Selasa, 31 Januari 2012

Hidup bersama Bapa

Bapamu
Matius 6:1


Pokok utama dalam Matius 6 ialah: Hidup bersama Allah sebagai Bapa surgawi kita. Bacalah seluruh pasal ini dengan mengingat konteks ini. Yesus mendesak kita untuk melihat diri kita sebagai anak-anak Allah dan melihat Dia, berpikir tentang Dia, dan berdoa kepada Dia sebagai Bapa kita. Dengan demikian, Ia berkata: Hiduplah sambil mengingat “Bapa kita”; waktu berdoa, katakan “Bapa kami.”

            Kita tahu betapa penting citra diri seseorang; ia memrogram pikiran, pengharapan, dan sikap emosionalnya. Yesus ingin kita memiliki citra diri anak yang hidup dengan kasih dan dikasihi oleh bapa mereka. Mengenal Allah sebagai bapa kita – Bapa kita yang Mahakuasa, dan mengasihi – adalah aspek tertinggi, terkaya dan paling berdampak positif dalam seluruh relasi kita dengan-Nya.

            Dalam kapasitas-Nya sebagai hakim, Allah telah memberkati kita dengan karunia pembenaran melalui kematian Yesus yang menyelamatkan. Tetapi hakim yang telah melepaskan tertuduh dari tuduhan, biasanya tidak memiliki hubungan berkelanjutan dengannya. Jadi kita perlu beranjak dari pemikiran tentang Allah sebagai hakim ke pemikiran tentang Allah sebagai bapa dengan semua implikasi kebaikan, kemurahan, pemeliharaan, kepedulian, dan keakraban di dalamnya, beserta pemikiran tentang warisan yang disediakan-Nya bagi mereka yang diangkat ke dalam keluarga-Nya dan dijadikan pewaris bersama Kristus.

            Jadi, kita adalah anak-anak dalam keluarga Allah yang rajani; hukum Allah adalah peraturan keluarga; berkat untuk orang bahagia yang dipaparkan dalam Ucapan Bahagia (Mat. 5:3-12), adalah berkat anak rajani. Kebanyakan para pelayan Kristen yang setia seolah merendahkan pemikiran tentang Allah sebagai Bapa surgawi ini. Seharusnyalah pemikiran ini menjadi tema sentral dalam semua pengajaran dan pelajaran tentang kemuridan.


Telusuri Matius 6, catat apa yang Bapa surgawi kita yang sempurna itu lakukan untuk kita.

Ubah pemikiran ini ke dalam pujian, kini dan sepanjang hari sambil Anda hidup bersama Bapamu.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Senin, 30 Januari 2012

Allah kasih adanya

Allah kasih adanya
1 Yohanes 4:8


“Allah kasih adanya” adalah kebenaran lengkap tentang Allah sejauh menyangkut diri orang Kristen. Mengatakan bahwa “Allah terang adanya” berarti kekudusan Allah menyatakan diri dalam segala sesuatu yang Ia katakan dan lakukan. Demikian juga, pernyataan “Allah kasih adanya” berarti kasih-Nya terungkap dalam segala sesuatu yang Ia katakan dan lakukan. Bahwa masing-masing kita boleh mengetahui kebenaran ini adalah hiburan terkuat kita sebagai orang Kristen. Dalam salib Kristus kita mendapatkan jaminan, bahwa masing-masing kita adalah para kekasih Allah. Masing-masing kita dapat mengatakan kebenaran, bahwa “Anak Allah… telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal. 2:20); sambil mengetahui bahwa Ia sanggup menerapkan bagi diri-Nya janji bahwa segala sesuatu bekerja bersama demi kebaikan untuk orang yang mengasihi Allah dan yang terpanggil sesuai maksud Allah (Rm. 8:28). Perhatikan, bukan hanya beberapa hal, tetapi segala sesuatu!

            Satu per satu dari segala kejadian yang dialami orang Kristen menyatakan kasih Allah dan memajukan rencana-Nya untuknya. Jadi, sejauh menyangkut dirinya, Allah adalah kasih untuknya – kasih yang kudus, mahakuasa – pada segala saat dan dalam tiap peristiwa keseharian hidup. Bahkan ketika ia tidak mengerti alasan dan tujuan tindakan Allah, ia tahu bahwa ada kasih di balik semua hal itu dan karena itu ia dapat bersukacita selalu; bahkan ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, ia tahu bahwa hakikat terdalam kehidupannya, ternyata “dari awal sampai akhir dipenuhi oleh kemurahan-Nya” – dan karena itu ia puas.


Apakah Anda percaya bahwa setiap kejadian dalam hidup Anda adalah ungkapan kasih Allah untuk Anda?

Bicarakan dengan Allah hal-hal dalam kehidupan Anda yang masih belum Anda mengerti!

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Minggu, 29 Januari 2012

Satu Kisah

Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.
Yohanes 17:17
 

Alkitab adalah suatu perpustakaan – terdiri dari dua koleksi tersendiri, yang pertama terdiri dari tigapuluh sembilan buku yang ditulis lebih dari satu milenium, yang satu lagi mengandung duapuluh tujuh tulisan yang ditulis kurang dari satu abad. Sebagian dari buku-buku ini adalah narasi historis, sebagian khotbah, sebagian puisi, sebagian visi, dan satu adalah buku lagu pujian dan doa yang mengandung 150 bahan terpisah. Namun kita menyatukan karya sastra yang begitu beragam itu ke dalam dua jilid dalam satu kitab, hal yang memang tepat. Mengapa?

            Pertama, semua buku itu menceritakan kisah yang sama; keterpaduan isi semua buku itu dalam memberitakan sang Pencipta yang bertindak dalam penyelamatan sungguh mencengangkan.

            Kedua, semua penulis buku-buku itu merenungkan Allah dari kisah mereka; bahwa Allah melangkah keluar dari halaman-halaman itu ke dalam kehidupan kita adalah suatu pengalaman standar untuk semua orang Kristen.

            Ketiga, seperti yang diajarkan oleh Yesus dan para rasul, Alkitab adalah ajaran dari Allah sendiri, yang diberikan oleh Roh Kudus untuk memimpin kita kepada Kristus dan melalui-Nya ke dalam hidup kekal. Ini yang kita maksud waktu mengatakan bahwa Alkitab diinspirasikan (2Tim. 3:15-17).

            Mengapa kita harus memercayai Alkitab? Sebab ia bukan saja merupakan kesaksian manusia kepada Allah, tetapi terutama ia juga adalah kesaksian Allah kepada diri-Nya sendiri dalam dan melalui kesaksian para hamba-Nya; dan kita boleh memastikan bahwa apa yang Allah katakan benar adanya. Inilah iman yang kita akui ketika kita menyebut Alkitab tidak bersalah.
 

Berusahalah menulis dalam kata-kata Anda sendiri kisah utama seluruh Alkitab seolah sedang menjawab pertanyaan: Berikanlah secara ringkas apa yang dibicarakan oleh buku ini?

Tuhan, perlihatkanku di mana kelemahan pengertianku tentang kisahMu dan tolong aku mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Sabtu, 28 Januari 2012

Menerapkan Firman

Aku hendak merenungkan titah-titah-Mu dan mengamat-amati jalan-jalan-Mu.
Mazmur 119:15

Selain membaca dan mengerti isi Alkitab, semua orang Kristen perlu menerapkannya ke dalam hidup keseharian kita. Jangan sampai sesudah menelaah Alkitab timbul kesan bahwa semua itu hanya menyangkut Allah dan umat-Nya dua-tiga ribu tahun yang lalu, dan tidak berkenaan dengan kita masa kini.

            Untuk mempelajari arti Alkitab kita perlu mendapatkan pertolongan antara lain dari tafsiran. Tetapi jika menyangkut aplikasi, buku tafsiran tidak akan memberikan pertolongan. Sebab, tafsiran memusatkan perhatian pada sisi teknis seperti eksegesis, konteks historis, dan semacam itu agar Anda mendapatkan arti bagian Alkitab tertentu.

            Tetapi yang kita perlu ialah mengetahui makna bagian Alkitab tertentu untuk kita – dengan kata lain, bagaimana sangkutannya untuk masa kini. Dalam hal ini tafsiran tidak begitu menyoroti.

            Martin Luther berkata, “Doa, perenungan, dan pencobaan membentuk seorang teolog.” Yang ia maksud dengan “teolog” ialah orang yang dapat menerima dan menerapkan Alkitab. Yang ia maksud dengan pencobaan ialah disiplin untuk hidup bagi Allah bahkan ketika berbagai tekanan berlawanan berdatangan.

            Saya percaya Luther benar. Ketiga hal tadi akan menolong kita menangkap apa aplikasi Alkitab untuk kita. Meski tafsiran memberitahukan arti bagian Alkitab dalam konteks historis, hanya Roh Allah yang sungguh memperlihatkan kepada kita apa yang Alkitab katakan untuk kita dan orang lain saat ini. Pelayanan Roh ialah memberikan pencerahan. Studi historis tentang apa arti teks ketika ia pertama dituliskan tidak menjawab pertanyaan kita tentang apa aplikasinya, dan sampai pertanyaan itu dijawab Alkitab belum sungguh kita mengerti dengan benar.
 

Jika Anda merenungkan Alkitab setiap hari, apakah pertanyaan “lalu apa makna teks ini untukku” terus menerus Anda ingat dan doakan?

Tuhan, buatlah aku lebih tenang supaya aku sungguh dapat merenungkan apa makna Alkitab sesungguhnya bagiku.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - karangan Dr James I Packer

Jumat, 27 Januari 2012

TANAH SUCI - Ziarah Hari Ini

Suatu Introduksi Pribadi (Dari Buku Jalan Tuhan oleh N. T. Wright)
 

Dengan mempertimbangkan asal usul saya, adalah mengherankan untuk saya kini bahwa saya tidak tertarik pada ziarah jauh hari sebelumnya.

            Saya dilahirkan dan dibesarkan di Northumberland pusat, tempat terbitnya Kekristenan awal di Inggris (dan praRoma). Kakek saya adalah Diaken Agung dari Lindisfarne, sebuah pulau yang selama 1500 tahun datang dan pergi pernah menjadi titik perhatian perjalanan ziarah. Namun, tidak saja ia tidak tinggal di pulau itu sendiri; sepanjang masa pertumbuhan saya tidak pernah ada dari keluarga, atau dari gereja kami, yang bahkan pernah mempertimbangkan untuk “mengadakan ziarah” ke sana. Kami ke sana satu dua kali untuk melancong, seperti ketika kami pergi ke tempat-tempat lain semisal Hexham, Alnwick, Bamburgh atau Tembok Roma. Tetapi kunjungan tersebut tidak secara spesifik dikaitkan dengan Kekristenan atau aspek religius lain. Kebutuhan seorang Kristen dianggap telah dipenuhi dengan baik dan benar dengan beribadah teratur di gerejanya sendiri, dengan membaca Alkitab dan menyampaikan doa-doanya. Apa untungnya pergi ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama? Penilaian yang sama berlaku juga untuk kunjungan ke biara tua, juga termasuk ke katedral-katedral agung seperti di Durham. Meski tempat-tempat itu memang penuh sejarah dan daya tarik, tetapi orang tidak menjadi lebih dekat Allah di sana daripada di gereja sendiri, atau bahkan dari saat ketika orang berlutut dalam doa pribadi di tepi tempat tidurnya.

            Saya duga ada lagi pengaruh lain yang bekerja di bawah permukaan. Gereja-gereja lain melakukan ziarah. Gereja kami yang lebih berciri tenang dan menjaga keseimbangan, tidak melakukan hal yang dianggap agak pamer tersebut. Dan orang yang didengar pernah pergi berziarah memiliki ciri yang tidak sama dengan kami. Ada pun tentang Tanah Suci sendiri, banyak kerabat yang telah pergi ke Timur Tengah, semasa wajib militer atau liburan. Mereka pulang membawa cindera mata, tetapi tidak pernah bercerita, sedikitnya bukan ke saya, tentang implikasi Kristen dari kunjungan tersebut. Akibatnya, saya sama sekali tidak pernah berpikir tentang ziarah, atau mempertimbangkannya sebagai suatu pilihan hidup. Saya tidak menolak ide itu, hanya saja ia tidak tersedia sebagai suatu kemungkinan. Jadi, meski saya pernah tinggal dalam salah satu wilayah ziarah penting di Inggris, saya hampir tidak tahu apa pun tentangnya.

            Sikap tidak mempertimbangkan perjalanan ziarah ini makin dikuatkan oleh pengajaran besifat injili yang saya terima dan serap dengan penuh gairah semasa usia remaja. Realitas dan kehangatan kehadiran Allah, keajaiban kasih-Nya secara pribadi untuk saya yang diberlakukan dalam Yesus, pengalaman hidupnya Alkitab, nikmatnya persekutuan Kristen dan doa, serta ajakan untuk mengikut Yesus dan melayani Dia, terasa cukup untuk hidup ini. Di dalam pengaruh iklim filosofis yang menekankan dimensi “pribadi” dari sesuatu, orang cenderung untuk menganggap kepentingan dimensi “institusional” sebagai sesuatu yang keliru atau tidak bermanfaat. Bangunan gereja dianggap sebagai sesuatu yang jahat; memang orang harus berkumpul dalam sebuah tempat yang lebih besar daripada rumah, tetapi untuk itu cukup sebuah tenda besar atau gedung bioskop yang tak terpakai. Jika saya dapat bertemu Yesus Kristus secara pribadi dalam sebuah tenda di tanah tinggi Skotlandia, mengapa saya harus pergi ke sebuah bangunan gereja untuk melanjutkan pengalaman itu?

            Memang ada kesan kuat bahwa “tempat” dan bangunan dapat sungguh diperlakukan demikian. Orang dapat dengan mudah menganggap bahwa pergi ke suatu tempat tertentu, atau mengikuti suatu ritual tertentu, dapat membuat Anda mendapat perkenan Allah. Itu adalah semacam “kebenaran karena perbuatan”, yang menjauhkan Anda dari iman sederhana kepada apa yang telah Allah lakukan dalam Yesus Kristus. Dalam ziarah tercakup berbagai ritual, peninggalan yang dikramatkan, api penyucian dan berbagai macam kesesatan yang syukurnya telah ditolak oleh Reformasi. Dalam pandangan sementara orang Protestan, orang Kristen Katolik di satu pihak telah bersalah melakukan penyembahan berhala secara teratur dan di lain pihak memperjuangkan kebenaran melalui perbuatan. Tentang penyembahan berhala: mereka menyembah benda kramat, patung, bangunan, sakramen; mereka bahkan membuat benda-benda kramat tiruan, (sebagai contoh) menurut status kekudusan benda-benda tertentu, seperti sapu tangan yang pernah disentuhkan ke kubur seorang santo. Tentang kebenaran melalui perbuatan: mereka berpikir bahwa dengan melakukan hal-hal tertentu, pergi ke tempat tertentu, beribadah dalam situs kudus tertentu, mereka akan memperoleh perkenan Allah yang khusus, dengan cara yang melanggar doktrin alkitabiah tentang anugerah dan iman.

            Cara berpikir demikian itu, yang saya dapatkan semasa remaja, mengklaim pemberlakuan Alkitab dengan kuat, meski dengan harga yang harus dibayar. Bukankah Yesus berkata dalam Injil Yohanes bahwa ibadah yang benar tidak berkait dengan entah seseorang ada di Yerusalem atau Samaria, tetapi semata soal beribadah kepada Allah dalam roh dan kebenaran? Paulus menyatakan bahwa Yerusalem yang sekarang ini hidup dalam perhambaan bersama anak-anaknya (Gal. 4:25); sedangkan yang menjadi ibu bagi kita semua ialah Yerusalem di atas, yaitu kota merdeka sejati. Tentu saja itu berarti, bahwa semua kesinambungan arti dengan fokus geografis Perjanjian Lama, dengan ide tentang ziarah ke kota suci, telah ditolak. Aspek injili yang demikian ini, selalu mengandung bahaya kemasukan sikap Marcionisme, meski betapa pun kuatnya orang mengakui seluruh Alkitab sebagai Firman Allah. (Marcion, bidat abad kedua di Roma, mengajar bahwa Allah orang Yahudi tidak sama dengan Allah yang dinyatakan dalam Yesus, dan bahwa Perjanjian Lama tidak banyak kepentingannya dengan Perjanjian Baru).

            Tak seorang pun menurut saya, bahkan pernah menantang saya tentang ini. Andai mereka lakukan itu, saya pikir akan saya jawab dengan mengalegorikan ajaran Perjanjian Lama tentang ziarah, dengan mencari suatu “arti rohani” untuk menghindari fakta bahwa saya tidak serius menerima yang harfiah. Intinya, semua perhatian pada institusi bumiah, termasuk menyanyi dan menari tentang ziarah, harus dilihat sebagai usaha mengejar kebenaran melalui perbuatan yang dilakukan oleh orang Yahudi, dan yang ditentang oleh Yesus dan Paulus. Maka kecurigaan saya terjamin penuh atas dasar otoritas tertinggi. Saya tidak lagi mempertimbangkan untuk melakukan ziarah seperti halnya saya tidak ingin mencium cincin Paus.

            Tidak mudah memaparkan, apalagi memberikan alasan, tentang bagaimana pikiran saya mengalami perubahan (tentang ziarah, bukan tentang cincin Paus). Hal itu banyak disebabkan oleh perubahan secara lambat dari berbagai bentuk dualisme, yang merupakan kecenderungan paham injili, ke kesadaran akan kualitas sakramental dari seluruh dunia ciptaan Allah ini. Protestanisme dengan teratur telah merendahkan kebaikan Allah dalam tata ciptaan, atas dasar anggapan bahwa ciptaan telah dirusak oleh dosa, tunduk kepada kefanaan, dan bahwa jika Anda menyembahnya Anda menjadi penyembah berhala. Katolikisme dalam bentuknya terbaik (saya memasukkan di bawah kelompok ini jauh lebih luas dari hanya Roma Katolik), tidak menganjurkan penyembahan ciptaan, melainkan penemuan akan Allah yang berkarya dalam ciptaan. Dengan inkarnasi sendiri menjadi contoh jelas dan utama, dan tidak jauh di belakangnya sakramen baptisan dan perjamuan kudus, orang dapat mulai menemukan kehadiran Allah tidak saja dalam dunia secara kebetulan, tetapi melalui dunia: khususnya melalui hal-hal yang berbicara tentang Yesus sendiri, seperti halnya jelas dilakukan oleh baptisan dan perjamuan kudus, dan sebagaimana yang dinyatakan oleh kehidupan para orang kudus.

            Bahkan kultus kepada benda-benda peninggalan dapat dijelaskan, meski untuk pertimbangan saya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, yaitu dalam terang anugerah Allah yang bekerja dalam kehidupan jasmani orang yang bersangkutan. Bahkan sesudah kematian mereka (demikian argumen yang diberikan) tubuh mereka dapat dianggap sebagai tempat di mana anugerah khusus dan kehadiran Allah telah sungguh diperkenalkan. Dalam terang itu, tempat-tempat di mana para santo pernah hidup, gereja dibangun, mereka dikuburkan, menjadi semacam peninggalan kedua yang dianggap kudus. Dan utamanya, tempat di mana Yesus pernah jalan dan bicara, dilahirkan, hidup, mati dan bangkit, dilihat oleh sebagian orang, merupakan tanda-tanda efektif tentang kehadiran dan kasih-Nya, sebagai alat-alat anugerah yang efektif.

            Penguatan jalan berpikir tadi telah datang secara mengejutkan ketika saya menemukan kehadiran Allah dalam tempat dan bangunan tertentu, secara yang tidak saya harapkan. Di awal 1980an, ketika kami tinggal di Montreal, putra saya yang lebih tua bersekolah di sebuah sekolah milik pemerintah kota yang beberapa tahun sebelumnya telah dibeli oleh United Church of Canada, sebuah gereja besar yang terletak tepat di depan bangunan utama sekolah itu. Sebagai gereja berstruktur modern, ia tidak kelihatan seperti gereja, dan mereka menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan yang sangat tidak terkesan gerejawi, semisal konser musik rock, dlsb. Pertama kali saya ke sana, ke kesempatan yang sangat “sekuler”, saya terpana. Saya masuk dan merasakan kehadiran Allah, yang lembut namun kuat. Saya duduk di konser berisik itu sambil bertanya-tanya apakah saya satu-satunya orang yang merasakan itu, dan merenungkan fakta bahwa saya tidak memiliki teologi untuk menjelaskan mengapa sebuah gereja United yang besar merasakan itu. Sampai hari ini satu-satunya jawaban yang saya dapat ialah bahwa ketika Allah dikenal, dicari dan digumuli dalam sebuah tempat, kenangannya akan terus membekas, sehingga mereka yang mengenal dan mengasihi Allah dapat merasakannya. Sejak kejadian itu saya menemukan tempat-tempat yang juga terkesan sekuler namun menimbulkan dampak yang sama.

            Tetapi contoh paling utama dalam kehidupan saya, datang pada kunjungan pertama saya ke Gereja Makam Kudus (Holy Sepulcher) di Yerusalem. Kejadiannya di tahun 1989. Intifada Arab yang melawan pemerintah Israel, sedang sengit-sengitnya. Saya terbang ke Israel pada Minggu Palem, dan tinggal dua atau tiga hari untuk menyesuaikan diri, menemukan bawaan saya, dan beradaptasi dengan keadaan sekitar. Sengaja saya tidak pergi ke Gereja Makam Kudus, yang dibangun di atas dan sekitar Kalvari, sampai Jumat Agung, ketika saya bergabung dengan kelompok yang di waktu subuh menjalani Jalan Salib. Saya ingin agar kunjungan pertama saya ke gereja itu terjadi dalam konteks penyembahan yang memadai, bukan sebagai turis. Tentu saja saya telah diberikan peringatan tentang dua kejahatan nyata yang mengerumun di tempat-tempat penting: persaingan antara berbagai denominasi, dan komersialisasi apa pun yang tampak. Semua itu terlihat jelas. Bahkan, ketika saya berdiri di tempat di mana Yesus disalibkan, saya terdesak ke pinggir oleh serombongan rahib muda Armenia yang bermaksud menyampaikan upacara doa mereka. Tetapi saya menemukan sebuah sudut di sisi bangunan dengan kapel yang terkesan tenang, jauh dari hiruk pikuk; dan sepagian saya ada di sana.

            Sementara saya berpikir dan berdoa di tempat itu, beberapa meter saja dari tempat di mana Yesus disalibkan, entah bagaimana saya merasakan sesuatu yang sukar dijelaskan, yaitu bahwa semua penderitaan dunia ini seolah terkumpul di sana. Hari-hari sebelumnya di jalan saya telah melihat dan mendengar kemarahan dan penderitaan orang Palestina. Di jalan-jalan yang lain saya melihat juga paranoia dan kenangan menyakitkan orang Israel. Orang-orang Armenia yang mendesak tempat saya di gedung gereja itu, juga memikul kenangan mereka sendiri tentang genosida yang mereka tanggung, dan lebih buruk lagi sebab mereka hampir tidak sempat bersuara. Sedemikian banyak penderitaan; sedemikian banyak kenangan buruk; sedemikian banyak kemarahan, frustrasi, kepahitan dan kemalangan menyakitkan manusia. Dan semua itu entah bagaimana terpusat di satu titik. Lalu sambil saya lanjut merenung dan berdoa, luka dan derita kehidupan saya sendiri muncul untuk ditinjau, dan semua ini pun seolah terkumpul menyatu dengan jelas dan kuat di satu tempat itu. Saat itu – ada sekitar dua atau tiga jam, di tempat di mana penderitaan dunia terkonsentrasi – kehadiran Yesus sang Mesias terasa sangat intens, semakin merupakan realitas yang sentral. Akhirnya saya keluar ke tempat yang diterangi sinar matahari, dengan perasaan seolah telah dicuci bersih secara spiritual dan emosional, dan dengan pengertian atau setidaknya kilasan pengertian baru tentang apa maksudnya bahwa satu tindakan di satu tempat dan satu waktu entah bagaimana dapat menarik semua pengharapan dan ketakutan segala zaman. Itulah pengalaman saya menjadi seorang peziarah.

            Apa yang saya temukan hari itu, yang tetap bersama saya sembilan tahun sesudahnya, adalah sesuatu yang sedikit orang rasionalistik dan sedikit teolog dualistik sanggup menerimanya: bahwa tempat dan bangunan dapat sungguh membawa kenangan, kuasa dan pengharapan, dan bahwa tempat-tempat di mana Yesus berjalan dan bicara, menderita, mati dan bangkit kembali dapat sungguh menggemakan arti yang Ia maksudkan. Tentunya, seperti anak-anak dalam kisah C. S. Lewis, Berkelana di Narnia, kita masuk ke dalam lemari pakaian untuk menguji hal tadi secara ilmiah, tanpa menemukan sesuatu yang luar biasa. Kita akan kedapatan menggerutu tentang komersialisasi, atau fasilitas toilet yang kurang memadai, atau harga kopi. Tetapi jika dengan rendah hati, kita masuk ke balik permukaan hiruk pikuk tersebut, dan menantikan Allah dalam keheningan hati kita, sukar diceritakan tentang apa yang dapat kita dengar, apa yang dapat kita temukan, dan bagaimana kita akan berubah.

            Lalu, apakah saya kini menolak anggapan saya dulu bahwa Perjanjian Baru tidak mendukung adanya fokus geografis apa pun untuk ibadah dan kehidupan Kristen? Tidak dan ya. Di satu pihak, tidak: dalam Perjanjian Baru tidak ada yang kini dikenal sebagai Tanah Suci.  Dalam cara yang dipahami oleh kebudayaan Yahudi, kematian Yesus di luar tembok kota Yerusalem (dulu) tampak telah membuat status suci Tanah itu berakhir. Bapa kini mencari para penyembah dari seluruh dunia, yang akan menyembah Dia dalam roh dan dalam kebenaran. Di pihak lain, ya: dunia ini seluruhnya, dan semua tempat di dalamnya, kini dianggap suci. Dalam Kitab Kisah para Rasul, seluruh dunia telah menjadi Tanah Suci baru, dengan Gereja memainkan peran Yosua kepada peran Musanya Yesus, pergi ke berbagai tempat baru untuk menjadikannya tawanan bagi rajanya yang sejati. Hanya, dengan perubahan dari Tanah Suci ke Dunia Suci terjadi juga perubahan dalam metode pemenangannya. Jika Yesus yang tersalib dan bangkit adalah Tuhan atas seluruh dunia, senjata untuk menegakkan kerajaan-Nya adalah yang datang dari injil: yaitu penderitaan dan kasih. Dan kerajaan itu tidak akan sepenuhnya ditegakkan sampai akhirnya nanti, Allah bertindak kembali, untuk sepenuhnya mengimplementasikan pencapaian Yesus dan dengan demikian membebaskan seluruh kosmos. Itulah yang dibicarakan dalam Roma 8, 1 Korintus 15 dan Wahyu 21, 22, dan juga oleh Yesaya dan para nabi lain, saat ketika Allah akan menjadi semua dalam semua, ketika seluruh bumi akan penuh dengan pengenalan akan Tuhan seperti air memenuhi lautan. Sebagai para pengikut Kristus yang telah bangkit, kita diundang baik untuk merenungkan tempat di mana Ia pernah ada dan menyadari bahwa mengikut Dia berarti jauh lebih daripada sekadar soal geografis. “Mari, lihatlah tempat itu” memang penting, tetapi harus diimbangi dengan “Ia tidak ada di sini, Ia sudah bangkit.”

            Melaluinya kita tiba di pokok yang menurut kesan saya menjadi ciri posisi teologis Paulus yaitu yang disebut “kini dan belum.” Di satu pihak, tempat tertentu masih khusus adanya sebab keberkaitan mereka dengan Yesus sendiri, atau dengan salah satu dari mereka yang didiami oleh Roh dan menghidupi kehidupan Kristus. Di pihak lain, Allah yang kita kenal dalam Yesus mengklaim seluruh dunia, dan semua bangsa di dalamnya, sebagai milik-Nya; dan ketika Allah ini disembah, di igloo (rumah salju orang Eskimo) di Kutub Utara atau di pondok tanah liat di katulistiwa, di katedral megah atau di rumah sakit kumuh, di spot mana pun dalam ruang maupun dalam waktu ciptaan Allah, semua itu dengan tenang diklaim sebagai milik-Nya. Dengan demikian kehidupan Kristen dan perjalanan ziarah Kristen kita, mengambil tempat dan waktu antara kehidupan Yesus dan pemulihan Allah atas seluruh ciptaan. Seperti juga halnya dengan sakramen, ziarah menatap ke belakang, ke tindakan-tindakan agung yang menjadi kenangan, dan ke saat penyelamatan akhir kelak. Dan dengan perenungan itu, sekali lagi kita dapat menggunakan Perjanjian Lama dengan tema agung pengembaraan umat Allah, bukan sekadar sebagai alegori untuk perjalanan rohani kita sendiri, tetapi sebagai kisah tahap awal dalam penyingkapan rencana Allah untuk dunia-Nya.

            Kenangan pribadi yang tersebar tak beraturan ini tentu belum membentuk suatu teologi lengkap tentang ziarah, juga saya tidak ingin mengusulkan hal itu dalam buku ini. Tetapi saya ingin menggambarkan semua pemikiran ini ke dalam tiga proposisi tentang ziarah, khususnya ziarah ke Tanah Suci, yang menurut saya merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan.

            Agar tidak disalah mengerti, saya mendahului dengan tiga peringatan. Pertama, pergi ke tempat-tempat suci bukan suatu keharusan atau juga tidak merupakan prasyarat yang memadai, untuk menjadi seorang Kristen yang baik. Banyak orang kudus yang tidak pernah pergi dari desa kelahiran mereka. Banyak peziarah yang pulang dari pengalaman ziarah menjadi lebih buruk dan tidak lebih baik. Pikirkan sebagai contoh, perang salib. Kedua, perjalanan ziarah selalu berjingkat di bentangan tali di atas kancah komersialisasi. Demikianlah nyatanya entah di Lichfield atau Yerusalem, Westminster Abbey atau Tepi Barat Yordan. Kenyataan ini tidak membuat ziarah menjadi tidak sah; hanya ini berarti bahwa baik mereka yang mengorganisir dan menentukan tempat-tempat yang akan diziarahi, dan mereka yang berziarah, perlu hati-hati tentang motif mereka. Ketiga, tetap merupakan fakta bahwa pada intinya Kekristenan bukan agama teritorial. Kekristenan tidak utamanya tentang penaklukan tanah dan kerajaan, tetapi tentang keadilan dan kemurahan Allah yang menjangkau untuk memeluk seluruh dunia dalam Yesus Kristus dan oleh Roh Kudus. Saya percaya bahwa pemerintahan Yesus Kristus yang adil dan lembut jauh lebih bermanfaat dampaknya pada masyarakat yang berusaha untuk hidup di bawahnya daripada segala pemerintahan lain yang ada dalam dunia ini; tetapi justru karena kepercayaan inilah saya dicegah dari mendukung pengerahan kekuatan melawan mereka yang memilih jalan hidup bebeda.

            Kini tiga proposisi dari saya tentang perjalanan ziarah masa kini. Saya urutkan menurut kepentingannya. Pertama, ziarah ke tempat-tempat suci memiliki peran bernilai dalam pelayanan pengajaran gereja. Kecuali Anda kurang berimajinasi, saya duga Anda tidak akan kembali dari Tanah Suci (dan sampai batas tertentu, juga dari tempat-tempat ziarah bersejarah lainnya) tanpa wawasan segar ke dalam semua jenis aspek kisah alkitabiah, khususnya Injil-injil. Anda mungkin secara prinsip telah belajar tentang hal-hal tersebut dari buku, kuliah dan video, tetapi ada sesuatu yang berbeda dengan Anda berada langsung di tempatnya, yang menurut sementara orang seolah masuk ke hati semuanya itu. Orang yang dibawa berkeliling Tanah Suci kerap berkata, “O, saya mengerti – begitu rupanya yang terjadi.” Bunyi denting mata uang berjatuhan sering mengiringi ziarah Tanah Suci, dan kini saya bukan bicara tentang komersialisasi.

            Kedua, ziarah ke tempat suci adalah suatu dorongan dan undangan ke dalam doa. Mereka yang seperti saya, berbagi kesempatan istimewa menyembah dan berdoa teratur di tempat kudus, tahu benar bagaimana mereka yang datang secara teratur didorong untuk berdoa oleh bangunan sedemikian itu. Betapa lebih lagi bila kita mengunjungi tempat-tempat di mana Yesus pernah tinggal! Suatu pagi di Nazaret saya berjalan ke atas bukit di belakang hostel dan duduk dalam sorotan fajar awal di bawah pohon zaitun yang sudah sangat tua. Tiba-tiba teringat oleh saya bahwa pasti Yesus juga pernah mendaki bukit yang sama, dan sebagai anak kecil bermain di bawah pohon-pohon zaitun. Saya tidak dapat mengungkapkan kesan hangat yang ditimbulkan oleh pikiran tersebut. Saya merasa seolah saya bisa meraih-Nya dan memeluk-Nya. Banyak orang merasakan hal yang sama ketika berada di sekitar Laut Galilea.

            Ketiga, ziarah ke tempat suci, meski tidak harus dan tidak cukup untuk kehidupan Kristen, banyak kali dapat memengaruhi pertumbuhan kemuridan secara riil dan mendalam. Boleh jadi itu berkait dengan kenyataan bahwa sesudah bepergian jauh dari tempat tinggal, kita mencari sesuatu yang kita belum ketahui. Keberadaan ziarah yang mirip pengalaman Abraham ini sendiri merupakan suatu tindakan iman, menyiapkan kita bagi dan menopang kita dalam tindakan iman lain. Surat Ibrani berbicara tentang iman sebagai “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat,” dan, dalam bagian yang sama memaparkan Abraham dan para kudus lain zaman purba sebagai “menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.” Kita diundang untuk turut dengan mereka dalam ziarah.

            Rujukan ke kota surgawi, yang tidak pernah letih saya tekankan, tidak berarti bahwa rumah masa depan umat Allah kelak akhirnya adalah surga nir-raga. Maksudnya, realitas masa depan yang Allah berikan untuk dunia, sekarang ini terpelihara aman di surga, sampai hari ketika Allah akan melahirkan Yerusalem baru, turun dari surga ke bumi, dan dengan demikian menggabungkan surga dengan bumi menjadi satu, dan bukan meniadakan bumi dengan mendatangkan surga. Sekali kita menangkap kebenaran ini, menjadi sangat beralasan untuk melihat ziarah sendiri sebagai suatu metafora, bahkan sebagai suatu sakramen, untuk dan tentang kemajuan ziarah sepanjang kehidupan kini sampai ke kehidupan yang akan datang. Seperti semua sakramen, ia terbuka untuk penyalahgunaan dengan diperlakukan secara magis, seolah bepergian ke tempat tertentu otomatis mendatangkan anugerah kue surgawi. Tetapi penyalahgunaan tidak menghapuskan penggunaan yang benar. Perjalanan ziarah kita sungguh dapat menjadi suatu alat anugerah, jika kita mendekatinya secara benar.

            Harapan dan doa saya, untuk semua yang berziarah, ialah bahwa mereka boleh memanfatkan waktu ziarah secara tepat: ya, belajar hal baru; ya, berdoa doa-doa baru; tetapi yang paling utama ialah melangkah secara baru sepanjang jalan kemuridan yang membawa dari kota bumiah ke kota surgawi yang akan datang, yang dibangun dan dicipta oleh Allah. Dengan harapan inilah buku ini kini mengundang para pembaca untuk mengikuti Jalan Tuhan.

Membaca dengan Tujuan

Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu. 2 Timotius 2:15

Bagaimana supaya pembacaan kita akan Alkitab memberi pertumbuhan? Ada dua cara berbeda tentang pembacaan Alkitab yang membuat orang mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya darinya. Pertama adalah langsung membacanya berulang kali, untuk mendapatkan perspektif menyeluruh. Yang lainnya ialah mempelajari bagian tertentu secara rinci – memilih beberapa ayat, menempatkannya dalam konteksnya dan menggalinya. Anda boleh menyebut kedua cara itu, cara membaca makrokosmis dan mikrokosmis.

            Untuk kedua cara itu, baiknya membuat beberapa pertanyaan untuk dikenakan kepada teks itu. Berikut adalah pertanyaan yang menolong:

            Apa yang bagian Alkitab ini katakan kepada saya tentang Allah? Orang yang bijak akan selalu membaca Alkitab mulai dari pertanyaan ini.

            Apa yang bagian Alkitab ini perlihatkan tentang hidup? Pertanyaan ini membuka mata saya untuk memerhatikan jalan benar dan salah untuk hidup, berbagai jenis situasi di mana orang menemukan diri mereka, jalan iman dengan kesukaran dan kesukaannya, berbagai keadaan emosi dan pencobaan yang menjebak manusia, dan banyak macam realitas keberadaan manusia seperti yang dipaparkan oleh bagian Alkitab bersangkutan.

            Apa arti semua ini untuk saya dalam hidup saya di sini dan kini? Pada pokok ini saya mulai merenung dan berdoa sambil saya membawa tugas tertentu atau tekanan hidup yang sedang saya hadapi ke bagian Alkitab tersebut, dan mengaitkannya dengan pengenalan akan Allah dan kehendak-Nya serta jalan-jalan yang telah diberikan oleh bagian Alkitab itu kepada saya.


Periksa metode Anda membaca Alkitab dalam terang uraian di atas.

Tuhan, buatlah aku bersedia untuk belajar dan berubah.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu oleh Dr James I Packer

Kamis, 26 Januari 2012

Hidup dalam Fokus

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. 2 Timotius 3:16


Tanpa mengenakan kacamata, saya tidak mungkin melihat wajah Anda dengan jelas. Meski dengan bicara berhadapan itu saya masih tahu bahwa Anda di depan saya, bisa membedakan apakah Anda laki-laki atau perempuan, tetapi hal rinci lain tentang Anda pasti akan luput dari pengamatan saya. Tanpa kacamata, semua orang yang lalu lalang di hadapan saya hanya seperti sosok badan tanpa mengetahui lebih jauh berbagai ekspresi mereka. Kecuali saya memakai kacamata saya.

            Itu adalah salah satu ilustrasi dari Calvin tentang bagaimana kita perlu bantuan Alkitab agar pengenalan kita akan yang ilahi boleh terfokus. Menurut Calvin semua orang memiliki kesan tentang realitas Allah, namun kesan itu samar dan ternoda. Terfokus pada Allah berarti berpikir tepat tentang sifat-Nya, kedaulatan-Nya, keselamatan-Nya, kasih-Nya, Roh-Nya dan semua realitas karya dan jalan-Nya. Juga itu berarti berpikir benar tentang relasi kita dengan-Nya sebagai makhluk di bawah dosa atau di bawah anugerah, apakah kita menghidupi kehidupan iman, harap, dan kasih atau kita tidak merespons-Nya dan tetap dalam kemandulan dan kemuraman hidup kita. Bagaimana kita bisa berpikir tepat tentang semua hal itu? Dengan mempelajarinya dari Alkitab.


Bagaimana memastikan apakah aku terfokus secara rohani?

Tuhan, sementara aku membaca Alkitab, aku berdoa agar aku boleh cukup terbuka untuk mengizinkannya membentuk pemikiranku dan jalanku mencerap semua hal.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Rabu, 25 Januari 2012

Membaca dengan Sikap Benar


Segala tulisan yang diilhamkan Allah.
2 Timotius 3:16


Waktu kita membaca Alkitab, penting kita membacanya sebagai Firman Allah, bukan sebagai kumpulan renungan dan kesaksian manusia semata, di mana sebagiannya benar sebagiannya kurang benar, sehingga tugas kita waktu membaca adalah memilih-milih. Sikap seperti itu sangat menghambat pembacaan Alkitab yang memberi pertumbuhan.

            Dalam pengamatan saya dalam gereja terdapat dua golongan sikap terhadap Alkitab; di satu pihak kebanyakan para gembala memercayai Alkitab datang dari Allah, di pihak lain mereka yang pada dasarnya tidak memercayai itu tetapi menganggap Alkitab adalah kumpulan pikiran dan pengalaman manusia. Sebagian dari kelompok kedua ini tersandung oleh apa yang mereka pelajari di seminari atau di fakultas teologi sebab sudah berkembang tradisi cukup panjang di institusi tersebut penekanan pada aspek manusia, dan memakai banyak waktu untuk membicarakan ketidaksesuaian baik yang sejati maupun yang diada-ada, tentang isi dan perbedaan pandangan antar penulis Alkitab. Suasana itu bisa membuat para pelajar terdampar ke semacam laut relativisme pluralistik, dengan semacam kesan bahwa ada begitu banyak pandangan berbeda dalam Alkitab dan siapa dapat mengatakan mana yang benar?

            Saya tidak mempertanyakan nilai studi semacam itu tentang aspek manusia dari Alkitab, tetapi perlu ada keseimbangan yang tidak diberikan oleh semua institusi pendidikan teologi. “Ingat, seluruh isi Alkitab keluar dari satu sumber, satu pikiran, pikiran Allah Roh Kudus, dan Anda belum memasuki dimensi tersebut sebelum Anda melihat kesatuan ilahinya yang mendasari keragaman manusiawinya.

Renungkan ini: Alkitab adalah Firman Allah dalam kata-kata manusia yang memberikan pandangan Allah tentang segala hal yang perlu kita ketahui.

Tuhan, tolong aku terus menerus menemukan pandangan-Mu tentang hidup.

Dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Selasa, 24 Januari 2012

Kekayaan rohani

Akupun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku, dan meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar.
Efesus 1:16-17
 

Doa ini dalam dan indah, patut untuk kita selami dan jadikan doa kita sendiri berulang-ulang kali (Efs. 1:15-23). Paulus berdoa kepada Bapa dari sang Juruselamat dan dari keluarga ilahi, bahwa para pembacanya boleh mengenal kekayaan keselamatan dan kebesaran kasih Kristus supaya melalui pengenalan itu mereka boleh tumbuh. Seperti halnya pengetahuan itu hanya tercapai dalam konteks persekutuan dengan para kudus, demikian pun hal bertumbuh itu. Perlu ada pertumbuhan semua orang kudus bersama untuk menjadi manusia baru yang dewasa yang sepadan dengan kemuliaan Kristus (Efs. 4:13). Untuk mencapai kepenuhan Kristus diperlukan pertumbuhan gereja sepenuhnya; Ia mempunyai lebih banyak yang ingin Ia berikan, dan ada begitu banyak dalam diri-Nya yang tidak mungkin ditampung hanya oleh seorang kita.

            Paulus ingin agar semua orang Kristen mengetahui realitas berikut.

            Pertama, ia ingin mereka mengetahui pengharapan yang merupakan kepunyaan mereka yang telah dipanggil oleh Allah; yaitu, prospek untuk dipenuhi sampai mencapai kepenuhan Allah melalui penikmatan anugerah di sini dan kemuliaan kelak. Kedua, mereka perlu tahu kekayaan warisan yang Allah sediakan bagi orang kudus – warisan yang tersedia di masa depan yang mencakup kekayaan pribadi tak terukur. Ketiga, mereka perlu tahu kebesaran kuasa Allah untuk orang percaya di sini dan kini – kuasa yang boleh diperkirakan dari kebangkitan dan pemuliaan Yesus dan kebangkitan rohani serta penciptaan-ulang yang orang beriman telah alami.

            Realitas lain yang Paulus ingin kita ketahui ada dalam doanya kedua (Efs. 3:13-21); yaitu realitas kasih Allah dalam Yesus Kristus – kasih yang dinyatakan dalam penderitaan Kristus untuk para pelaku kesalahan yang tidak layak dan tindakan Allah membangkitkan hidup mereka.


Berapa banyak aku mengalami realitas pengharapan, warisan, kuasa, dan kasih ini?

Tuhan, aku hanya dapat mengenal realitas rohani dan bertumbuh secara rohani melalui Roh-Mu; kiranya Ia makin banyak menguasai hidupku.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Senin, 23 Januari 2012

Penyembuhan


Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.
Matius 11:4-6


Memang benar: kuasa Kristus masih sama! Kita harus ingat bahwa penyembuhan-penyembuhan yang Ia buat semasa di bumi memiliki makna khusus. Selain merupakan karya kemurahan, mereka juga menjadi tanda jatidiri mesianis-Nya. Hal ini terungkap dalam pesan-Nya kepada Yohanes Pembaptis. Dengan itu Ia mengatakan: Silakan Yohanes menangkap arti mukjizat yang Ku buat sebagai penggenapan janji Allah tentang kedatangan hari keselamatan (Yes. 35:5-6). Ia sebaiknya tidak ragu bahwa Aku adalah mesias, meski ada hal-hal tentang diri-Ku yang ia belum mengerti (Mat. 11:2-6).

            Siapa pun kini yang meminta mukjizat sebagai penopang iman harus mengacu ke ayat di atas dan diberitahu bahwa jika ia tidak percaya oleh fakta mukjizat yang tercatat dalam Injil-injil, maka ia tetap tidak akan percaya meski keajaiban itu terjadi di kebun belakang rumahnya sendiri. Catatan mukjizat-mukjizat yang Yesus buat adalah bukti pasti yang selamanya mengukuhkan siapa Dia dan kuasa apa yang Ia miliki.

            Maka penyembuhan adikodrati yang banyak dicari orang dari Yesus masa kini, hasrus dilihat dalam perspektif lengkap. Hal itu bukan saja menyangkut kesanggupan-Nya tetapi juga tujuan-Nya. Karena itu marilah kita menaruh pencarian kita akan pertolongan adikodrati-Nya di bawah penaklukan diri kita kepada kuasa, kehendak, dan rencana-Nya untuk kita.


Tentang pokok ini banyak anggapan berbeda sering kita temui. Silakan Anda pelajari lebih jauh, dengan menggali pengajaran Alkitab dalam sikap doa.

Tuhan, janganlah kiranya aku meminta disembuhkan untuk membuktikan sesuatu, tetapi kiranya dalam segala hal aku mencari jangkauan kemurahan-Mu agar aku lebih dekat dengan-Mu.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Sabtu, 21 Januari 2012

Anugerah untuk Duri

Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. 2 Korintus12:7

Meski kita tidak tahu pasti apa sebenarnya “duri” yang Paulus tanggung ini, jelas hal itu sesuatu yang mengganggu kemampuannya. Meski ia sudah memohon tiga kali agar hal itu diangkat darinya, hal itu tetap dibiarkan. Ia menyebutnya “utusan Iblis untuk menggocoh aku” sebab olehnya ia tergoda untuk berpikir bahwa Allah berlaku keras kepadanya (2Kor. 12:7-10).

            Tetapi akhirnya Paulus menyadari bahwa duri itu bukan ditujukan untuk menghukum tetapi untuk menjaganya. Penyakit terburuk adalah penyakit roh: seperti kesombongan, keangkuhan, kepahitan; semua ini merusak kita lebih dari gangguan jasmani. Duri adalah semacam alat pencegah terhadap kesombongan, demikian Paulus, “supaya aku jangan meninggikan diri.”

            Menjawab doanya, Kristus berkata, “AnugerahKu cukup bagimu, sebab kuasaKu disempurnakan dalam kelemahan.” Jadi Paulus menerima gangguan yang melemahkan kemampuannya itu sebagai semacam hak istimewa. “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Orang Korintus, khas orang Yunani, selalu cenderung menganggap Paulus lemah. Aku bahkan lebih lemah lagi daripada yang kalian pikir, ujar Paulus, sebab aku hidup dengan duri dalam tubuhku. Tetapi aku telah belajar bermegah dalam kelemahanku, “sebab jika aku lemah, aku jadi kuat.” Jadi kalian orang Korintus, belajarlah juga memuji Allah karena kelemahanku!

Apakah pola Paulus ini, meminta, mendengar, menerima, dan bahkan bersuka, mengajar sesuatu untukku kini?

Tuhan, kiranya keterbatasan/kelemahan ini… membawa ke semacam peluasan dalam hidupku / membawa semacam manfaat untuk orang lain. Tolongku memuliakanMu dalam kesusahanku.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Jumat, 20 Januari 2012

Tuntunan-Nya


Tuhan akan menuntun engkau senantiasa. Yesaya 58:11


Sebagai anak-anak Allah kita tentu menyadari pentingnya mengetahui pimpinan Tuhan untuk hidup kita. Bagaimanakah Ia memimpin kita?

Bentuk dasar dari bimbingan ilahi ialah arahan untuk seluruh aspek kehidupan kita, dalam bentuk pernyataan ideal positif. “Jadilah pribadi yang menyerupai Yesus”; “kejarlah kebajikan dan kembangkan sejauh mungkin”; “ketahui tanggungjawab Anda sebagai suami kepada istri, atau istri kepada suami, orangtua kepada anak, anak kepada orangtua; semua kalian kepada sesama Kristen dan sesama manusia; berusahalah agar selalu menyatakan kebajikan Kristen sepanjang hidupmu”; kira-kira begitulah arahan Allah dalam seluruh Alkitab, ketika kita mempelajari Mazmur, Amsal, para nabi, Khotbah di Bukit, dan bagian etika surat-surat kiriman. “Jauhi kejahatan, lakukanlah kebaikan” (Mzm. 34:14) – inilah jalan raya yang sepanjangnya Alkitab akan membimbing kita, dan nasihatnya akan membuat kita selalu berada di jalan itu. Perhatikan bahwa rujukan ke “dipimpin oleh Roh” (Rm. 8:14) tidak berkait dengan suara batiniah atau pengalaman semacam itu, tetapi ke tindakan mematikan dosa yang diketahui dan tidak menghidupi keinginan daging!

            Hanya dalam batas bimbingan ini Allah mengarahkan kita dalam hati tentang keputusan menyangkut panggilan kita. Jadi jangan berharap Anda akan dibimbing untuk menikahi seorang yang tidak beriman, atau lari dengan seorang yang sudah menikah (1Kor. 7:39; Kel. 20:14). Saya tahu ada kasus-kasus semacam tadi di mana orang mengklaim dirinya mendapat bimbingan ilahi. Memang mungkin ada kecenderungan batin, tetapi dalam kasus tadi jelas itu bukan berasal dari Roh Allah, sebab bertentangan dengan Alkitab. Roh menuntun kita di jalan yang benar (Mzm. 23:3) – bukan di jalan lain.

Apakah Anda merasa ada ketidaksesuaian antara yang dikatakan di atas dengan perintah Allah kepada Hosea (Hos. 3:1)? Apakah Allah pernah meminta kita melakukan hal yang terkesan tidak nyaman atau bahkan salah?

Tuhan, ketika aku tidak pasti tentang jawabanMu, tolong aku  hidup dengan pertanyaanku.

Dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Kamis, 19 Januari 2012

SAYEMBARA

ANDA INGIN MENDAPAT BUKU WP SECARA GRATIS?

Cukup dengan menulis sebuah tulisan / resensi singkat dan dimuat dalam warta / majalah gereja Anda atau media komunikasi rohani lainnya tentang salah satu terbitan Waskita Publishing yang sudah Anda miliki. Tulisan harus asli dan dari membaca buku ybs. bukan dari mengacu review dari pihak lain / WP.
Isi resensi: - info ttg isi, - kesan2 pribadi dari membaca buku tsb. (pelajaran, dorongan, koreksi, motivasi, dll.), - dampak yg mungkin diterima oleh pembaca lain.
Panjang resensi: 1) utk media cetak (warta / majalah gereja; - publikasi lain) sekitar 250 kata atau 35 baris @ 7 kata. 2) utk FB sekitar 125 kata atau 15 baris lebar kolom FB. Syarat utk resensi di FB ialah ybs. memiliki paling sedikit 300 teman.
Lalu kirimkan fotocopy artikel itu ke Waskita Publishing - cantumkan nomor dan tanggal penerbitan majalah / media tersebut ke 021-574-7069, atau bila FB cantumkan di dinding Penerbit Waskita; maka Anda berhak meminta satu copy buku mana pun dari Waskita Publishing yang Anda inginkan.

Silakan ikuti Sayembara ini!

Kebutuhan Materiil Kita

Jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai kamu yang kurang percaya?
Matius 6:30

Yesus melawan keduniawian (Mat. 6:19-34). Di sisi positif, hal yang Ia katakan dalam ayat-ayat ini ialah: Hiduplah oleh iman. Kita cenderung berpikir bahwa hidup oleh iman berarti melakukan pelayanan Tuhan tanpa ada dukungan yang jelas! Tetapi ketika Yesus berbicara tentang hidup oleh iman, yang ada dalam pikiran-Nya ialah bertindak seperti yang ditunjukkan oleh para pahlawan iman (Ibr. 11:1-40), seolah janji-janji Allah pasti adanya. Abraham, “menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:10). Dengan kata lain, matanya menatap melampaui batas-batas dunia dan hidup ini. Ia mungkin tidak tahu banyak tentang “kota” masa depan itu tetapi ia memperlakukan janji-janji Allah tentangnya sebagai kepastian. Musa lebih memilih “menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah” (Ibr. 11:25-26). Sambil melihat ke pahala, ke kemuliaan yang tersedia sebab Allah telah menjanjikannya, ia bersedia untuk menanggung berbagai perlakuan buruk yang menimpanya sebab komitmennya kepada kepentingan Allah.

            Orang-orang ini hidup dalam pengertian tentang realitas tak tampak yang Allah berikan dalam janji-Nya. Dengan demikian mereka memodelkan hidup oleh iman itu bagi kita.

            Yesus memanggil para murid-Nya orang yang kurang percaya sebab mereka khawatir tentang hal-hal di masa depan. Mereka seharusnya berpikir: Allah adalah Bapa surgawi kami dan telah berjanji untuk menyediakan semua kebutuhan kami. Kami memiliki keyakinan penuh akan janji itu dan bertekad untuk memiliki tujuan, kebijakan, dan prioritas yang sepadan dengannya.

Apakah “hal yang diharapkan” dan “hal yang tidak kelihatan” yang tentangnya kita memiliki “jaminan” dan “kepastian”?

Pujilah Allah atas hal ini, kini.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengdasihimu - oleh Dr James I Packer

Selasa, 17 Januari 2012

Semua Kebutuhan Rohani Kita

Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?
Roma 8:32
 

Roma 8:1-30 seumpama kidung Paulus tentang anugerah Allah untuk kita: tentang pembenaran dan hidup baru dalam Roh; tentang pengangkatan dan warisan kita; tentang penyediaan Allah sehingga kita tak perlu takut tentang kelemahan kita atau keadaan sekitar kita. Dalam ayat 31-39 ia memerinci implikasi semua hal tadi.

            Pertama, ia mengundang kita untuk menghitung. Jika Allah memihak kita, siapakah lawan kita? (ay. 31). Pikirkan itu secara menyeluruh, mendongaklah, jabarkan. Realisme semacam itu selalu baik dampaknya bagi jiwa. Jumlahkan siapa dan apa yang menghadang Anda dan ingatkan diri Anda bahwa seorang bersama Allah adalah mayoritas. Baca 2 Raja-raja 6:15-19 untuk memberikan gambaran tentang kebenaran ini.

            Lalu Paulus menunjukkan bahwa jika Allah tidak menahankan Anak tunggal-Nya sendiri tetapi memberikan Dia untuk mati bagi kita sementara kita masih orang berdosa, maka pasti Ia tidak akan menahankan dari kita segala sesuatu untuk kebaikan, manfaat, kesukaan, atau berkat kita. Pemberian Kristus di Kalvari menjamin semua karunia baik yang Allah dapat buat (ay. 32).

            Ketiga, Paulus berkata, “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah?” (Rm. 8:33). Orang Kristen berdosa dan gagal secara mengerikan dan Iblis adalah penuduh para saudara, namun faktanya ialah bahwa tak satu pun tuduhannya dapat melawan kita. Kita terjamin dalam penerimaan Allah sampai kekal, sebab Allah membenarkan kita dan Yesus yang mati bagi kita kini bersyafaat bagi kita (mengintervensi) dengan Bapa-Nya di pihak kita (ay. 33-34).

            Keempat, dengan tegas dan dalam bentuk lirik Paulus menyatakan bahwa tidak ada apa pun, di sini dan sesudahnya, dapat merenggut kita dari kasih Allah yang mahakuasa itu (ay. 35-39).
 

Yang mana dari empat kebenaran tadi yang mendesak saya perlukan kini?

Tuhan, aku perlu memercayai sepenuh akal budi, hati, dan kehendak aku akan kebenaran tadi.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Senin, 16 Januari 2012

Yesus bersama Kita

Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu.
Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup. - Yohanes 14:18-19


Peran khas Roh Kudus seumpama lampu sorot dalam relasi dengan Tuhan Yesus Kristus. Sementara Yesus masih di bumi, Roh “belum” (Yoh. 7:29) dicurahkan penuh, sesudah Bapa memuliakan Yesus (Yoh. 17:1, 5) barulah karya Roh menyadarkan orang tentang kemuliaan Yesus, mulai.

            Saya masih ingat suatu petang musim dingin saya berjalan untuk berkhotbah tentang perkataan, “Ia akan mempermuliakan Aku” (Yoh. 16:14) di sebuah gereja, ketika saya melihat gedung itu bermandi cahaya matahari sore. Saat itu saya menyadari bahwa itulah gambaran sangat tepat tentang hal yang akan saya khotbahkan. Ketika curahan cahaya berlangsung tepat, Anda bahkan tidak dapat melihat sumber cahayanya, dari mana ia datang; yang akan Anda lihat hanya gedung yang bermandi cahaya keemasan itu. Maksud dari cahaya itu ialah agar gedung itu menjadi tampak, sedangkan tanpa sorotan cahaya itu ia tak akan tampak karena kegelapan mulai menebal. Itulah gambaran karya Roh Kudus dalam peran perjanjian-Nya. Ia seumpama sorotan cahaya yang membuat sang Juruselamat tampak jelas dan mulia.

            Atau pikirlah seperti ini. Roh seolah sedang berdiri di belakang kita, melepaskan cahaya dari atas bahu kita ke Yesus yang sedang menghadapi kita. Roh tidak pernah berkata, “Lihat kepadaKu; dengarkan Aku; datang kepadaKu; kenal Aku,” tetapi selalu, “Lihatlah Dia, tatap kemuliaan-Nya; dengarkan Ia dan dengar firman; datang kepada-Nya dan terimalah hidup; kenallah Dia dan rasakan karunia kesukaan dan kedamaian dari-Nya.” Mungkin tepat mengatakan bahwa Roh mirip “mak comblang” yang mempertemukan kita dan Kristus, lalu memastikan bahwa kita seterusnya dalam relasi baik dengan Kristus.

Apakah kita, melalui Roh, menyoroti Yesus untuk orang lain?

Tuhan, RohMu memiliki banyak sekali hal untuk mengajarku. Tolongku selalu belajar dan berubah.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Minggu, 15 Januari 2012

Berakar dalam Yesus

Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Kolose 2:6
 

Apa maksud Paulus dengan kecukupan Kristus dalam Kolose 2:6-19? Ayat kuncinya adalah 6-8, yang juga menyimpulkan pesan Kolose. Biarlah Yesus Kristus menjadi segalanya bagi Anda. Tinggallah dalam Dia, akui Ia sebagai dasar untuk keberakaran hidup Anda dan jadikan Ia yang membangun Anda dalam gereja. Ialah yang secara tetap membuat Anda berterima kasih kepada Allah karena kekayaan yang Ia berikan.

            Arahan Paulus berasal dari doktrin tentang siapa Kristus dan apa karya-Nya, serta keutamaan-Nya. Dalam Kristus Allah memperbarui hati kita (sunat hati dan dikubur dalam baptisan). Sesudah menemukan kita dalam kematian, Ia memberikan hidup dalam Kristus melalui iman (bangkit dalam baptisan dan diampuni). Melalui salib Ia membatalkan hukuman kematian kita yang merupakan tuntutan dari Hukum yang dilanggar dan melucuti semua kuat-kuasa kejahatan kosmis. Bagi mereka yang memiliki mata untuk melihat, salib Kristus (yang terlihat seperti kekalahan memalukan) sebenarnya adalah langkah kemenangan-Nya di mana Ia menawan para musuh-Nya, seperti ketika jenderal Roma menang perang.

            Inti yang Paulus katakan ialah tak seorang pun memerlukan lebih dari yang Kristus berikan. Orang Kristen yang berpaling ke ritualisme Yudais, penyembahan malaikat, dan dunia penuh penglihatan, bukan untung tetapi rugi. Hanya Kristus yang menghidupkan dan menumbuhkan gereja yaitu tubuh-Nya secara rohani. Kristen harus berkait erat kepada Kepala dan tidak mencari pengayaan rohani dari sumber lain. Selain tidak ada pada sumber lain, bertindak demikian akan membuat orang kehilangan kontak dengan Kristus. Teguran Paulus ini relevan kini terhadap daya tarik berbagai macam kepercayaan new-age movement, takhayul timur, dan sebagainya.


Setujukah Anda bahwa tak seorang pun butuh lebih dari yang Kristus berikan?

Tuhan, jangan biarkan kami mencoba menambahkan kecukupan-Mu.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Sabtu, 14 Januari 2012

Iman Yesus

Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.
Matius 20:18-19


Hubungan Yesus dengan Bapa surgawi-Nya demikian dekat; hubungan itu merupakan relasi visi dan iman.

            Ada saat Bapa berbicara langsung kepada Anak. Misalnya ketika Yesus berkata, “Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan” (Yoh. 12:49), Ia sedang merujuk ke persekutuan langsung antara diri-Nya dan Allah, seperti yang dikenal oleh para nabi.

            Sama jelas dengan itu, Yesus menyimpulkan pengertian diri tentang panggilan-Nya sebagai Mesias, Raja-Juruselamat yang diurapi Allah, melalui membaca dan mengizinkan Allah berbicara kepada-Nya lewat Alkitab Perjanjian Lama. Istilah tepat untuk menjelaskan itu adalah iman. Dengan iman, kita menerima apa yang kita mengerti sebagai pikiran dan hati Bapa surgawi kita sebagaimana Ia mengajar kita melalui firman-Nya tertulis.

            Kita menyaksikan pematangan iman Yesus saat perjalnan-Nya ke Yerusalem, dengan mengizinkan diri ditangkap; dalam penolakan-Nya untuk meminta Bapa mengirimkan duabelas legion malaikat untuk melindungi-Nya; dan dalam perjalanan hening-Nya ke salib. Mengapa Ia menaruh kepala-Nya di mulut singa? Sebab Ia yakin bahwa dengan cara itu Ia melakukan kehendak Bapa untuk menanggung dosa dunia, dan bahwa Bapa-Nya akan membangkitkan Dia dari kematian. Dan iman yang yakin ini, yang akhirnya dibela Allah.

Lihat balik untuk mengenali langkah-langkah iman yang sudah Anda lewati dan ke depan yang masih menunggu untuk Anda jalani.

Tuhan, kami perlu karunia iman dalam kehidupan kami dan kehidupan gereja kami supaya kami boleh menemukan dari Firman-Mu dan dari satu sama lain, pikiran dan kehendak-Mu.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - tulisan Dr James I Packer

Jumat, 13 Januari 2012

Lawatan yang Menentukan

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita… penuh kasih karunia dan kebenaran.
Yohanes 1:14


Pengakuan Kristen yang mengejutkan ialah bahwa Yesus dari Nazaret adalah Allah menjadi manusia; Ia adalah pribadi kedua dalam Allah yang menjadi “manusia (Adam) kedua” (1Kor. 15:47), wakil kedua dari seluruh umat manusia, yang menentukan destini manusia; dan ia mengambil kemanusiaan tanpa kehilangan keallahan-Nya, sehingga Yesus dari Nazaret adalah sejatinya dan sepenuhnya Allah dan manusia.

            Dalam iman Kristen terdapat beberapa misteri ini – pluralitas pribadi dalam keesaan Allah, dan keesaan Allah dan kemanusiaan dalam pribadi Yesus. Di sinilah, dalam peristiwa yang terjadi pada kelahiran Yesus, terletak kedalaman tak terselami dari keajaiban penyataan dalam iman Kristen. Allah menjadi manusia, Anak Allah menjadi seorang Yahudi; Yang Mahakuasa tampil di bumi sebagai bayi manusia tak berdaya, tak sanggup berbuat apa pun kecuali berbaring, menatap, menggeliat, bersuara, menanti diberi makan, dipopoki dan diajar seperti semua bayi manusia lainnya. Dalam semua itu tidak ada ilusi atau penipuan: Anak Allah menjadi seorang bayi adalah suatu realitas. Semakin Anda merenungkannya, semakin Anda terkejut dibuatnya. Dalam fiksi tak pernah ada hal sefantastis kebenaran tentang inkarnasi ini.

            Ini menjadi batu sandungan dalam Kekristenan. Di sini orang Yahudi, Muslim, Unitarian, Saksi Yehuwa dan lainnya mendapat kesulitan. Dari ketidakberimanan atau kepercayaan yang tidak memadai tentang inkarnasi muncul kesulitan di pokok-pokok lain (seperti kelahiran dari perawan, mukjizat, penyelamatan, dan kebangkitan). Tetapi sekali inkarnasi diterima sebagai realitas, semua kesulitan tadi lenyap.


Sediakah aku menempatkan diri ke dalam posisi rentan karena kasih kepada Allah/sesama?

Tuhan, aku takjub atas kesediaan-Mu menjadi bayi yang rentan, tak berdaya, bergantung demi kepentingan kami.
Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Kamis, 12 Januari 2012

Tanda Kedewasaan

Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya.
Filipi 3:12
 

Seorang psikolog mendefinisikan kedewasaan manusiawi sebagai kedewasaan emosional. Analisisnya berikut ini: 1. Memiliki kemampuan menghadapi realitas secara konstruktif; 2. Sanggup menyesuaikan diri untuk perubahan; 3. Relatif bebas dari gejala yang ditimbulkan oleh ketegangan dan kekhawatiran; 4. Sanggup mendapatkan kepuasan dari memberi ketimbang menerima; 5. Sanggup berelasi dengan konsisten, siap menolong, dan kepuasan timbal balik; 6. Sanggup mengubah dan mengarahkan kemarahan untuk tujuan yang konstruktif.

            Masing-masing hal tadi dapat diklasifikasi sebagai berikut: penerimaan, kasih, atau kreatifitas. Dan Alkitab banyak bicara tentang masing-masing hal itu. Kesan saya, definisi tentang kesehatan mental tadi sangat berkait langsung dengan apa yang Alkitab nyatakan sebagai kehendak Allah untuk manusia dan pemenuhan sejati sifat manusia.

            Namun begitu, kita tidak boleh berhenti sampai di situ sebab dalam definisi itu tidak terdapat acuan ke standar moral. Kita perlu tegas bahwa tanpa moralitas tidak ada kedewasaan. Yesus, yang adalah contoh sempurna dari Allah tentang kedewasaan manusiawi, memperlihatkan secara sempurna tidak saja penerimaan, kreatifitas, dan kasih (kedewasaan emosional), tetapi juga kehidupan benar dari hati yang murni (kedewasaan etis).

            Kita dipanggil untuk makin serupa Kristus baik secara emosi dan etis. Sesudah mengakui dirinya tidak sempurna (kesempurnaan tanpa dosa tersedia untuk kehidupan yang akan datang), Paulus mendorong agar “mengejar sasaran ilahi yaitu panggilan Allah dalam Kristus Yesus” sebab inilah jalan ke kedewasaan dan mendekat ke ideal ilahi (Fil. 3:14-15).
 

Periksa diri Anda dalam terang renungan di atas.

Tuhan Yesus, ajarku dan tolongku bertumbuh makin dewasa.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr James I Packer

Rabu, 11 Januari 2012

Kerendahhatian Yesus

Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.
Matius 11:29


Dalam zaman Kristus, dua lembu yang menarik kereta dipasangi kuk melintang di atas leher mereka. Yesus meminta kita untuk memikul kuk bersama-Nya – dengan kata lain belajar untuk hidup sebagaimana Ia pernah hidup. Mengapa? “Sebab Aku… lembut hati.” Terkejutkah Anda bahwa seseorang, apalagi Juruselamat, mengklaim dirinya lembut (rendah hati)?

            Saya ingat saya tertawa lepas ketika seorang teman bercerita bahwa di akhir bicaranya, seorang wanita tua datang dan berkata, “Saya senang Anda bicara tentang kerendah-hatian. Anda tahu, itulah kekuatan saya!” Jelas sebagai manusia yang jatuh dalam dosa, mengklaim diri rendah hati adalah pembatalan atas klaim itu, meski kita bisa mengenali sifat itu pada orang lain. Jika kita jujur tentang diri kita, kita pasti menyadari kecenderungan pementingan diri, perhatian diri, kesombongan, sehingga kita merasa membusung karena mengerjakan kehendak Allah; dan sampai di situ kita tidak rendah hati, dan ketaatan kita tercemar.

            Ketika Yesus berkata Ia “lembut dan rendah hati” tidak ada kesombongan atau penonjolan diri. Anak Allah yang berinkarnasi yang tak berdosa itu sekadar menyatakan fakta: bahwa ia sepenuhnya manusia, tidak dibebani oleh citra diri rendah atau sesuatu yang seperti itu, sepenuhnya dan sesungguhnya komit kepada rencana, tempat, kehendak, dan jalan Allah untuk hidup-Nya. Perlu kita sadari bahwa kemanusiaan sejati berarti tidak berpura-pura tentang sesuatu atau bahwa Anda bukan apa adanya Anda, tetapi secara realistik menerima kehendak Allah, sama seperti Anda menerima karunia-Nya, dengan hati gembira dan kesadaran yang tak mementingkan diri yang mengalir dari berkonsentrasi kepada Dia yang dilayani.


Apa perbedaan antara rendah citra diri dari rendah hati sejati? Bagaimana media nonKristen dan Kristen menilai kerendah-hatian?

Tuhan, tolong aku bertumbuh dalam komitmen kepada kehendak-Mu dan mempersilakan Engkau menghasilkan kerendah-hatian dalam hidup dan sikapku.

Dikutip dari Bapa Surgawi Mengasihimu - oleh Dr. James I. Packer