinggir oleh serombongan rahib muda Armenia yang bermaksud menyampaikan upacara doa mereka. Tetapi saya menemukan sebuah sudut di sisi bangunan dengan kapel yang terkesan tenang, jauh dari hiruk pikuk; dan sepagian saya ada di sana.

            Sementara saya berpikir dan berdoa di tempat itu, beberapa meter saja dari tempat di mana Yesus disalibkan, entah bagaimana saya merasakan sesuatu yang sukar dijelaskan, yaitu bahwa semua penderitaan dunia ini seolah terkumpul di sana. Hari-hari sebelumnya di jalan saya telah melihat dan mendengar kemarahan dan penderitaan orang Palestina. Di jalan-jalan yang lain saya melihat juga paranoia dan kenangan menyakitkan orang Israel. Orang-orang Armenia yang mendesak tempat saya di gedung gereja itu, juga memikul kenangan mereka sendiri tentang genosida yang mereka tanggung, dan lebih buruk lagi sebab mereka hampir tidak sempat bersuara. Sedemikian banyak penderitaan; sedemikian banyak kenangan buruk; sedemikian banyak kemarahan, frustrasi, kepahitan dan kemalangan menyakitkan manusia. Dan semua itu entah bagaimana terpusat di satu titik. Lalu sambil saya lanjut merenung dan berdoa, luka dan derita kehidupan saya sendiri muncul untuk ditinjau, dan semua ini pun seolah terkumpul menyatu dengan jelas dan kuat di satu tempat itu. Saat itu – ada sekitar dua atau tiga jam, di tempat di mana penderitaan dunia terkonsentrasi – kehadiran Yesus sang Mesias terasa sangat intens, semakin merupakan realitas yang sentral. Akhirnya saya keluar ke tempat yang diterangi sinar matahari, dengan perasaan seolah telah dicuci bersih secara spiritual dan emosional, dan dengan pengertian atau setidaknya kilasan pengertian baru tentang apa maksudnya bahwa satu tindakan di satu tempat dan satu waktu entah bagaimana dapat menarik semua pengharapan dan ketakutan segala zaman. Itulah pengalaman saya menjadi seorang peziarah.

            Apa yang saya temukan hari itu, yang tetap bersama saya sembilan tahun sesudahnya, adalah sesuatu yang sedikit orang rasionalistik dan sedikit teolog dualistik sanggup menerimanya: bahwa tempat dan bangunan dapat sungguh membawa kenangan, kuasa dan pengharapan, dan bahwa tempat-tempat di mana Yesus berjalan dan bicara, menderita, mati dan bangkit kembali dapat sungguh menggemakan arti yang Ia maksudkan. Tentunya, seperti anak-anak dalam kisah C. S. Lewis, Berkelana di Narnia, kita masuk ke dalam lemari pakaian untuk menguji hal tadi secara ilmiah, tanpa menemukan sesuatu yang luar biasa. Kita akan kedapatan menggerutu tentang komersialisasi, atau fasilitas toilet yang kurang memadai, atau harga kopi. Tetapi jika dengan rendah hati, kita masuk ke balik permukaan hiruk pikuk tersebut, dan menantikan Allah dalam keheningan hati kita, sukar diceritakan tentang apa yang dapat kita dengar, apa yang dapat kita temukan, dan bagaimana kita akan berubah.

            Lalu, apakah saya kini menolak anggapan saya dulu bahwa Perjanjian Baru tidak mendukung adanya fokus geografis apa pun untuk ibadah dan kehidupan Kristen? Tidak dan ya. Di satu pihak, tidak: dalam Perjanjian Baru tidak ada yang kini dikenal sebagai Tanah Suci.  Dalam cara yang dipahami oleh kebudayaan Yahudi, kematian Yesus di luar tembok kota Yerusalem (dulu) tampak telah membuat status suci Tanah itu berakhir. Bapa kini mencari para penyembah dari seluruh dunia, yang akan menyembah Dia dalam roh dan dalam kebenaran. Di pihak lain, ya: dunia ini seluruhnya, dan semua tempat di dalamnya, kini dianggap suci. Dalam Kitab Kisah para Rasul, seluruh dunia telah menjadi Tanah Suci baru, dengan Gereja memainkan peran Yosua kepada peran Musanya Yesus, pergi ke berbagai tempat baru untuk menjadikannya tawanan bagi rajanya yang sejati. Hanya, dengan perubahan dari Tanah Suci ke Dunia Suci terjadi juga perubahan dalam metode pemenangannya. Jika Yesus yang tersalib dan bangkit adalah Tuhan atas seluruh dunia, senjata untuk menegakkan kerajaan-Nya adalah yang datang dari injil: yaitu penderitaan dan kasih. Dan kerajaan itu tidak akan sepenuhnya ditegakkan sampai akhirnya nanti, Allah bertindak kembali, untuk sepenuhnya mengimplementasikan pencapaian Yesus dan dengan demikian membebaskan seluruh kosmos. Itulah yang dibicarakan dalam Roma 8, 1 Korintus 15 dan Wahyu 21, 22, dan juga oleh Yesaya dan para nabi lain, saat ketika Allah akan menjadi semua dalam semua, ketika seluruh bumi akan penuh dengan pengenalan akan Tuhan seperti air memenuhi lautan. Sebagai para pengikut Kristus yang telah bangkit, kita diundang baik untuk merenungkan tempat di mana Ia pernah ada dan menyadari bahwa mengikut Dia berarti jauh lebih daripada sekadar soal geografis. “Mari, lihatlah tempat itu” memang penting, tetapi harus diimbangi dengan “Ia tidak ada di sini, Ia sudah bangkit.”

            Melaluinya kita tiba di pokok yang menurut kesan saya menjadi ciri posisi teologis Paulus yaitu yang disebut “kini dan belum.” Di satu pihak, tempat tertentu masih khusus adanya sebab keberkaitan mereka dengan Yesus sendiri, atau dengan salah satu dari mereka yang didiami oleh Roh dan menghidupi kehidupan Kristus. Di pihak lain, Allah yang kita kenal dalam Yesus mengklaim seluruh dunia, dan semua bangsa di dalamnya, sebagai milik-Nya; dan ketika Allah ini disembah, di igloo (rumah salju orang Eskimo) di Kutub Utara atau di pondok tanah liat di katulistiwa, di katedral megah atau di rumah sakit kumuh, di spot mana pun dalam ruang maupun dalam waktu ciptaan Allah, semua itu dengan tenang diklaim sebagai milik-Nya. Dengan demikian kehidupan Kristen dan perjalanan ziarah Kristen kita, mengambil tempat dan waktu antara kehidupan Yesus dan pemulihan Allah atas seluruh ciptaan. Seperti juga halnya dengan sakramen, ziarah menatap ke belakang, ke tindakan-tindakan agung yang menjadi kenangan, dan ke saat penyelamatan akhir kelak. Dan dengan perenungan itu, sekali lagi kita dapat menggunakan Perjanjian Lama dengan tema agung pengembaraan umat Allah, bukan sekadar sebagai alegori untuk perjalanan rohani kita sendiri, tetapi sebagai kisah tahap awal dalam penyingkapan rencana Allah untuk dunia-Nya.

            Kenangan pribadi yang tersebar tak beraturan ini tentu belum membentuk suatu teologi lengkap tentang ziarah, juga saya tidak ingin mengusulkan hal itu dalam buku ini. Tetapi saya ingin menggambarkan semua pemikiran ini ke dalam tiga proposisi tentang ziarah, khususnya ziarah ke Tanah Suci, yang menurut saya merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan.

            Agar tidak disalah mengerti, saya mendahului dengan tiga peringatan. Pertama, pergi ke tempat-tempat suci bukan suatu keharusan atau juga tidak merupakan prasyarat yang memadai, untuk menjadi seorang Kristen yang baik. Banyak orang kudus yang tidak pernah pergi dari desa kelahiran mereka. Banyak peziarah yang pulang dari pengalaman ziarah menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik. Pikirkan sebagai contoh, perang salib. Kedua, perjalanan ziarah selalu berjingkat di bentangan tali di atas kancah komersialisasi. Demikianlah nyatanya entah di Lichfield atau Yerusalem, Westminster Abbey atau Tepi Barat Yordan. Kenyataan ini tidak membuat ziarah menjadi tidak sah; hanya ini berarti bahwa baik mereka yang mengorganisir dan menentukan tempat-tempat yang akan diziarahi, dan mereka yang berziarah, perlu hati-hati tentang motif mereka. Ketiga, tetap merupakan fakta bahwa pada intinya Kekristenan bukan agama teritorial. Kekristenan tidak utamanya tentang penaklukan tanah dan kerajaan, tetapi tentang keadilan dan kemurahan Allah yang menjangkau untuk memeluk seluruh dunia dalam Yesus Kristus dan oleh Roh Kudus. Saya percaya bahwa pemerintahan Yesus Kristus yang adil dan lembut jauh lebih bermanfaat dampaknya pada masyarakat yang berusaha untuk hidup di bawahnya daripada segala pemerintahan lain yang ada dalam dunia ini; tetapi justru karena kepercayaan inilah saya dicegah dari mendukung pengerahan kekuatan melawan mereka yang memilih jalan hidup bebeda.

            Kini tiga proposisi dari saya tentang perjalanan ziarah masa kini. Saya urutkan menurut kepentingannya. Pertama, ziarah ke tempat-tempat suci memiliki peran bernilai dalam pelayanan pengajaran gereja. Kecuali Anda kurang berimajinasi, saya duga Anda tidak akan kembali dari Tanah Suci (dan sampai batas tertentu, juga dari tempat-tempat ziarah bersejarah lainnya) tanpa wawasan segar ke dalam semua jenis aspek kisah alkitabiah, khususnya Injil-injil. Anda mungkin secara prinsip telah belajar tentang hal-hal tersebut dari buku, kuliah dan video, tetapi ada sesuatu yang berbeda dengan Anda berada langsung di tempatnya, yang menurut sementara orang seolah masuk ke hati semuanya itu. Orang yang dibawa berkeliling Tanah Suci kerap berkata, “O, saya mengerti – begitu rupanya yang terjadi.” Bunyi denting mata uang berjatuhan sering mengiringi ziarah Tanah Suci, dan kini saya bukan bicara tentang komersialisasi.

            Kedua, ziarah ke tempat suci adalah suatu dorongan dan undangan ke dalam doa. Mereka yang seperti saya, berbagi kesempatan istimewa menyembah dan berdoa teratur di tempat kudus, tahu benar bagaimana mereka yang datang secara teratur didorong untuk berdoa oleh bangunan sedemikian itu. Betapa lebih lagi bila kita mengunjungi tempat-tempat di mana Yesus pernah tinggal! Suatu pagi di Nazaret saya berjalan ke atas bukit di belakang hostel dan duduk dalam sorotan fajar awal di bawah pohon zaitun yang sudah sangat tua. Tiba-tiba teringat oleh saya bahwa pasti Yesus juga pernah mendaki bukit yang sama, dan sebagai anak kecil bermain di bawah pohon-pohon zaitun. Saya tidak dapat mengungkapkan kesan hangat yang ditimbulkan oleh pikiran tersebut. Saya merasa seolah saya bisa meraih-Nya dan memeluk-Nya. Banyak orang merasakan hal yang sama ketika berada di sekitar Laut Galilea.

            Ketiga, ziarah ke tempat suci, meski tidak harus dan tidak cukup untuk kehidupan Kristen, banyak kali dapat memengaruhi pertumbuhan kemuridan secara riil dan mendalam. Boleh jadi itu berkait dengan kenyataan bahwa sesudah bepergian jauh dari tempat tinggal, kita mencari sesuatu yang kita belum ketahui. Keberadaan ziarah yang mirip pengalaman Abraham ini sendiri merupakan suatu tindakan iman, menyiapkan kita bagi dan menopang kita dalam tindakan iman lain. Surat Ibrani berbicara tentang iman sebagai “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat,” dan, dalam bagian yang sama memaparkan Abraham dan para kudus lain zaman purba sebagai “menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.” Kita diundang untuk turut dengan mereka dalam ziarah.

            Rujukan ke kota surgawi, yang tidak pernah letih saya tekankan, tidak berarti bahwa rumah masa depan umat Allah kelak akhirnya adalah surga nir-raga. Maksudnya, realitas masa depan yang Allah berikan untuk dunia, sekarang ini terpelihara aman di surga, sampai hari ketika Allah akan melahirkan Yerusalem baru, turun dari surga ke bumi, dan dengan demikian menggabungkan surga dengan bumi menjadi satu, dan bukan meniadakan bumi dengan mendatangkan surga. Sekali kita menangkap kebenaran ini, menjadi sangat beralasan untuk melihat ziarah sendiri sebagai suatu metafora, bahkan sebagai suatu sakramen, untuk dan tentang kemajuan ziarah sepanjang kehidupan kini sampai ke kehidupan yang akan datang. Seperti semua sakramen, ia terbuka untuk penyalahgunaan dengan diperlakukan secara magis, seolah bepergian ke tempat tertentu otomatis mendatangkan anugerah kue surgawi. Tetapi penyalahgunaan tidak menghapuskan penggunaan yang benar. Perjalanan ziarah kita sungguh dapat menjadi suatu alat anugerah, jika kita mendekatinya secara benar.

            Harapan dan doa saya, untuk semua yang berziarah, ialah bahwa mereka boleh memanfatkan waktu ziarah secara tepat: ya, belajar hal baru; ya, berdoa doa-doa baru; tetapi yang paling utama ialah melangkah secara baru sepanjang jalan kemuridan yang membawa dari kota bumiah ke kota surgawi yang akan datang, yang dibangun dan dicipta oleh Allah. Dengan harapan inilah buku ini kini mengundang para pembaca untuk mengikuti Jalan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar